Mengenang Kakek Agustinus Huntu, Kakek Kami Tercinta

Ema Agus, kakek kami tercinta 

Namanya Agustinus Huntu. Menikah dengan Theresia Dangul. Dipanggil Ayah oleh Ayah saya dengan delapan anaknya yang lain. Sebagai cucu-cucunya, dulu waktu ia hidup, kami memanggilnya Ema Agus. 

Ia sudah meninggal dunia. Dipanggil Tuhan pada tahun 2000. Tanggal dan bulannya tak lagi kami ingat, bahkan oleh Ayah sekalipun. Sudah 20 tahun ia pergi menuju kampung keabadian, meninggalkan Ibu Bumi yang  fana ini. 

Jejaknya masih terekam dalam kepala-kepala dari anak-anaknya, juga cucu-cucunya yang sempat berada bersamanya. Ia akan selalu ada dalam doa-doa yang terus kami rapalkan kepada pemilik kehidupan. 

Darah yang mengalir di dalam tubuhnya diperoleh dari Suku Kuleng. Ia lahir di Ntaur. Di tahun yang tidak kami ketahui sama sekali, baik  oleh Ayah kami sebagai anak kandungnya, maupun oleh saudara Ayah yang lain. 

Meski lahir di Ntaur, ia memilih untuk tak tinggal di kampung halamannya. Konon katanya, di zaman mereka, ada waktunya untuk meninggalkan kampung halaman, mengembara menuju tempat yang lain. Jika dalam masa pengembaraan mereka  menemukan tempat yang tepat untuk ditempati, pengembaraan akan diberhentikan. 

Setelah melewati masa pengembaraan, ia memutuskan untuk menetap di Golo Mongkok. Kalau boleh menduga, memilih Golo Mongkok, karena hamparan luas membentang, ditumbuhi ilalang dengan aneka pohon jambu. Diapiti oleh dua sungai yang terus mengalir sepanjang waktu, Sungai Wae Musur di sebelah barat, juga Sungai Wae Tegel dan Sungai Wae Laku di sebelah timur. Yang tentu saja sangat cocok untuk tempat tinggal.

Pengembaraannya pun berujung, garis hidupnya dilalui di sini, tempat kami tinggal sekarang. Ia arungi sepenuh hidupnya penuh cinta, mengolah tanah yang dulunya hanya ditumbuhi ilalang, lalu membangun kampung bersama dengan orang-orang yang lebih dulu tiba di tanah ini. 

Yang menarik tentang Ema Agus kelampau banyak, kakek kami yang oleh orang-orang kampung dipanggil Meleset itu. Ia dapat menebang hutan lebat (pong) seorang diri dengan bermodalkan parang dan kapak. 

“Almarhum Ayah memiliki ilmu perange,” jelas Bapak Rikus Gandut, anaknya yang kedua saat lagi kumpul-kumpul di rumah kami di suatu waktu.  

Perange dalam budaya Manggarai semacam ritual untuk mengusir penghuni atau roh yang mendiami suatu pohon atau pong. Pohon-pohon besar yang berumur puluhan bahkan ratusan tahun dipercaya memiliki penunggu. Yang pasti tak semua orang bisa menebang pohon dalam pong untuk membuka ladang baru, hanya orang-orang tertentu, yang memiliki perange, misalnya. 

Pohon beringin termasuk salah satu jenis pohon yang dipercaya memiliki penunggu. Waktu kami kecil tersiar kabar untuk tak melewati pohon beringin sendirian, apalagi saat siang hari. Siapapun dia, nyalinya pasti ciut saat ditantang untuk melewati pohon beringin seorang diri. 

Berkat keuletannya, ia mampu menggarap ladang di sekitar perkampungan. Lahan-lahan yang ia garap ditanami pohon umur panjang. Di masanya, selain pohon kemiri, pohon kapuk termasuk salah satu tanaman favorit yang ditanam. 

Ladang-ladang yang dikelola pasti selalu ada pohon kapuk di dalamnya. Kami bahkan merasakan empuknya kasur yang diisi dengan kapuk, hasil dari jerih payahnya tadi. Sayangnya saat aktivitas persawahan mulai masif, rata-rata pohon kapuk yang ditanamnya ditebang, tak ada lagi yang tersisa. 

Dulu di belakang rumah kami, ia menanam pohon kelapa dan pohon kopi. Sekarang sudah tak ada lagi . Termakan waktu. Kelapa-kelapanya sudah mati, sebagiannya telah rata tanah karena ditebang untuk diambil batangnya menjadi balok. Sementara pohon kopi telah ditebang. Tak lagi berbuah. Seperti kelapa tadi, usianya sudah tua. Tentu tak lagi produktif.

Sekarang ada salah satu pohon yang  tersisa. Yakni pohon aren di belakang rumah kami. Konon pohon ini sengaja ditanam, biar tak kesulitan saat hendak mencari moke putih (tuak bakok). 

“Pohon aren ini sengaja ditanam. Almarhum Ayah menginginkan agar suatu saat anak dan cucunya tak perlu pergi jauh-jauh saat ingin menikmati tuak bakok,” kelakar Bapak Polus Jelurut, anaknya yang ketiga. 
Salah satu pohon aren di belakang rumah kami. 

Sialnya, pohon aren ini tak menghasilkan banyak tuak bakok. Di suatu musim pernah  dipanen oleh Bapak Rikus Gandut, hasilnya tak memuaskan. Setiap pagi dan sorenya hanya menghasilkan lima liter saja. Tak terlalu banyak hasilnya jika dibandingkan dengan pohon aren pada umumnya, yang biasanya menghasilkan tuak bakok sebanyak sepuluh liter dalam sehari. 

