Menenun Asa di Seberang Pulau






Harapan. Kira-kira itulah alasan dari masing-masing orang saat dimintai komentarnya, apa dan bagaimana yang menyebabkan ia sampai meninggalkan kampung halaman. Ya, mencari harapan, sembari berharap di tanah lain, kita bisa mendapati sesuatu yang lebih. Situasi dan kondisi yang berbeda, kelak menuntun dan mematangkan proses menuju pendewasaan konsep diri dan cara berpikir.   

Kemapanan dan kesahajaan yang tumbuh dan berkembang di tanah kelahiran, sebenarnya sudah memberikan ketenangan lahir dan batin. Setiap waktu, kita dapat menjahit kisah dengan orang tua, melihat hiruk-pikuk tanah kelahiran juga merasakan indahnya hidup bersama. Bahagia bukan.

Saat mata terbuka dari tidur malam kisah indah dimulai. Kala kaki menuju ke ruang makan, kita dapat menyaksikan kokohnya gelas lusuh berdiri. Diujung meja kopi pagi menjemput, ditemani dengan pisang goreng buatan sang bunda. Hajar. Sembari seruput kopi, kisah kasih diujung meja pun dilalui. Ngobrol ngalur ngidul pun warnai pagi. Bercanda ria, merancang hidup dan harapan untuk melanjutkan narasi di esok hari.

Tentang sang bunda. Ragam kisah manis yang lahir dari belaiannya. Usapan tangannya memberikan sejuta kekuatan bagi kita.  Ibu. Ia dapat menjadi alarm yang setia. Ketika kita meminta dibangun jam 07.00, ibu akan membangunkan kamu jam 06.00 dan mengatakan bahwa sekarang sudah jam 08.00. Benar-benar alarm yang maha setia.

Kembali lagi ke pembicaraan awal. Pergi. Tinggalkan rumah untuk menemukan harapan. Sebagian masa dihabiskan untuk mencari asa, sekedar menemukan apa yang kita cari dan kita butuhkan. Lalu, saat mentari kembali bersemi, kisah dan asa itu dapat kita kisahkan diujung meja.   

Begitulah secercah alasan menyusuri rimba perjuangan ini. Arungi samudera luas, lewati lembah langkahi gunung serta susuri rimba raya. Hanya demi satu kata, HARAPAN.  Karena itu,  mulailah menenun kisah di tanah orang dengan arif. Beda pulau, beda kultur beda karakter, namun hati ini tetap terpatri, tetap rindu pada tanah kuni agu kalo. Ibu pertiwi, bumi Nuca Lale. 

Tinggalkan Rumah Tua 
Senja itu, 1 April 2017 narasi dimulai. Meninggalkan rumah dengan diantar oleh orang rumah. Pelataran rumah menjadi saksi. Berat kaki ini melangkah, saat hendak menumpangi travel. Travel, sejenis angkutan khas Pulau Bunga, kendaraan tipe avansa atau APV yang disulap untuk mengangkut penumpang. Air mata bercucuran. Tak sanggup untuk meninggalkan kisah manis di balik atap rumah. Di dalam perjalanan menuju Ruteng, air mata saya terus berjatuhan. Tidak siap. Mungkin itu alasannya, sehingga air mataku terus berjatuhan.

Sebab, separuh hidup saya lalui di bumi Nuca Lale dengan segala romantismenya. Akibatnya, tentu  sangat berat saat saya hendak beranjak. Siap dan tidak siap, itulah pilihan hidup.

Malam sebelum menuju Kota Ruteng, ritual perutusan dibuat. Dalam budaya orang Manggarai, ketika hendak masuk dalam jenjang pendidikan yang lebih tinggi atau mbeot (merantau) sangat penting untuk didahului oleh acara  adat. Wuat wai namanya. 

Wuat wai dalam konteks Manggarai merupakan aktualisasi dari perutusan. Pergilah, kamu diutus. Begitu isi sabda Tuhan dalam Alkitab. Acara ini merupakan fase untuk menghormati leluhur. Persembahannya, berupa manuk bakok dan tuak, serta doa adat sebagai media komunikasi dengan leluhur.

Sepanjang malam, candaan mewarnai perjumpaan bersama dengan keluarga besar. Sopi menjadi penghangat ruang temu keluarga. Obrolan demi obrolan dan petuah demi petuah.  Saya pun dikuatkan oleh banyaknya harapan dan petuah. Sopi semakin bertambah mengikuti malam yang semakin beranjak. Pertemuan malam itu pun diakhiri dengan tengel.

 3 April 2017 
Senin, 3 April 2017, pagi itu adalah hari dimana kami akan beranjak meninggalkan tanah Congka Sae.  Ku pandangi mentari pagi terbit malu-malu di ujung timur. Panasnya Bumi Komodo di pagi itu mengharuskan kita untuk membasahi badan. Apalagi, pagi itu menjadi pagi terakhir merasakan dinginnya air dari rahim Congka Sae.

