(Berlari,
berlari kawan. Berlari lebih cepat merupakan tuntutan mengapai mimpi)
Masa kecil. Semua orang pasti merasakan indahnya.
Entahlah, orang mengartikannya dengan versinya masing-masing. Yang pasti
kenangannya bergulir indah. Kita diasah menjadi sosok manusia lewat sentuhan
manis orang tua kita masing–masing. Kita diarahkan untuk berjalan, berbicara,
belajar mencicipi indahnya hidup bersama. Sentuhan manis dari sang maestro keluarga, memiliki
andil yang cukup besar dalam ziarah panjang akan perjalanan hidup dari seorang
anak. Mereka yang dengan setia mengajarkan anak–anaknya dengan cinta nan–kasih,
melatih sang buah hati untuk mencoba menghargai orang lain.
Singkat kisah, dengan berbagai didikan kelak akan
menghantarkan sang buah hati agar lebih berani mengarungi gelombang besar dalam
kehidupan. Kesetian mereka untuk tatong,
toing, titong, dan tatang menjadi falsafah utama dalam membentuk
kepribadian anak. Sentuhan tangan akan didikannya hanya mengharapkan pada
bentukan pribadi yang lebih humanis. Proses ini dilakoni dengan ketekunan,
dijalankan tanpa tedeng aling–aling. Tanpa imbalan pula. Memori indah yang
harus dibawa sampai kapan dan dimana pun.
Setelah dibentuk dalam rumah, tangan mungil ini terus
memiliki andil dalam mengarahkan anak menuju dunia yang lebih luas. Ya,
diarahkan ke dalam lingkungan masyarakat. Mereka mulai mengarahkan sang
anak untuk melatih diri dan bersosialisasi dengan kehidupan yang lebih
kompleks. Tangan manis ini mulai mengarahkan anak–anaknya untuk melatih
menghargai orang lain, melatih agar neka
daku ngong data, melatih untuk belajar bersama dalam kompleksitas
kehidupan. Ajaran mereka menjadi sebuah suntikan bagi anak, bahwa untuk sebuah
perkembangan yang baik perlu bergaul dengan lingkungan yang luas. Tentu segala kontribusi konstruktif
menghantarkan seseorang menuju pembentukan diri yang lebih humanis dalam segala
konstelasi kehidupan. Sebab, tak ada arsitek yang menginginkan bangunnya
cepat lapuk termakan waktu.
Kisah Senja
Senja itu terlalu cepat beranjak. Padahal, kita masih
hendak bercerita dibawahnya pancar sinarnya. Ia malah pergi, menepi dari
bingkai peraduan. Dalam hidup ini, masa kecil seperti senja yang telah pergi.
Saat kita dewasa, baru kita sadari bahwa masa kecil itu telah pergi jauh.
Saya terlahir
dan dibesarkan disebuah kampoeng/beo/natas/golo
yang terletak di jalur sentral Ruteng-Borong, tepatnya di kampung
Golomongkok. Saat ini, Golo Mongkok
menjadi sentral pemerintahan kecamatan Rana Mese. Tak heran, setiap harinya
banyak orang yang keluar-masuk. Urusan administrasi negara, mungkin. Atau hanya untuk “nanang cumang kraeng
camat ta ite” . Begitu sudah.
Golo Mongkok sekarang, tentu berbeda situasi dan
kondisinya. Dengan berbagai macam
perkembangan dan peradaban yang melaju. Kemajuan ini-itu, menghendaki kita
untuk mengikuti romantisme zaman. Namun, saya hanya ingin memutarbalikan waktu.
Waktu ya, bukan fakta. Hehehe,,,, sebab yang pandai memutarkan fakta cuma
pejabat. Rakyat jelata jarang melakukan hal demikian.
Karena kita hendak kembali ke belakang, maka mari kita
mengingat kembali. Tentang kisah unik nan-lucu, kala kita bergelut dan
bergaul dengan teman-teman masa kecil tempo itu. Rekaman manis akan masa kecil,
mudah-mudahan tak termakan oleh sang
waktu. Lagi pula, waktu ini terlalu cepat berlari. Suka tidak suka, kita pun turut berlari jauh.
Berlari untuk bisa menjadi pemenang dalam kehidupan yang sedang kita geluti.
