Pemuda Dalam Komitmen Merawat Kebhinekaan


Sejarah dunia adalah sejarah kaum muda. Saat kaum muda mati suri dalam pergerakannya, maka mati pula sejarah sebuah bangsa. Sebab, tidak ada sejarah bangsa tanpa sejarah kaum muda.

Dalam kompleksitas kehidupan bangsa, kaum muda tidak bisa disepelekan andilnya. Pemuda dengan semangat yang berapi-api, dengan spirit yang membara, selalu hadir dengan segala romantisme perjuangannya. Pemuda memang selalu hadir dan menciptakan kejutan tak terduga. Semangat perubahan merupakan kekhasan kaum muda.

Konsep dan tindakan kaum muda ditakdirkan untuk menjadi pemain utama. Sejarah telah mencatat dengan tinta emas kegemilangan, bahwa dari dahulu sampai sekarang kaum muda (termasuk pelajar dan mahasiswa) selalu menjadi bagian yang tidak bisa diangap sepele dari unsur-unsur pelaku perubahan di negeri ini.

Sejak masa awal Pergerakan Nasional 1908, Kebangkitan Nasional 1920, Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi Kemerdekaan RI 1945, hingga masa awal Orde Baru 1966 dan Orde Reformasi 1998. Kaum muda dengan senjata idealismenya, senantiasa memberi kontribusi positif juga memberikan warna benderang terhadap dinamika perkembangan dan pembangunan bangsa dan negara Republik Indonesia. Hemat saya, tidak dapat dinegasikan bahwa pemuda adalah lokomotif perjuangan dan perubahan bangsa bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia menuju kejayaan yang hakiki.

Sumpah Pemuda merupakan salah satu bukti prestasi yang cukup mengkilap. Pada 28 Oktober 1928 tersebut, berlangsung kongres ke II Pemuda Indonesia. Hal ini menjadi cikal bakal gerakan progresif pemuda yang berujung pada deklarasi juang dan memberikan ekses terhadap semangat persatuan dan kesatuan nasional.

Kongres yang berlangsung di Batavia ini, diikuti oleh beragam perkumpulan pemuda (jong) yang hampir berasal dari seluruh wilayah Indonesia. Selama berlangsungnya kongres dalam waktu 27-28 Oktober 1928, rapat berlangsung dalam tiga tahapan, dengan tiga tempat berbeda pula. Rapat pertama berlangsung di gedung Katholieke Jongelingen Bond di Waterlooplein (kini Lapangan Banteng), lalu pada hari kedua dipindahkan ke Oost Java Bioscoop di Konigsplein Noord (sekarang bernama Jalan Medan Merdeka Utara), dan yang terakhir rapat diselenggarakan di Gedung Kramat 106.

Mereka hadir dengan warna perbedaan yang kental.  Suku yang berbeda, agama yang berbeda dan bahasa daerah yang berbeda pula. Demi kepentingan nasional, mereka hadir dengan satu semangat juang, berbangsa satu, bertanah air satu dan berbahasa satu, Indonesia.

Sumpah Pemuda merupakan pijakan sejarah yang penting. Melalui Sumpah Pemuda, penghuni bumi pertiwi diingatkan untuk tetap menjaga Indonesia. Konsistensi ke-Indonesia-an kita telah diikrarkan dalam Sumpah Pemuda. Dalam Sumpah Pemuda, perbedaan suku, agama, bahasa dan ras merupakan harga mati.

Tugas Pemuda
Sumpah Pemuda tidak hanya sekedar ritus semu nir-makna. Namun, hal yang paling penting adalah merawat dan menerapkan nilai-nilai yang termaktub dalam Sumpah Pemuda.

Dalam konteks kaum muda, Sumpah Pemuda adalah jembatan kesadaran eksistensi diri. Ia harus sadar akan tugas dan kewajibannya, menjaga dan terus merawat ibu pertiwi.

Es Ito, dalam novelnya Negara Ke Lima mengatakan bahwa pemuda harus ditandai dengan kegelisahan. Dan kegelisahan kaum muda bermuara pada perubahan.

Menurutnya, pemuda harus selalu berkeluh kesah. Mengeluh, saat disparitas pembangunan yang tidak adil hingga membuatnya merasa terusik. Dengan senjata idealismenya, kaum muda hadir untuk melawan ketidakadilan struktural.

Dalam konteks ini, pemuda dituntut untuk tidak cengeng. Hanya sekedar mengikuti arus perubahan, korban zaman dan bukan anak zaman. Apalagi, menjadi anak muda yang alay, dengan segala kegalauan yang diutarakan pada lini media sosial.

Bagi kaum muda masa kini, tentu tantangan merawat Indonesia semakin rumit. Ancaman serius sedang merongrong semangat kebhinnekaan kita.
Gerakan radikalisme dan tindakan intoleransi sudah mulai merabah dalam multiaspek kehidupan berbangsa dan bertanah air. Hal ini tentu semakin mengoyahkan komitmen bersama akan semangat perbedaan.

Soal persoalan di atas, penulis menawarkan  beberapa cara yang dilakukan kaum muda untuk merawat Indonesia dari gerakan radikalisme. Pertama, menjaga persatuan dan kesatuan. Menangkal radikalisme dapat diantisipasi dengan semakin memperkokoh semangat ke-Indonesia-an dengan cara saling menghargai perbedaan yang ada. Misalnya, tidak gampang terbakar dengan provokasi dari oknum yang tidak bertanggung jawab.

Kedua, meningkatkan indeks pemahaman akan hidup bersama. Dengan terus mempelajari indahnya hidup dalam warna perbedaan, kaum muda harus menjadi motor untuk memberikan pemahaman akan indahnya kebersamaan. Solidaritas dan toleransi merupakan selimut bagi upaya merawat perbedaan.

Ketiga, kampanye positif di media sosial. Sebagai jembatan komunikasi yang efektif, media sosial bisa digunakan untuk mengkampanyekan gerakan melawan radikalisme. Dengan tidak menyebarkan informasi hoax, kita turut melawan gerakan destruktif.

Karena itu, sudah saatnya kaum muda kembali ke ribaan perjuangan. Mental apatis dan pragmatis ditanggalkan. Dengan harta yang bernama idealisme, saya percaya pemuda dapat melawan gerakan yang hendak melenyapkan Indonesia.

Tan Malaka, salah satu pahlawan nasional berpendapat bahwa idealisme adalah keistimewaan yang dimiliki kaum muda. Bermodalkan idealisme, kaum muda dapat melabrak sistem yang penuh kebobrokan. Sekali lagi, kaum muda kembalilah ke ribaan perjuangan. Rohmu adalah roh perlawanan.

Tulisan ini dimuat di Flores Post.co dengan link-nya https://www.florespost.co/2017/10/30/opini-pemuda-dalam-komitmen-merawat-kebhinnekaan-refleksi-sumpah-pemuda/2/

Post a Comment

0 Comments