Sebelum malam dipersunat oleh sang
waktu dan sepi dipergoyahkan oleh rindu, dan kesepian tetap menjadi kemiskinan
yang sukar diberantas, kaki harus tetap berlari. Kita pun masih bertahan di
tepi laut, sesekali tatapi ganasnya ombak Samudera Hindia. Dibawah hiruk pikuk
Ranah Minang, juga anggunnya rumah gadang, serta aroma masakan Padang yang
menggoyangkan lidah, kita mesti tetap
menjadi pemenang.
Saat kaki sudah mulai kalah dalam
melangkah, hanya spirit kemenangan yang merasuki pikiran dalam perjalan panjang
di Ranah Minang. Apalagi, ditambah dengan situasi merayakan Natal jauh dari
kampung halaman. Moment yang langka tentunya. Rindu terbawa dalam Natal
yang teduh.
Dulu, kala menganyam mimpi menjahit
harapan di Kota Dingin Ruteng, hampir setiap tahun lewati hari Natal dengan
mengunjungi daerah di wilayah Keuskupan Ruteng. Kami menyebutnya
asistensi. Kegiatan asistensi dilakukan untuk membantu pelayanan di Gereja,
mulai dari koor, dekorasi Natal, aksi reboisasi dan bina akrab dengan
masyarakat.
Sebelum turun ke tempat asistensi,
biasanya diawali dengan persiapan yang matang. Organisasi kategorial kecamatan
atau kelas masing-masing memilih tempat di lapangan sepak bola STKIP atau ruang
kelas untuk latihan. Gemuruh suara masing-masing peserta menambah sensasi indahnya
menyambut Natal. Anda dapat mendengarkan lantunan melodi indah dari
masing-masing peserta saat Anda menyambangi STKIP. Indah, teduh dan
mendamaikan. Situasi yang mungkin Anda jarang dapati.
Bagi saya, Natal adalah kenangan. Meski
jarang merayakan Natal dengan orang rumah semasa kuliah, tetapi sukacita Natal
tetap bermakna dengan perayaan Natal bersama orang-orang baru di tempat asistensi.
Berjumpa dengan orang-orang baru, jabat erat-erat dengan membangun persaudaraan
dan membangun kenangan. Sensasi Natal-nya tetap berasa. Sukacitanya masih
semerbak Natal di kampung halaman.
Itu kisah masa lalu. Kisah usang yang
sudah menjadi kenangan. Sekarang nuansanya berbeda 360 derajat. Natal tidak
semewah di kampung halaman. Budaya dan tanah yang berbeda berdampak pada
suasana Natal yang biasanya dirayakan dengan meriah. Hal ini tentu dapat dimaklumi,
kisah Natal di dusun yang kecil pun hanya seuntai kenangan.
Setelah memutuskan untuk pergi
meninggalkan rumah pada 3 April 2017, segala kenangannya yang terjadi tetap
terbawa. Perjalanan panjang perlahan-lahan mulai dilalui. Tak terasa, Natal 25
Desember 2017 sudah dirayakan. Tetapi, satu-dua kisahnya masih ada yang perlu
dipergunjingkan. Tentang Natal, hujan dan kerinduan akan Natal dibawah atap
rumah tua.
Bagi diaspora, Natal tentu ajang
untuk merawat kenangan. Terpisah oleh jarak dan waktu, Natal yang selalu
identik dengan hujan lebat mengguyuri bumi Nuca Lale, ialah sesuatu yang
memantik jatuhnya air mata. Apalagi, lalui malam kudus bersama dengan keluarga
tercinta dalam nuansa sederhana, tetapi cinta yang membuat kita merasa mewah
dan berharga.
Hujan dan badai menghadang bukanlah
batu sandungan. Demi merayakan sukacita
Natal itu bisa dilalui dengan kesabaran. Saling menguatkan dengan rasa yang tak
terbayar oleh harta apa pun di dunia ini. Semuanya indah. Semuanya baku sayang. Baku cinta
dan berbagi kasih.
Usai lewati misa malam kudus, masakan
sederhana sajian sang bunda siap dicicipi ditepi meja. Seluruh energinya
dihabiskan untuk meracik menu diatas meja. Masakannya memang sederhana, tapi karena
disajikan dengan cinta dan kasih justru semakin mempertegas aroma dari masakan
yang ia racik.
Kini, hanya sebatas kenangan. Dengan penuh
air mata, aku merindukan kenangan-kenangan itu. Aku rindu rumah tua. Rindu Natal
di rumah. Rindu masakan mama. Rindu kopi sang bunda.
Natal memang selalu menciptakan kedamaian.
Ia menghadirkan kerinduan untuk pulang bagi domba-domba yang sudah mulai
tinggalkan kandang. Sebab, perayaan Natal yang kudus membawa sukacita bagi domba-domba
“liar” yang berkelana di padang yang
luas, yang mungkin sudah salah arah dan salah kaprah.
Selamat Natal 25 Desember 2017. Kasih
Tuhan menyertai kita semua.
Taplau, Malam Natal ke-2, 26 Desember 2017.
0 Comments