Merawat kebun itu bagian dari merawat keberuntungan.
Sadar atau tidak, setiap harinya, kita punya hidup dihampiri keberuntungan. Alam semesta rutin memberikan kejutan untuk para penghuni bumi. Meski keberuntungan yang datang bertubi-tubi itu absen untuk kita syukuri. Namanya manusia, kadang menjadi pecundang. Memohon sering didaraskan saat pagi datang dan saat malam hendak beranjak meninggalkan bintang-gemintang. Sementara meluangkan waktu demi memadahkan syukur jarang dilakukan. Ngomong-ngomong soal keberuntungan saya jadi ingat cerita pada dua tahun lalu.Di dalam perjalanan pulang seorang diri dari Pulau Andalas, saya kebingungan sebelum masuk ke ruang tunggu bandara di negerinya Bung Hatta dan Tan Malaka itu. Waktu masih terlalu subuh. Jarum jam di pukul empat lebih limabelas menit waktu indonesia paling barat. Duapuluh lima menit berlalu membuat isi kepala saya mulai linglung, beruntung kebaikan datang lewat seorang lelaki tua. Usianya di kisaran kepala lima, sama seperti usia dari Ayah saya di rumah. Pertanyaannya membuyarkan kerisauan di kepala saya.
"Mau ke mana?" Tanyanya.
"Surabaya, Pak." Jawab saya.
Sebelumnya saya telah membuat janji dengan seseorang. Sebut saja namanya Popind Davianus. Saya hendak berlibur selama dua pekan di tempatnya berkuliah. Tiket yang sudah dipesan memilih kota itu sebagai tempat tujuan. Memilih Surabaya sekadar untuk menikmati jejak juang di kota yang terkenal dengan aksi 10 Nevember 1945 itu.
"Sama, Dek." Lanjutnya.
Saya langsung memasang wajah sumringah. Seketika hati saya terasa tenang. Kami lalu berbincang. Pertanyaannya tak lebih dari menanyakan nama, asal kampung dan pekerjaan. Selebihnya saya mulai sok akrab. Kami melanjutkan obrolan. Topiknya serampangan. Tujuannya untuk menghangatkan pagi yang perlahan-lahan menjemput mentari.
Setiap melakukan perjalanan lewat udara selalu saja pikiran saya tak pernah tenang. Sesaat sebelum berangkat biasanya saya dirisaukan dengan kelancaran dari perjalanan tersebut. Dari mengecek jam keberangkatan secara berulang-ulang dan sejuta harap agar tak ketinggalan pesawat. Makanya untuk melancarkan perjalanan biasanya kita mendadak religius. Malam sebelum berangkat saya telah memohon pada Tuhan agar bebas hambatan di dalam perjalanan.
Saat kami asyik bercerita tertulis imbauan di layar informasi kalau saja pintu cek in untuk penerbangan tujuan Surabaya telah dibuka. Kami lalu masuk. Menyerahkan kode pemesanan kemudian dicek identitas diri. Barang bawaan diserahkan ke pihak maskapai untuk ditaruh di bagasi.
Selanjutnya saya menuju ruang tunggu hanya seorang diri. Di dalam ruangan itu saya seperti anak ayam yang kehilangan induk. Raut wajah masih menampilkan ekspresi penuh resah. Risiko perjalanan seorang diri memang demikian, sepi dalam situasi yang ramai, seolah-olah kita sedang berada di tengah hutan seorang diri. Amat menyedihkan memang.
Di tengah situasi itu ada orang baik datang untuk kedua kalinya. Kejutan kali ini bukan dari orang yang sebelumnya saya temui di lobi bandara. Ia seorang bapak yang sudah berumur, lebih tua dari Ayah saya. Saat menghampiri tempat duduk saya, ia melempar wajah penuh sumringah.
"Tujuan mana, Dek?" Tanyanya.
"Surabaya, Pak," jawabku.
Kota tujuan kami ternyata sama, ia juga mau pulang ke Surabaya. Kebetulan saat itu bertepatan dengan Hari Lebaran. Kedatangannya ke Ranah Minang untuk merayakan lebaran di Payakumbuh, kampung halamannya. Ia mengunjungi pusara dari kedua orangtuanya sekaligus untuk merawat tali silaturahmi dengan kerabat dekat yang tinggal di kampung.
