Hujan (ilustrasi)
Hujan baru saja tiba. Dari celah jendela, saya menatap ke luar kamar yang sudah mulai gelap. Hujan datang dengan semangat. Ia hadir memecah kesunyian.
Novel Burung-Burung Rantau belum tuntas dicumbui. Kesibukan yang tidak jelas menyita waktu untuk membaca. Penderitaan saya tidak sampai di sini. Minyak tanah sudah habis. Kopi gagal untuk diseduh. Padahal, hujan begini paling renyah jika ditemani dengan kopi. Tapi, entahlah!
Saya lalu membuka laptop lenovo kesayanganku. Niat untuk kembali muncul di blog pun ikut-ikutan membara. Saya lagi berpikir untuk mencari uang dari tulisan. Sumpah. Pendapatan saya yang begitu pas-pasan sebagai pemicunya. Gaji yang tidak cukup sempat membuat mental saya redup.
Saya berpikir bahwa dengan menulis bisa mendapatkan uang. Sempat belajar nulis di Mojok.co dengan corak nulis yang nyantai tapi renyah untuk diseruput. Sayang, setelah belajar dan mencoba untuk kirim 2 artikel, semuanya gagal dimuat. Mojok.co yang terhormat, catat nama saya bahwa suatu waktu naskah saya akan lolos. Catat!
Redaksi membalas dengan bijak. "Mas Erik yang baik, sebelumnya kami ucapkan terima kasih atas kesediaannya mengirimkan naskah ke Mojok. Artikel Anda sudah kami terima dengan selamat tanpa kurang satu apapun. Kami mohon maaf, artikel Anda belum bisa kami muat. Namun begitu, kami sangat berterima kasih atas kesediaan Anda mengirimkan tulisan untuk Mojok. Dan kami tunggu naskah-naskah Anda lainnya. Terima Kasih". Ya, gagal donk nongol di Mojok.
Sepanjang akhir Oktober hingga awal November sekarang status saya jomblo. Penderitaan menjadi jomblo itu sangat berat. Saya mengalaminya. Jika tidak percaya, coba saja untuk menikmati sensasinya.
Tentang status saya jomblo ada kisahnya. Seperti kopi, jika kopimu tersisa ampasnya saja, akan kian sesak untuk dinikmati. Ujung-ujungnya kamu akan terisak. Toh, kopi untuk dinikmati bukan untuk disesali.
Di luar hujan belum jua reda. Bulir-bulirnya ciptakan irama tersendiri. Lagu Karna Ko Sayang dari Near Ft. Dian Sorowea terus-terusan saya putar. Maknanya begitu kuat. Saya jadi rindu tentangmu. Tentang kamu yang gagal jadi kita, tentangmu yang tak lagi dekat. Kita telah terpisah pada sekat kehidupan kita masing-masing. Ckckck….
Awal November terlihat romantis jika dibumbui dengan hujan. Tentang hujan di awal November selalu bermuara pada kerinduan akan kenangan. November yang ditemani hujan kian mengingatkan kita bahwa sebentar lagi Desember. Ya, darinya kita belajar bahwa ada Natal yang membuat kita rindu.
Di awal November ini, ada banyak refleksi-refleksi liar di kepala saya. Bukan soal status jomblo. Toh, saya tetap menunggu kamu hingga kamu memilih berpisah dengannya. Astaga!
Ada pembelajaran yang menarik, salah satunya soal bertarung dengan pilihan. Ketika kita menentukan pilihan, maka konsekuensi logis sudah dipikirkan secara matang. Bukankah kita dibesarkan oleh pilihan yang kita ambil? Bukankah kita akan bertarung pada pilihan-pilihan yang kita pilih?
Jika sudah menentukan pilihan, maka sudah menjadi kewajiban untuk bertarung dengan pilihan tersebut. Tidak boleh tidak. Terlalu naif juga jika kita menjadi pecundang dengan melempar batu sembunyi tangan. Melakukan pencitraan, misalnya. Seolah-olah kita menjadi korban dari sebuah kebijakan.
Menjadi seorang jomblo juga bagian dari pilihan. Dengan tetap bertahan untuk bertarung dalam rasa sepi untuk melawan status yang menyendiri.
Sekarang media sosial kita diliputi dengan informasi maraknya peserta yang gagal CPNS. Status jomblo pun diperpanjang saat gagal CPNS. Sebab akan berimbas pada gagalnya mencari pacar dan rencana menikah di tahun depan. Eh….
Hujan belum juga reda. Kopi belum berhasil diseduh. Minyak tanah belum juga dibeli. Catatan ini cukup sampai di sini.
Suaranya Near tetap menggelegar di langit kamar. Saya tetap tunggu kau putus, Nona.
0 Comments