Mengajar atau Menghajar?




Guru adalah profesi yang diguguh dan ditiru. Tak bisa dinegasikan, guru sering dijadikan “model” dalam kehidupan sehari-hari. Pelita dalam kegelapan, begitu gelar yang sering dialamatkan kepada para guru.

Menjadi guru merupakan pekerjaan yang susah-susah gampang. Bagi sebagian orang, menjadi guru adalah pilihan. Dengan mendidik dan mengabdi, seseorang turut mengambil andil dalam proyek mencerdaskan kehidupan bangsa. Selain itu, bagi sebagain orang, memilih profesi guru sebagai panggilan hidup. Jalan panjang menyukseskan pembangunan sumber daya manusia.

Lebih dari itu, acap kali guru kadang menemui jalan buntu saat bertugas. Ada-ada saja, guru kalap dalam bertindak. Didikan  irasional pun terkadang dilakukan. Tindakan kekerasan menjadi suatu hal yang lazim dilakukan. Padahal, kekerasan dalam dunia pendidikan merupakan perilaku melawan adab. Seyogianya, kekerasan dalam lingkup pendidikan perlahan-lahan diminimalisir.   

Selama bulan September 2017, dunia pendidikan Manggarai Timur tercoreng dengan adanya tindakan kekerasan di lingkungan sekolah. Pada 19 September 2017 kali lalu, guru di SMA Negeri III Elar yang berinisial DA tega menganiaya DA (16). Mirisnya, DA menganiya anak didiknya hingga pingsan.

Saat itu korban ME disuruh berlutut dan dipukul di bagian kepala hingga pingsan. Kini, siswa kelas III jurusan bahasa itu pun mengalami trauma berat. Selain tidak mau bersekolah, korban menjadi pendiam dan suka mengurung diri di rumahnya di kampung Deruk Nggelok, Desa Sipi Kecamatan Elar Selatan (Floressmart.com, 27 September 2017).

Ibarat api, yang satunya belum padam, menyulut lagi sumber api yang baru. Kali ini, lebih gempar lagi kasusnya, seperti dilansir dari Pos Kupang (28 September 2017), sebanyak delapan siswa SMPN 4 Poco Ranaka, Kabupaten Manggarai Timur, dihukum menjilat closet (WC) di sekolahnya, Jumat (15 September 2017) pagi.

Guru yang menghukum mereka berinisial YN, guru kesiswaan di sekolah tersebut. Lebih parahnya lagi, mereka dihukum karena menggunakan bahasa daerah Manggarai di lingkungan sekolah sebelum kegiatan belajar mengajar.

Dari persoalan di atas,  saya berpendapat bahwa pendidikan lokal kita masih berurusan dengan persoalan yang krusial. Lingkungan pendidikan sebetulnya menjadi gudang perubahan. Sebab, dari lembaga pendidikan dapat melahirkan generasi handal, dapat diandalkan dalam multiaspek kehidupan. Ia berfungsi melahirkan generasi yang sehat, tanpa cacat dan cela. Mental harus gres, tidak traumatis karena tekanan dan siksaan pendidik di masa lalu. 

Tidak dapat Dibenarkan 

Tindakan dua pendidik di Kabupaten Manggarai Timur dalam dua kasus di atas tentu tidak dapat dibenarkan. Dengan dalih mendidik anak, guru tidak selamanya mendewakan kekerasan dalam menjinakan peserta didik. Ia harus dapat menggunakan seribu satu cara. Saat cara yang satu gagal, ia tentu bisa merancang strategi yang lain. Yang pasti, kekerasan tidak bisa dijadikan solusi utama dalam menertibkan tindakan indispliner dari peserta didik.

Dalam menelisik praktek kekerasan terhadap peserta didik, saya memiliki cara pandang yang berbeda. Bahwa kekerasan pendidik terhadap peserta didik tidak dapat dibenarkan dalam falsafah pendidikan.