Kami melanjutkan obrolan. Percakapan awal berkutat pada pertanyaan formal, misalnya menanyakan nama dan asal daerah. Saya berusaha untuk terus mecairkan suasana dengan terus mengajukan ragam pertanyaan.
Dari perbincangan itu saya jadi tahu kalau ia pengusaha kuliner. Hari-hari bersama istri dan anak semata wayangnya mengelola rumah makan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Di tempatnya merantau, ia memiliki dua rumah makan padang, jumlah yang cukup untuk keluarganya dengan pendapatan yang menggembirakan.
Orang Minang memang terkenal dengan masakan yang menggoncangkan lidah. Seantero Nusantara tersebar rumah makan padang hingga ke daerah pelosok. Sejak dulu di sebagian ibukota kecamatan di Pulau Flores selalu ada rumah makan padang. Mereka sukses memengaruhi peradaban lewat makanan, pencapaian yang patut diacungi jempol.
Pagi sudah tampak, di luar ruang tunggu bandara perlahan terang benderang. Sedang asyik ngobrol, ia memberitahu saya untuk pergi salat terlebih dulu.
"Rik, ayo salat."
"Saya Nasrani, Pak."
Sebelumnya kami memang tak menyinggung soal kepercayaan kami masing-masing. Sejatinya agama memang menjadi ranah privat yang menjadi urusan masing-masing orang. Menggumbarnya dalam percakapan dengan orang yang baru kita jumpa bisa saja mengganggu relasi, apalagi kalau memiliki kepercayaan yang berbeda.
"Kalau gitu Bapak salat dulu ya."
"Silakan, Pak,"
Ia lalu beranjak ke ruangan salat. Saya kembali memerhatikan orang-orang yang lalu-lalang di ruangan itu. Mereka yang barangkali hendak terbang jauh, meninggalkan patah di tanah itu demi menenun harap di tanah yang lain.
Begitu ia selesai salat, ia kembali ke tempat semula. Di tangannya terbawa dua botol air mineral. Satunya ia minum, sementara satunya lagi diberikan pada saya. Kami melanjutkan obrolan hingga tak terhitung lagi topik yang kami perbincangkan.
Obrolan kami terhenti, pihak bandara menginformasikan kalau saja pesawat tujuan Surabaya akan berangkat. Kami lalu mengarah ke pintu tiga untuk berjalan menuju ke pesawat. Butuh enampuluh menit tiba di Bandara Soekarno Hatta untuk transit, kemudian melanjutkan perjalanan menuju Kota Surabaya. Beruntung perjalanan itu tiba dengan selamat.
Tiba di bandara tujuan, saya berpisah dengan orang baik yang saya temui. Ia lalu memberi tawaran untuk bermain ke rumah makan yang ia miliki di kota itu. Hari-hari di tempat usahanya selalu dikunjungi oleh anak-anak timur, khususnya pemain bola.
"Saya gila bola, Rik." Jelasnya sebelum mengambil bagasi.
Kami berpisah usai mengambil bagasi. Seuntai senyuman menutup pertemanan beda generasi itu. Ia keluar bandara kemudian dijemput oleh anaknya.
Di luar bandara, saya disambut oleh adik Kristo, teman akrab dari Popind. Ia membawa saya hingga tiba dengan selamat di kontrakannya Popind. Tempatnya di Pumpungan. Semalam di kontrakan itu hanya ditemani oleh Venan, anak yang baru tamat SMA asal Colol, Manggarai Timur. Keesokan paginya baru berjumpa dengan Popind setelah ia pulang dari Kota Malang menuntaskan urusan bisnisnya.
Hidup memang kumpulan dari keuntungan demi keuntungan. Kalau saja saya tak bertemu dua orang baik itu, barangkali perjalanan saya terus-terusan dihantam kerisauan. Terima kasih semesta. Hormat untuk seluruh orang-orang baik yang pernah saya temui, kapan dan di manapun.
0 Comments