“Mungkin Ayah tak lagi mengizinkan kita untuk menikmati tuak bakok,” canda Ayah saya di suatu waktu. 

Waktu kami kecil, ia tinggal di rumah bersama kami, di rumah kami yang lama. Ia paling tidak suka melihat anak-anak menangis. Bentuk hukuman andalan yang diterapkan pada cucu-cucunya dengan diisi ke dalam karung, lalu digantung. Hukuman yang keras. Tak jarang kami lekas diam saat diwanti-wanti untuk diisi di dalam karung. 

Sebagai orang yang memiliki garis keturunan Suku Kuleng, ia tentu akrab dengan sopi dan tuak bakok. Hari-harinya yang ia lalui tak luput dari menyeruput sopi. Dalih dari lidah yang menandaskan bahwa menikmati sopi dan tuak bakok bagian dari warisan leluhur bagi Suku Kuleng. 

“Kebiasaan meminum minuman keras sudah menjadi warisan leluhur untuk kita semua. Haram hukumnya kalau orang Kuleng tidak minum.” Begitu candaan yang terus terdengar dalam telinga saya saat lagi ada acara keluarga. 

Setiap hari Selasa, ia pergi ke Pasar Borong. Tujuannya membeli tembakau dan daun lontar. Ada juga tujuan yang lain; menikmati minuman keras di Pasar Borong. Jangan heran saat ia pulang dari pasar dalam keadaan mabuk, ia tidak turun tepat di depan rumah kami. Kerap kali ia turun di persimpangan sebelah atas rumah kami, itupun usai diingatkan oleh pengemudi atau kondektur. 

Soal kebiasaan minum minuman keras memang tidak bisa dibantah. Anak-anaknya sampai kini punya kebiasaan minum minuman keras. Bahkan, tidak hanya menunggu ada acara keluarga, kalau ada kesempatan mereka akan menikmati minuman keras. 

Saat kami kecil, kami selalu memerhatikan isi di dalam kantong plastik yang ia terus bawa kemana-mana. Di dalamnya terdapat tembakau, daun lontar yang telah digaruk untuk dijadikan rokok, dan cabai yang telah diulek dengan dicampuri terasi.  Kelak saat ia membuka kantong plastiknya, aroma terasi tercium. 

Ayah kami di rumah pernah bercerita soal pengorbanannya. Dulu di tahun 1980-an, saat Ayah sedang mengenyam bangku pendidikan di SPG St. Aloysius Ruteng, Ema Agus mati-matian untuk meminjam uang dari kenalannya. Ia meminjam uang semata-mata untuk memenuhi kebutuhan untuk membiayai pendidikan dari anaknya. Setelah ia menjual jerih payahnya di ladang, kemudian ia menebus pinjamannya tadi. 

Di suatu waktu, saat acara tahun baru pada tahun 2020 kali lalu, saya sempat menanyakan alasan di balik keluarga Kuleng, Golo Mongkok enggan lagi mengunjungi Ntaur sebagai kampung halamannya. 

“Gara-gara urusan adat saat saya hendak mengambil istri,” jelas Bapak Rikus Gandut. 

Dari ceritanya, ada kesepakatan bersama yang tidak mereka penuhi. Entah apa kesepakatan yang dimaksud. Semenjak itu komunikasi terputus. Sampai di era kami sekarang, tidak lagi ada komunikasi lebih lanjut sebagai sesama saudara dari garis keturunan Suku Kuleng. 

“Yang ada di sana, biarkan mereka di sana. Kita yang ada di sini teruslah hidup di sini,” ujar Bapak Rikus Gandut menirukan ucapan sang Ayah semenjak peristiwa itu. 

Di usia senja, ia tertatih-tatih dalam melangkah. Penyakit yang mengrongrong tubuhnya telah mematikan arah dan langkahnya. Ia terserang penyakit beri-beri. Kaki-kakinya langsung berubah bentuk, membengkak sehingga ukurannya menjadi lebih besar dari biasanya. Langkah kakinya torgonta-gantai. Ia tak lagi kuat seperti dulu. 

Sebagai kenang-kenangan, saat ia lagi sakit dan menderita beri-beri, ia sempat difoto oleh tukang foto. Fotonya masih tersimpan. Wajahnya dalam foto kelampau keriput, dimakan sang usia. Anak-anaknya yang perempuan pun berebutan untuk menyimpan foto itu. Entah sekarang fotonya ada di mana, mungkin di Kampung Perang, Kampung Purak atau di Kampung Mbeling. 

Ziarahnya pun berakhir. Ia menghembuskan nafas terakhir di pangkuan Ayah. Sang pejuang yang meluluhlantahkan lebatnya hutan Golo Molas itu pulang ke rumah bapa, rumah terakhir bagi semua insan di muka bumi.

Menurut Ayah, sebelum ia meninggal, ia tak bertutur sepatah kata, tak ada pesan apa-apa untuk anak-anak dan cucu-cucunya. Ia tak lagi kuat untuk mendendangkan syair kehidupan seperti dulu saat ia lagi nengo. Ia pulang dalam haru.  

Ia telah pergi. Namun cerita tentangnya akan abadi di hati dan kepala untuk kami semua. Ia turut abadi di dalam catatan ini.  

Golo Mongkok, 17 Mei 2020. 


Post a Comment

0 Comments