Pengalaman Perdana; Berlayar dengan Speedboat


Kokohnya pulau yang memanjakan mata
Ujian. Sebuah fase yang menegangkan bagi peserta didik. Dulu, saat masih mengenyam pendidikan di bangku SD-PT, ujian merupakan momok yang meresahkan. Tak pelak, sistem SKS menjadi pilihan terakhir. Tidak lebih. Kebut-kebutan belajar.  Siang-malam berurusan dengan buku catatan atau ringkasan materi. Itu semua, demi sebuah hasil yang memuaskan.

Kadang bergeming dengan keadaan. Menyerah dengan predikat sebagai peserta didik.  Naas menjadi peserta didik. Tuntutan kurikulum lebih dominan, hingga kompetensi keterampilan anak didik diabaikan. Pendidikan sialan. 

Sekarang, posisinya sudah bergeser. Saya bukan lagi menjadi peserta didik, tetapi menjadi pendidik. Guru. Pekerjaan yang sempat saya hindari. Hehehe, namun sekarang merasa keasyikan juga. Begitu sudah. Waktu punya buat. Nasib punya mau. Lebay.......

Jika dulu takut dengan ujian. Sekarang, kondisinya berlainan. Kita yang berjibaku dengan waktu untuk kepentingan ujian. Menyelesaikan soal untuk ujian anak-anak. Sempat tertunda, tetapi keburu deadline. Suka tidak suka, harus usai tepat waktu.  

Sempat vakum menulis untuk meng-update blog, sebab masih merangkai kata demi kata untuk kebutuhan soal ujian. Iseng-iseng cari bahan untuk menyiapkan soal ujian, kepikiran juga untuk kembali merangkai kata menjahit kalimat serta jari jemari menari girang di atas laptop acer-ku.

Puncaknya. Muncul ide menulis tentang pengalaman perdana menjadi anak pulau. Suatu kisah bergelut dengan lautan luas arungi Samudera Hindia. Menuju ke situ, semoga saja Anda tidak muak membaca isi blog sederhana ini. Hehehe,,,,,,

Jadi begini pengalamannya. Baca dan simak baik-baik. Berlagak keras, efek menjadi guru.

Pada 15 Oktober 2017, kami mengikuti acara nikah di Pulau Siberut, salah satu pulau yang masuk dalam gugusan Kepulauan Mentawai. Sebelum menuju ke Pulau Siberut, ceritanya begini.

Malam sebelumnya, setelah mengikuti misa malam, tawaran yang mengiurkan datang dari pastor paroki, sebuah ajakan untuk bersama-sama mengikuti pesta pernikahan di Muara Siberut.  Bagi saya yang punya hobi travelling, diajak jalan-jalan tanpa keluar biaya merupakan rahmat. Gayung bersambut dengan kejenuhan sebagai pendidik. Sikat. Tanpa menunggu lama, saya mengangguk seribu kali. Hehe,,,lebay.

Pagi sekitar jam 10 pagi, bersama dengan rombongan kami berkumpul di dermaga.  Oh ya, soal Dermaga Tuapejat saya punya cerita tersendiri. Saya suka nonggol di dermaga ini. Senang dengan aktivitas menyaksikan orang yang akan turun-naik kapal. Serasa ada kegirangan tersendiri, melihat orang melepas kenangan menuju ke atas kapal. Juga decak kagum saat menyaksikan langkah kaki dari orang yang turun dari atas kapal. Mungkin terbawa oleh rindu dibalik kapal yang akan berlabuh serta kapal yang akan melepaskan jangkar arungi lautan luas, untuk pergi dan tinggalkan tanah ini.  Hala kraeng,,,,,rindu terus saja. 

Kembali ke pembicaraan awal. Fokus. Stop bicara rindu. Kami semua berkumpul di Dermaga Tuapejat. Sebelum berangkat sempat cicipin kopi di tepi pelabuhan. Tak menunggu waktu lama, speedboat yang akan kami tumpangi tiba. Seketika seluruh anggota rombongan bergegas menuju dermaga. Anak kids zaman now tidak lengkap rasanya, jikalau sebelum berangkat tanpa selfie terlebih dahulu. Kami juga melakukan hal demikian. Foto-foto, merayakan masa muda. Merawat kenangan merawat keabadian.

Usai foto-foto, nahkoda speedboat memberikan isyarat  bahwa sebentar lagi perjalanan akan segera dimulai. Saya sempat gelisah. Resah dengan perjalanan yang akan kami lakukan. Pikiran buruk menghampiri, apakah kapal kami nanti dihantam ombak ganas? Apa bisa kami tiba dengan selamat? Maklum, ombak di perairan Samudera Hindia cukup ganas. Jika hendak melakukan perjalanan antar pulau, nahkoda perlu terlebih dahulu membaca arah badai. Biar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Begitu sudah.

Sebagai anak gunung yang jauh dari ingar-bingar kehidupan laut, gugup adalah rasa yang wajar. Naik dengan speedboat yang ukuran kecil dan menampung sekitar 20 orang bukanlah sebuah perkara mudah. Satu persatu anggota rombongan turun menumpangi speedboat. Tiba giliran saya, kaki sempat ragu saat menuju speedboat. Tapi melihat keberanian anggota rombongan yang lain, saya jadi berani. Ikut berdiri tegak, layaknya anak pulau yang sudah terbiasa. Sok berani. Hehehehe,,,,,

Perjalanan dimulai. Deru mesin speedboat membawa kami berangkat dari Dermaga Tuapejat. Perlahan-lahan kami melaju menuju lautan luas. Saya memilih berdiri di bagian depan speedboat. Berdiri tegak. Tatapi lautan yang luas.