Kita dengan mudah mengingat manakala kita bereuni untuk mengungkit kembali
“ingatan” kita yang mungkin sebagiannya sudah terhalau oleh arus zaman. Mudah-mudahan keseruan dan keluguannya masih
terekam dengan indah dalam memori kita.
Kala wua welu tiba, kita pun beramai–ramai untuk
mengumpulkan buah kemiri yang sudah matang. Langkah selanjutnya, buahnya
dikupas untuk digunakan sebagai media dalam permainan kemiri(maeng banga). Permainan ini, sangat
digandrungi oleh banyak anak-anak untuk
lewati senja. Aturannya sudah terwarisi sejak dulu kala. Tak ada informasi yang
pasti tentang asal-usul maeng banga ini.
Yang pasti permainan ini bersifat spontanitas.
Wua welu peang uma, maka
tibalah seluruh anak untuk berkumpul di natas
mbaru untuk memulai bermain banga.
Pola permainannya sangat unik dan menarik. Membawa senja cepat berlalu.
Masing–masing anak menyiapkan kemirinya(biasanya 5 atupun 10 biji/org).
Jumlahnya direlevansikan dengan kesepakatan
dari seluruh pemain.
Bukan hanya maeng
banga. Kita tentu masih ingat kenangan manis yang lain. Saat senja tiba,
saatnya untuk tanggalkan aktivitas dalam rumah. Bermain bola bersama, main
petak umpet(gega tepeng). Ya, bermain
lewati senja sebenarnya cara kita untuk membunuh sepinya masa kecil. Pasalnya,
beda dengan zaman sekarang. Tanpa bermain dengan teman, sekarang anak-anak bisa
lewati senja dengan menonton TV, game di smartphone, atau bermain PS.
Setelah aktivitas sore usai, tapak-tapak kaki tak bersandal kembali ke
rumah. Siap-siap susuri hutan. Mencari air untuk mandi dan cuci. Wae
Tegel dan Wae Musur merupakan
target membersihkan diri setelah bermain. Soalnya, kala kecil dulu persediaan
air hanya bersumber dari 2 mata air besar ini, tidak se-instan sekarang.
Segalanya mudah didapati. Depan rumah air tumpah-ruah. Untuk mandi cuci dan
kakus pun beres. Enak kat ta........
Kesahajaan
Permainan tradisonal yang sering kita mainkan selama
masa kanak–kanak ini dilakukan dengan spirit kebersamaan. Membuka diri dalam
warna kebersamaan telah membangun kenangan manis yang tetap akan dikenang.
Bermain dan berinteraksi hingga mampu menghargai sesama saat proses bermain itu
berlangsung. Melalui proses bermain bersama, kita dibangun konsep saling
menghargai, kejujuran, kebersamaan dan cinta kasih. Sadar atau tidak sadar,
segala bentuk sosialisasi luar rumah turut mendukung karakter anak.
Kesahajaan di luar rumah telah menghantarkan kita
untuk berlari jauh. Berlari untuk menyusuri sisa waktu dalam ziarah kehidupan
di muka bumi. Catatan manis yang menjadi memori bersama pun dituntut untuk
tetap dikenang. Meski dilekang oleh
waktu, rindu masih ada yang tersisa. Ruang dan waktu memang telah memisahkan
kita. Ia memisahkan kita sementara waktu saja. Sebab, kita perlu berlari untuk
merajut asa. Mencari apa yang perlu kita cari.
Lagi pula, kenangan masa kecil tak akan terulang lagi.
Rawatlah kenangan itu. Kita diwajibkan untuk tetap menjaga kenangan manis masa
kecil. Masa kecil, periode yang tak akan kembali. Periode lama yang mengungkit
rindu.
Ia seperti senja yang telah berlalu. Pergi dan tak akan kembali. Ya, senja itu terlalu cepat beranjak. Padahal, masih banyak kisah yang ingin aku adukan. Tapi, entahlah, hanya kerinduan yang tersisa.
Ia seperti senja yang telah berlalu. Pergi dan tak akan kembali. Ya, senja itu terlalu cepat beranjak. Padahal, masih banyak kisah yang ingin aku adukan. Tapi, entahlah, hanya kerinduan yang tersisa.
0 Comments