Tempat Berkumpul Paling Favorit Versi Anak Kampung Macam Saya


Pohon aren (tuak) menjadi salah satu tempat idola untuk berkumpul

Tinggal di kampung dengan kondisi serba terbatas, suka tidak suka, mau tidak mau, harus dijalani dengan sepenuh hati. Luput dari ingar-bingar seperti di daerah perkotaan menuntut anak-anak desa agar tidak menyerah dengan keadaan. Jangan harap ada tempat-tempat hiburan terkeren seperti di kota besar. Demi menyambung hidup dari bulan ke bulan sekelas rakyat jelata macam kami ini susahnya minta ampun, apalagi hendak menuntut hiburan yang ekslusif di tengah hidup yang kian hari kian keras.

Tantangan tinggal di kampung memang aduhai susahnya. Jika dibandingkan sukarnya dengan move on  dari mantan yang pergi tanpa permisi hampir sama rasanya. Tidak ada bedanya. Mulai dari sinyal yang pikir-pikir baru masuk kampung di Manggarai Timur sini, juga cerita tentang provider yang mendominasi akses komunikasi dengan tarif  yang aduhai mahalnya, menghempaskan anak desa macam kami dalam pertarungan mengakses bokep hiburan seperti di kota-kota besar. Alhasil, menikmati apa yang ada baiknya dilakukan sebagai sebuah perjalanan hidup sebagai anak-anak desa.

Di saat orang-orang di mamakota sana dilanda gelisah, galau dan merana, akibat dari listrik yang padam selama hampir tujuh jam pada waktu yang telah lewat, sedangkan kami di kampung kian lama belum menikmati listrik. Bayangkan! Apalagi ruang temu yang keren-keren seperti di kota besar, seperti bioskop, mall, café, restoran dan lain-lain, tentu tidak ada sama sekali.

Namun, sebagai anak desa yang  sudah dimanjakan dengan hidup yang keras sejak zaman antah berantah, menyerah dengan keadaan tentu tidak baik. Engkau bakal dicap sebagai pecundang kelas kakap oleh orang sekampung saat meratapi ketertinggalan yang dialami. Karena itu, demi meluapkan kebutuhan rekreasi saat berada di kampung, ada ruang temu yang paling favorit menurut orang kampung macam kami ini. 

Melalui permenungan yang amat panjang, saya menjaring tempat paling ideal sebagai ruang temu untuk orang kampung macam kami. Usai melakukan wawancara dengan tukang tuak di bawah pondok yang ada di tepi sungai Wae Musur, saya menemukan kekasihku setidaknya ada empat tempat berkumpul paling favorit versi anak kampung macam saya.

Pondok dari penyadap moke putih

Menikmati moke putih di bawah pohon aren itu nikmatnya tiada dua (foto: FB Theo Pamput)

Ada yang menarik dalam kehidupan orang Manggarai saat senja hendak pergi menjemput malam. Biasanya, orang akan berbondong-bondong menuju pondok dari para penyadap moke putih. Orang Manggarai menyebutnya lolu. Lolu sebagai aktivitas mendatangi tekape dari para penyadap moke putih (ata pante tuak).

Mendatangi penyadap moke putih bertujuan untuk menikmati suguhan moke putih yang baru saja dipanen dari pohon aren. Moke putih disuguh dalam cangkir yang dibuat dari bambu muda. Bambu dipotong membentuk cangkir. Orang Manggarai menyebutnya sinduk.

Menariknya saat menikmati moke putih yang disajikan dalam sinduk ada sensasi tersendiri. Sensasinya tentu berbeda jauh jika dibandingkan dengan suguhan moke putih memakai cangkir, apalagi jika pondok dari penyadap terdapat di tepi sungai. Sungguh sensasinya benar-benar terasa.

Cerita-cerita tentang hidup dibagi saat perlahan-lahan moke putih mulai dinikmati. Ruang temu yang tadinya biasa-biasa saja akan menjadi istimewa saat diwarnai dengan candaan yang menghangatkan suasana. Benar bahwa di pondok penyadap moke putih menjadi tempat berkumpul paling favorit untuk orang kampung. Saya pernah merasakannya. Anda harus mencoba.