Sejauh mata memandang, daras pujian sempat  kulantunkan dalam hati kepada Sang Pencipta. Kokohnya lautan yang biru semakin memantapkan tatapan pada lautan luas. Terima kasih atas ciptaan-Mu. Tugas kami adalah merawat ibu bumi. Sumber kehidupan bagi semua makhluk hidup. 
Sensasi perjalanan menuju ke Muara Siberut


Di tengah lautan yang luas dan birunya laut. Keheningan ditemukan. Benar kata orang, berlayarlah hingga ke tengah. Kelak, engkau akan menemukan mutiara pada tengah samudera. Sepi sunyi membawa kita pada suatu titik. Titik itu bernama refleksi.

Sepanjang perjalanan, mata saya dimanjakan oleh indahnya pulau kecil tak berpenghuni, megahnya pulau-pulau kecil yang berdiri kokoh di tengah lautan. Tentang keindahan ini, bumi Sikerei memang keren. Indah benar.

Hanya decak kagum dan pujian, tentang keindahan yang tiada duanya. Saya pun terkesima dengan salah satu pulau yang tidak berpenghuni. Pulau tersebut dekat dengan Pulau Sipora. Aeew, saya lupa namanya.

Di pulau tersebut, terdapat salah satu resort. Kata orang, itu bukan milik pribumi, tapi kepunyaan turis asing. Begitu sudah. Pariwisata memang memanjakan orang asing untuk masuk. Atas nama mencari pendapatan asli daerah, acap kali daerah membuka pintu investasi selebar-lebarnya. Lalu, warga lokalnya kemana? Ae, saya juga tidak tahu.

Di pulau itu, terdapat juga tanaman kelapa milik warga Pulau Sipora. Orang Sipora berkebun hingga di pulau seberang. Hebat bukan. Berladang saja, lintas pulau. Itulah kisah hidup di daerah kepulauan. Akses masuk dan keluar mengharapkan perahu-perahu kecil. Orang Mentawai memang pelaut ulung. Tidak salah dengan salah satu lagu nasional anak-anak, nenek moyangku orang pelaut, gemar mengarung luas samudera. Menerjang ombak tiada takut, menempuh badai sudah biasa.

Kita memang pelaut. Tidak salah juga dengan seruan Jokowi, presiden kita yang kurus itu. Jangan memunggungi laut. Betul sekali. Saatnya kita melirik laut sebagai potensi ekonomi yang baru.  

Ah, sudah lari dari topik utama. Lama menempuh badai, menerjang ombak, dari kejauhan sudah tampak Muara Siberut. Waktu menunjukan Pkl. 12.00 WIB, seketika kami menepi di Muara Siberut.

Setelah turun dari speedboat, kami langsung menuju tempat pesta. Menyalami pengantin yang lagi berbunga-bunga. Lalu dilanjutkan santap siang. Masakannya enak. Benar-benar PGAK (Perbaik Gizi Anak Kos), ini istilah waktu di Roetenk dolo. Hehehe,,,,.

Usai bergelut dengan makan siang. Saatnya bersua dengan orang dari segala suku bangsa. Ngobrol ngalur ngidul, sekedar membunuh waktu menunggu jam pulang dari Pulau Siberut.

Oh ya, di Muara Siberut, saya dan Pak Fabian sempat bersua dengan Pak Ardi. Beliau merupakan pendidik asal Bea Nio, Cibal, yang sejak tahun 2005 mengabdi di Pulau Siberut. Selama berpapasan dengan beliau, kami menceritakan banyak hal.

Ragam cerita menghiasi perjumpaan kami. Kopi hitam tak absen dari pertemuan kami. Duduk selengka ala lonto leok-nya orang Manggarai, jadi ruang pelepas rindu akan tanah kelahiran.  

Pertanyaan yang tidak pernah absen keluar dari mulut saya. Ole kae, kenapa sampai nyasar di sini? Ceritanya gimana? Hehehe,,,ah, dasar kepo. Begitulah ruang pertemuan sesama saudara. Siapa tahu kita bisa mengikuti jejak-jejak senior Flobamora yang sudah lama menjahit harapan di tanah ini.

Setelah bersua selama 2 jam, kami kembali ke tempat pesta. Kala itu, waktu sudah menunjukan Pkl. 05.00 WIB, dan seluruh rombongan menyiapkan diri untuk segera kembali ke Tuapejat, Pulau Sipora.  

Rintik hujan membawa kami pergi dari Siberut. Hujan itu membawa kami pergi. Ia memberi ucapan selamat berpisah akan perjumpaan yang begitu singkat.

Dalam perjalanan, hujan terus mengguyuri kami. Untungnya, speedboat yang kami tumpangi memiliki tempat untuk berteduh. Alhasil, kami pun tertidur pulas. Lemot, kata orang Manggarai. Lemot itu membawa kami menepi, hingga sampai di Dermaga Tuapejat.

Kira-kira begitulah perjalanan kami menuju Pulau Siberut. Tidak terlalu lebay tow??? Mentawai, negeri yang indah, negerinya para tabib, Sikerei. Alamnya memukau, sekokoh kepiting khasnya yang bernama anggau. Ayo ke Mentawai dan jelajahi setiap pesonanya.





  






Post a Comment

0 Comments