Setelah mempersiapkan diri, lalu kami melanjutkan perjalanan menuju Bandara Komodo, Labuan Bajo. Ke bandara, kami diantar oleh ayahnda dari Pak Fabian. Beliau yang dengan setia mengantar kami untuk menuju Ranah Minang.

Di bandara, kami mempersiapkan segala sesuatunya dengan mandiri. Usai cek in, sejenak kami keluar bandara. Minimal, merasakan segarnya udara bumi Komodo.

Tak terasa, detak jam berlalu begitu cepat. Waktu menunjukan Pkl. 09.00 WITA, kami terbang dari Bandara Labuan Bajo menuju Bandara Ngurah Rai dengan menumpangi pesawat Lion Air dengan kode penerbangan  JT-29. Di Bali kami transit selama 2 jam, sebelum melanjutkan penerbangan menuju Bandara Soekarno Hatta dan selanjutnya menuju Bandara Minangkabau, Sumatera Barat. 

Tanah Minang 
 Setelah 10 jam perjalanan udara, tiba di Ranah Minang sekitar Pkl. 12.00 WIB. Perjalanan yang melelahkan terbayar lunas, saat mata memandangi indahnya langit malam di tanah Malin Kundang. Gemerlap lampu kelap-kelip di atas kota, seolah-olah mengucapkan selamat datang bagi para perantau. Puji Tuhan, kami tiba dengan selamat.

Di depan lobi bandara, pegawai Yayasan Prayoga dengan setia menunggu kami. Mereka tak membutuhkan waktu lama untuk mengenali wajah kami. Seorang dari mereka, langsung menyahut “ dari Ruteng ya”. Kami pun langsung mengiyakan. Soal ini, saya berasumsi, mungkin mereka mengenali kami dari sisi tatapan wajah kami yang kebingungan. Orang baru, wajar kalau serba bingung. Itu, alamiah hukumnya. Hehehe,,,,. Sekedar membela diri.

Hari-hari, kami habiskan dengan ragam aktivitas. Persiapan menjadi guru di lingkungan Yayasan Prayoga. Mulai dari pra-teaching dan mengamati proses belajar mengajar di sekolah-sekolah milik yayasan besutan Keuskupan Padang ini. 

Bumi Sikerei 
Dengan berakhirnya tahun pelajaran 2016-2017, maka berakhir pula masa magang kami di sekolah-sekolah Yayasan Prayoga yang ada di Kota Padang. Selanjutnya, Ketua Yayasan mengeluarkan SK untuk kami selaku pendidik baru. Saya dan Pak Fabian mendapat tugas untuk ditempatkan di Kepulauan Mentawai. Sedangkan, dua sahabat kami lainnya ditempatkan di Kota Padang.

Putusan ini tentu menjadi momok tersendiri. Sebab, Mentawai termasuk daerah kepulauan. Akses dari satu pulau ke pulau lain menggunakan kapal. Bagi kami yang nota bene anak gunung, tentu ini pengalaman baru nan-menantang.

Karenanya, hati sempat ragu. Tapi, karena tekad kuat dan pilihan, rasa gelisah sirna. Lagi pula, ia akan pergi bersamaan dengan kesibukan yang semakin banyak.  

Rindu 
Lagi-lagi soal harapan. Harapanlah yang menuntun kita hingga tiba di pulau ini. Ia membawa kita pergi meninggalkan rumah kasih.  Lorong-lorong di gedung pembangunan manusia itu membawa tapak kaki kita untuk melangkah.  Tapak demi tapak. Ia menuntun kita mengalir bak air di Wae Musur yang terus mengalir, melaju kencang  bak kendaraan depan rumah, bersajak bak penyair hebat, Khalil Gibran.

Waktu mengajak kita untuk terus melaju. Tapak demi tapak. Asa demi asa. Dan, langkah demi langkah. Percayalah, diujung sana ada mentari yang selalu menunggu kau kembali.

Kita hanya beranjak sementara saja. Kala rindu menyala kembali, sepi permainkan warna. Terus mengoyak kesucian yang terluka, lalu dibujuk rayu lepaskan rindu.

Lalu, kala engkau bertepi di dermaga, dan memandangi kapal-kapal yang berlabuh ke tepi, waktu memang sesaat akan bergerak lambat. Rindu tentu semakin mengebu.

Padahal, ia hanya bertepi, bukan membawa kita untuk pergi. Kita pun dipaksakan untuk terus melanjutkan panji perjuangan di tanah ini. Karenanya, kita pergi untuk kembali. Adalah kopi bisa dijadikan pelabuhan rindu pelepas peluh. 
.

Post a Comment

0 Comments