Mendayung Perahu Menuju Pulau Awera

Pasir putih di Pulau Awera, Kecamatan Sipora Utara Kabupaten Kepulauan Mentawai.

Matahari belum tinggi. Semangat di hari baru datang kembali. Setiap matahari pancarkan sinar, ada rasa yang kembali berasa.

Pada Minggu (26/08/18), kami bergegas ke Pantai Jati, KM 0 Tuapejat, Kecamatan Sipora Utara Kabupaten Kepulauan Mentawai.

Sesuai dengan kesepakatan sehari sebelumnya, kami berencana untuk memancing ikan di perairan laut dekat Pulau Awera.

Pulau Awera masuk dalam gugusan Kepulauan Mentawai. Pulau Awera juga termasuk salah satu destinasi wisata pantai yang indah dan menawan.

Ketika tiba di KM 0 jarum jam berada di pkl. 09.01 WIB, kami langsung bergegas menyiapkan perahu. Bang Ali langsung mengarahkan tempat yang akan kami tuju.

Ia lalu menyiapkan dayung. Masing-masing kami dibekali dengan masing-masing satu dayung.

Setelah segala tetek bengek disiapkan, perahu yang akan kami gunakan didorong ke tepi laut. Kami bertiga langsung mendorong sekuat tenaga.

Bulir-bulir pasir putih di Pantai Jati memanjakan pijakan kaki kami.  Perahu yang kami dorong pun perlahan-lahan masuk ke tepian laut. Pekerjaan selesai. Kami bergegas naik ke atas perahu.

Petualangan dimulai. Bang Ali selaku nahkoda utama duduk dibelakang ujung. Ia memiliki tugas yang cukup besar, mengatur keseimbangan perahu, kami hanya terlibat dalam urusan mendayung saja. Tidak paham juga mengatur kiblat dari perahu yang kami tumpangi. Hanya sebagai simpatisan saja. Eh...

Rasa sunyi awali perjalanan kami. Lautan yang tenang, ciptakan hati yang senang. Lautan yang luas terpampang di depan mata.


Percikan air dari aktivitas mendayung ciptakan nada-nada yang indah. Semua kami lagi fokus mendayung.

Sepanjang perjalanan menuju titik pemancingan, mata kami dimanjakan oleh Pulau Awera yang berdiri kokoh di depan mata.

Jarum jam menunjuk pkl. 10.06 WIB, saya lalu mengeluarkan handphone untuk mendokumentasikan perjalanan kami.

Bang Ali lalu memerintahkan saya untuk menjatuhkan jangkar. Jangkar pun saya lemparkan ke dasar laut. Perahu kami terhenti.

Semua kami diinstruksikan untuk menyiapkan perlengkapan mancing, aktivitas memancing pun dimulai. Titik pertama telah didapati.

Kami pun mulai memancing. Keberuntungan perdana menghampiri Bang Ali, dari tangannya kami mendapatkan satu ekor ikan. Setelah itu, bertubi-tubi pancingan Bang Ali membawa hasil.

Saya pun merasa tertantang. Sedang asyik saya menikmati sensasi memancing, Fabian langsung teriak. Ternyata ia juga mendapatkan hasil pancingan. Ia kegirangan. Orang gunung memang begitu, baru mendapatkan seekor ikan langsung terpampang senyum sumringah. Dasar!

Dari titik ini, Bang Ali kembali mengarahkan untuk kembali mengangkat jangkar. Kami bergegas ke titik yang lain.

Matahari mulai tampil sangar. Ia kembali terbang jauh. Jarum jam menunjukkan pkl. 12.35 WIB, kami melanjutkan perjalanan ke titik selanjutnya.

Usai kembali mendayung, instruksi Bang Ali kembali muncul. Saya lalu membuang jangkar ke dasar laut.

Kami kembali memancing. Seperti di titik sebelumnya, Bang Ali kembali berhasil mendapatkan hasil tangkapan. Untuk sementara, sampai pada titik yang ke dua, saya belum mendapatkan apa-apa.

Usai mencari titik-titik selanjutnya, mentari masih tampil sangar. Sayangnya, ia terus-menerus tampil ganas, panas menyengat cumbui tubuh kami.

Kami pun memilih merapat ke Pulau Awera. Perut mulai keroncong, ia lagi kosong. Sepertinya, makan siang harus segera dilaksanakan.

Setelah menyiapkan tempat pemanggangan, hasil tangkapan segera dibakar.

Untuk mengisi waktu kosong, kami memilih berfoto-foto. Merawat kenangan, merawat keabadian.


Setelah semua ikan dibakar, kami bergegas untuk makan siang. Entah kenapa, hasil keringat sendiri terasa lebih nikmat. Sensasinya lebih  terasa, sangat menggoncangkan lidah. Semuanya terasa lebih indah.

Desiran angin sepoi-sepoi temani santap siang kami. Usai itu semua, sejenak kami mengistirahatkan tubuh.

Jarum jam kembali pergi. Kami bergegas untuk kembali cundangi lautan. Perahu kembali didorong ke tengah laut.

Perjalanan mencari titik pemancingan terbaru kembali dimulai. Sayup-sayup terdengar dari bunyi dayung.

Titik terbaru telah didapati. Peralatan memancing kembali dipersiapkan.

Mata mulai lamat-lamat. Rasa kantuk mendekati. Pekerjaan menunggu memang cukup melelahkan. Apalagi menunggu ikan melahap umpan dan menyerahkan diri pada mata pancing.

Di titik ini, hasil tangkapan tidak ada sama sekali. Kami tidak menyerah, gelisah turut dihempas angin.

Usai itu semua, kami memilih untuk kembali. Jarum jam berada di pkl. 14. 39 WIB, dari kejauhan Pulau Sipora memanggil pulang.

Sepanjang perjalanan pulang, desiran ombak hempaskan waktu. Perlahan-lahan kami sepakat untuk tetap menerobos ombak dengan tenaga yang masih tersisa. Rasa capai mendekat, badan sudah tidak kuat.

Tak terasa, sentuhan lembut kami dalam mendayung membawa kami hingga ke tepian.

Di puncak perjalanan kami, ombak agak sedikit ganas. Perahu yang kami tumpangi terombang-ambing. Nyali mulai ciut.

Melawan badai ternyata sangat sukar, ia membutuhkan nyali yang cukup. Mental saya mulai redup.

Untungnya, Bang Ali sangat lihai. Ia berhasil menaklukkan ombak dengan sempurna. Kami tiba di tepian dengan selamat.

Pasir putih di Pantai Jati menyambut kedatangan kami. Tuhan selalu baik. Ia memiliki sejuta rencana bagi anak-anak yang berkehendak baik.


Ini petualangan yang menarik, mendebarkan dan menguji nyali. Resah tidak cukup melawan rasa takut. Ia harus dipreteli dengan mental yang berani, berani untuk berpetualang, menguji proses-proses baru untuk progres yang lebih baik tentunya.










Post a Comment

0 Comments