Kekerasan verbal, seperti memfitnah, mencemooh dan mengeluarkan kata-kata kotor,  dapat merusak perkembangan anak. Apalagi kekerasan berbau fisik, eksesnya bisa berdampak buruk. Traumatis mungkin, seperti yang dialami oleh ME tadi.

Ki Hadjar Dewantara (Wibowo, 2013:33) berpendapat  bahwa pendidikan yang baik mestinya mampu mengalahkan dasar-dasar jiwa manusia yang jahat, menutupi, bahkan mengurangi tabiat-tabiat yang jahat tersebut. Pendidikan dikatakan optimal, jika tabiat luhur lebih menonjol dalam diri peserta didik ketimbang tabiat-tabiat jahat. Artinya, hanya pendidikan yang beradab dapat menghasilkan generasi yang beradab. Prosesnya, tidak serampangan, tidak asal mendidik. Tetapi, kedepankan naluri humanitas, bukan animalitas semata.

Pendidikan merupakan upaya memanusiakan manusia. Karena itu, dalam etika pendidikan tak dapat dibenarkan memainkan pola kekerasan. Kekerasan bukan medium untuk mencerdaskan anak bangsa. Hanya pendidik konvensional, yang masih tunduk dengan kekerasan. 

Tindakan Inkontitusional 
Jika melakukan tindakan kekerasan terhadap anak didik, yang pasti itu wujud tindakan inkontitusional, sebab terbukti melanggar hak asasi anak. Guru tetap dapat dipidana karena melanggar Undang-undang Perlindungan Anak (UUPA). Karena itu, UUPA bisa menjadi dalih bagi orang tua murid untuk memantau gerak-gerik guru yang melakukan tindakan indispliner.

Lalu, bagaimana jika guru hanya melakukan kekerasan fisik. Harus dipahami bahwa segala wujud kekerasan, fisik dan non-fisik (verbal), yang melukai atau pun tidak melukai, tidak dapat dibenarkam. Bahwa proyek besar memanusikan manusia harus ditempuh dengan cara yang lebih humanis. Tidak semena-mena.

Praktik pendidikan kita mungkin  belum sembuh total dari pendidikan berwatak militeristik. Dengan alasan menertibkan perilaku peserta didik, adakalanya guru kalap dalam bertindak. Alangkah tidak eloknya, saat pendidikan kita masih tunduk pada kekerasan yang masif dan sistematis.

Karena itu, aksi dari orang tua murid di Kecamatan Elar dan Kecamatan Poco Ranaka yang melapor ke Dinas PPO terkait dugaan kekerasan dari guru terhadap murid mudah-mudahan menjadi pelajaran berharga bagi para pendidik yang lain di Kabupaten Manggarai Timur. Ketika seseorang telah menjadi guru, ia siap mengemban beban sosial yang cukup besar, mampu mengatur emosi dengan arif serta memiliki etika sosial yang mumpuni.

Ajakan melawan kriminalisasi terhadap guru, dimana sering dikampanyekan pada media sosial tidak dapat dibenarkan jua. Tergantung bagaimana kekerasan yang dilakukan. Apabila kekerasan seperti yang dilakukan oleh guru di SMAN III Elar tentu bisa dikriminalisasikan. Hal ini  juga bisa berdampak buruk, justru melahirkan guru-guru yang congkak dalam pembelajaran. Ya, kemungkinan aksi yang dilakukan oleh guru di SMAN III Elar dan SMPN 4 Poco Ranaka bisa terjadi lagi.

Akhirnya, kembali lagi pada pendidik. Apakah hendak mengajar atau menghajar. Jika mengajar, tentu kedepankan naluri humanistis, namun jika menghajar maka kedepankan naluri animalitas. Semoga saja naluri kita sekedar mengajar.  

Tulisan ini pernah dimuat di Flores Post.co dengan link-nya https://www.florespost.co/2017/09/30/opini-mengajar-atau-menghajar/3/

Post a Comment

0 Comments