Penjual sopi yang ada di kampung

Penjual sopi jadi salah satu tempat berkumpul yang cukup diminati (foto: FB Erland Jumpar)

Sopi menjadi minuman favorit saat orang-orang  berkumpul di Flores. Sebenarnya bukan hanya di Flores ada sopi, sebab setiap daerah memiliki minuman keras khas lokal. Hanya namanya saja yang berbeda. Tujuannya sama; membuat orang mendadak menjadi perkasa.

Berkat sopi maka ruang temu di Flores menjadi lebih ramai dan asyik, entah untuk bikin kacau di kemah pesta, omong besar sampai lupa daratan, bahkan membuat ulah dengan memecahkan piring milik tuan pesta, sehingga jangan heran saat ada penjual sopi di kampung pasti dikerumuni oleh para pembeli.

Sopi telah mengajarkan orang kampung tentang persaudaraan sejati. Hal ini dapat terlihat saat orang mulai berkumpul. Perlahan-lahan orang mulai patungan demi membeli sopi. Usai sopi dibeli akan dinikmati sembari melontarkan candaan demi candaan yang justru memancing gelak tawa. 

Bagi orang kampung, menikmati sopi sebagai salah satu ruang menghibur diri. Ada cerita tentang hidup saat ruang temu berjalan bersama gelas sopi, ada kepolosan saat orang bercerita tentang kehidupannya sendiri. Tak perlu mengernyitkan dahi, jika setiap harinya rumah dari para penjual sopi diramai para pembeli.

Kemah pesta

Kemah oesta salah satu yang paling diminati juga

Pesta di kampung merupakan momentum yang selalu ditunggu-tunggu. Kendati musim kemarau yang berkepanjangan berakibat fatal pada rendahnya pendapatan, tetap tak berhasil mengurungkan niat rompes-rompes untuk mengikuti pesta.

Pesta menjadi ruang temu yang diidam-idamkan bagi anak muda. Ada kerinduaan tersendiri saat pesta jarang diadakan, ada cerita tentang pertemuan bersama saat pesta diadakan, dan ada pertemuan memadu cerita dengan undangan yang lain saat pesta dimulai. 

Saat tiba di kemah pesta biasanya rompes-rompes tadi akan duduk di dalam kemah sembari bercanda satu sama lain. Pertemuan yang tadinya bernuansa formal perlahan-lahan bergeser dalam suasana yang tidak kaku. Sopi biasanya juga menjadi salah satu suguhan yang selalu dicari-cari saat pesta sedang berlangsung.

Berkerumun di sekitar tumpukan kayu yang dibakar (sarap api)

Kebiasaan memanaskan badan ini dilakukan setelah mandi sore, saat di mana hawa dingin merasuki tubuh. Kayu kering dikumpul dan disusun serapi mungkin untuk dibakar. Setelah api menyala, perlahan-lahan orang akan duduk mengerumuni api sembari berbincang-bincang tentang berbagai topik. Topik pembicaraan beragam, mulai dari: politik, budaya, kalah judi kartu, ekonomi nasional, hingga obrolan tentang Cebong dan Kampret yang belum move on dari pilpres kali lalu.

Bara api kian lama kian membara. Pembicaraan pun masih berlanjut. Hangatnya api seolah-olah meracik hangatnya persaudaraan. Nuansa persaudaraan terlihat bersama dengan candaan demi candaan dilontarkan.

Tradisi sarap api turut membentuk demokrasi di kampung-kampung. Pasalnya, saat kebiasaan memanaskan badan dijalankan akan diikuti dengan diskusi kecil dari orang-orang kampung. Perdebatan sengit terkadang tak dapat dielakkan. Boleh dibilang tradisi sarap api dapat melahirkan rekomendasi kebijakan di tingkat kampung.

Di tengah ketertinggalan kami yang ada di kampung-kampung, empat tempat berkumpul di atas telah kian lama membentuk peradaban sebagai orang kampung. Peradaban bangsa manusia bukan hanya dipengaruhi oleh teknologi yang kian maju, tetapi kampung dengan segala kesederhanaan justru bercerita apa adanya tentang hidup itu sendiri.





Post a Comment

0 Comments