Kampus STKIP St. Paulus Ruteng
Bulan mulai suram sinarnya. Tampilannya perlahan-lahan mulai hilang. Anggunnya cahaya bulan mulai pudar tertutup oleh mentari yang akan terbit. Pagi sebentar lagi akan tiba. Penghuni di bawah kaki Pegunungan Mandosawu masih tertidur pulas, terbuai dalam dingin pada pagi yang mencekik.
Aku yang baru satu pekan menjadi penghuni Kota 1000 Gereja dengan terpaksa bangun dari tempat tidur. Padahal, tubuh begitu merasakan kedinginan. Untuk mengangkat kaki dari tempat tidur saja sukarnya matipunya.
Aku menghela napasku yang sedikit sesak. Tanganku tidak keluar dari dalam jaket. Ruteng yang dingin menjadi pemicunya. Beruntung aku punya jaket kulit pemberian sang ayah. Setidaknya benda tua itu menyelamatkanku dari suhu dingin di pagi dan malam hari.
Aku tahu jaket itu salah satu jaket kebanggan ayah. Ia sering memakainya saat hendak ke kota untuk menghantar hasi bumi dan berbelanja kebutuhan keluarga. Bagiku jaket itu salah satu warisan dan harapan ayah yang amat berharga. Aku berhak untuk merawat harapan yang diberikan oleh maestro hebat keluarga kami.
Pada hari itu, di 24 Agustus 2012, kami baru mulai mengikuti masa pengenalan kehidupan kampus. Di STKIP St. Paulus Ruteng dikenal dengan istilah ORDIK (Orientasi Peserta Didik), adalah sebuah wahana untuk memperkenalkan kehidupan kampus kepada mahasiswa baru.
Ketika ordik di kampus Katolik milik Keuskupan Ruteng itu, ada beberapa fakta yang mencuat. Fakta-fakta ini diafirmasi pula oleh senior-senior dari kampung. Pertama, cerita adanya praktek peloncoan ketika mengikuti masa pengenalan kehidupan kampus. Entahlah! Sebagai mahasiswa baru, saya memilih untuk mengikuti alur demi alur dengan mengikuti proses dengan serius bukan protes.
Kedua, cerita yang berkembang bahwa ketika ordik sering dijadikan sebagai tempat dari senior-senior di kampus untuk melirik junior-junior yang bening (defenisi cantik di Ruteng, red). Soal ini, ada benarnya juga, terlampau banyak senior yang memperhatikan junior yang cantik, yang ternyata adalah “modus”. Eh…..
Ketiga, dari dua catatan di atas ternyata semuanya benar-benar terjadi. Di puncak ordik kami pernah disuruh jalan dalam keadaan telungkup mulai dari gerbang masuk hingga aula utama. Bayangkan sedihnya jadi mahasiswa baru. Teman kelompok saya juga ada yang pedekate dengan senior yang kebetulan merangkap sebagai panitia. Senior kampus ketika ordik memang terlampau keren. Sumpah. Ckckck….
Aku beranjak dari kos dengan menggunakan kemeja putih dan celana kain berwarna hitam. Papan nama terbuat dari kardus bekas digantung di leher dan rambut dicukur plontos. Saya meninggalkan indekos dengan berjalan kaki. Lalu, susuri koridor di kampung Tenda menuju kampus STKIP St. Paulus Ruteng.
Ingar-bingar aktivitas mahasiswa baru di kampus swasta di kota yang terkenal dengan julukan sebagai Kota Molas itu terlihat ramai. Sepanjang koridor menuju kampus di jantung kota itu disesaki oleh mahasiswa yang baru masuk.
Perlahan-lahan mentari pagi menempel di ufuk timur. Semburat merah muncul diantara jejeran Pegunungan Mandosawu. Matahari kembali terbit. Ia kembali hadir untuk menjalankan tugas keabadiannya, menyinari bumi membawa setitik harapan.
Mahasiswa baru sudah mulai berkeliaran. Dialek yang bermacam-macam khas tanah Nuca Lale berseliweran ke sana kemari. Dari warna suara yang kental dapat kita mengidentifikasi bahwa ini orang Lembor, Cibal, Lamba Leda, Kota Komba, Reok Barat dan Ruteng. Untuk orang Ruteng biasanya warna suaranya agak melejit sedikit, biar diketahui bahwa mereka orang kota begitu. Eh, tapi itu tidak berlaku ee. Pasalnya, semua akan melebur dalam cangkir bersama untuk meraih mimpi.
Proses selama lebih kurang 5 hari kami ikuti. Setiap harinya bangun lebih awal. Berbagai perjumpaan dengan orang baru dari penjuru Flores Barat hiasi pertemuan kami kala itu.
Lalu-lalang panitia dengan tampang yang judes berjalan ke sana kemari. Belum lagi bentakan dan teguran bernada kasar selalu menyasar mahasiswa baru. Serasa panitia ordik saja yang paling benar saja ketika itu.
Senior perempuan juga sama garangnya dengan laki-laki. Tidak ada nada protes dari mahasiswa baru, apalagi jika ada yang sempat gombal dengan panitia. Dijamin barabe deh. Kerepotan begitu.
Lagian junior tidak bisa mencela apalagi membantah senior. Dua pasal yang menjadi pegangan panitia selalu didengungkan ketika ordik berlangsung. Pertama, senior tidak pernah salah. Kedua, jika senior salah maka kembali ke pasal satu. Lalu, junior masuk lewat pasal mana? Tidak ada pintu untuk membantah bentukan dan bentakan dari senior. Mama ee…..
Sialnya arogansi dari panitia ordik tidak terbawa ketika proses kuliah berlangsung. Ada begitu banyak yang memiliki mata kuliah yang gugur dan harus program ulang pada semester selanjutnya. Walah! Wibawa senior pun luntur. Ternyata, ketika proses perkuliahan berlangsung senior tak selamanya keren. Sungguh penampilan keren ketika jadi panitia hilang. Eh….
Selama ordik juga saya sempat jatuh cinta. Sumpah. Terlalu keren jatuh cinta saat ordik. Ceritanya saya terkesima dengan salah satu teman yang ada di dalam satu kelompok dengan saya. Parasnya lumayan cantik sih. Saya masih ingat bahwa ketika pameran pembangunan tingkat Kabupaten Manggarai, kami sempat dustai malam di Lapangan Motang Rua.
Ketika itu, kami berjalan kaki dari Tenda menuju Lapangan Motang Rua. Malam yang dingin berhasil kami hindari. Ya, begitu memang jika hendak berdua dan bersua. Terkadang kita tidak peduli kehujanan ataupun melewati kuburan. Iya to?
Kasih memang selalu melahirkan kisah. Sayang selesai ordik, hubungan kami ikut-ikutan kandas. Seingat saya, ia tidak sempat menyelesaikan kuliahnya di STKIP St. Paulus Ruteng. Ia memilih untuk membangun rumah tangga. Nona eee…..
Sekian dulu catatan saya kali ini. Setiap proses memang harus diikuti dengan intensitas keseriusan yang tinggi juga hati yang lapang. Saya hanya sedang rindu dengan STKIP St. Paulus Ruteng yang sebentar lagi akan menjadi Universitas Katolik St. Paulus Ruteng. Semoga usaha civitas akademika STKIP St. Paulus Ruteng berbuah manis. Semoga!
0 Comments