Sumber foto: https://www.google.com/search?q=foto+jalan+rusak+di+manggarai+timur
Seperti biasa, setiap senja kami susuri jalan tua di tengah kampung. Sepanjang jalan itu, harapan orang-orang kampung digantung. Pagi dan sore, orang-orang itu ke ladang untuk mengais asa memungut mimpi. Di jalan yang sama pula, orang-orang dari sebelah kali berjalan menuju kota untuk mengangkut hasil bumi.
Biasanya, orang-orang kampung juga memanfaatkan jalan itu mencari air kehidupan. Alhasil, setapak itu telah lama menjadi nafas kehidupan buat warga kampungku.
Aku yang lahir dan besar di kampung dan mendapat cap sebagai anak kampung, juga terlibat dalam pergumulan yang sama. Hampir tiada bedanya, kami terlibat dan tercebur dalam narasi jalan tua ditengah kampung. Masa kecil kami banyak dihabiskan sepanjang jalan tua itu.
“Om, sudah selesai seruput kopinya?”, tanya ponakanku, Kenan, suatu sore setelah bersama-sama duduk di beranda rumah. Sepertinya ia telah lama memperhatikan gelas lusuhku. Ia sudah hafal betul, jika kopi dalam gelas lusuh tersisa ampasnya, maka kami akan pergi ke kali untuk membersihkan diri.
“Kenapa kepala kampung tidak pernah perhatikan jalan ini? Kenapa?” ngomel ponakan yang berambut kriting itu ditengah jalan. Sudah lama terngiang di telinganya, bahwa sedari dulu, sejak zaman antah berantah orang-orang disebelah kali akan melewati jalan tua itu. Jalan yang absen dari perhatian kepala kampung.
“Nan, untuk anak seusiamu belum pantas mengkritisi pembangunan. Engkau cukup menemaniku untuk bersama-sama bercerita tentang senja ketika berjalan bersama menuju sungai. Itu sudah cukup”, bisikku di telinganya. Pandangannya semakin amburadul. Raut mukanya semakin bingung. Saya tahu jika ia tidak mengamini pernyataanku.
Lagi-lagi aku kembali melanjutkan ceramah pada ponakanku itu. Engkau tahu tidak, “Musim-musim pemilihan kepala kampung seperti sekarang ini, calon kepala kampung akan rajin menyusuri jalan tua yang sedang kita jajaki ini?” ucapku dengan nada yang semakin lirih. Mereka akan pergi ke kampung-kampung, ke rumah-rumah adat dan ke tempat-tempat ibadah. Seturut yang saya dengar, mereka datang untuk mendengarkan rintihan rakyat.
“Ah, ko bisa. Mereka pejabat bukan? Masa mereka berjalan di jalan yang nota bene susah untuk dilewati kendaraan roda dua dan roda empat?”, Kenan kembali bertanya. Saya tertawa terkekeh-kekeh mendengar pertanyaannya. Pikiranku kembali pusing tujuh keliling dibuatnya. Sembari berjalan aku kembali menyiapkan format jawaban yang tepat untuk merespon pertanyaan usil dari anak kecil yang tidak paham apa-apa soal pembangunan.
Omongan sakit hatiku kembali aku dendangkan, “meski mereka berdasi dan memakai mobil pajero sport, tapi mereka berjuang ekstra tenaga untuk melewati jalur maut ini”, kataku kembali berargumentasi. Saya seolah-olah sedang memposisikan diri pada barisan tim sukses yang sakit hati dan tim sukses yang tidak pernah sukses.
Rupanya kata-kataku menyihir pikiran Kenan. Bocah malang itu diam seribu bahasa. Saya juga merasa bersalah telah membawanya dalam pergulatan serius tentang pembangunan. Saya paham betul bahwa itu merupakan dosa rezim yang tak bertanggung jawab. Ia tidak boleh terlibat dalam dosa orang yang berdasi dan berjas. Ia belum paham mengenai masalah pembangunan.
Langkah kaki kami kembali melanjutkan perjalanan. Sembari berjalan, sesekali kami melihat ke bawah untuk memperhatikan tapak kaki kami yang tak bersandal. Kami tidak sekedar berjalan, akan tetapi kami memilih dan memilah tempat yang cocok untuk kami injak. Jika tidak, kerikil dan duri bersukacita menyambut kaki kami yang tidak bersandal. Sungai itu rupanya semakin menjauh. Aku bergumam dalam hati agar segera tiba di kali dan mengakhiri pembicaraan kami.
Sialnya, spekulasiku salah besar. Kenan kembali menyerangku dengan pertanyaan yang kurang lebih susah-susah gampang untuk menjawabnya. “Apakah mobil kepala kampung itu bisa melewati jalanan ini? Apakah ia juga membawa dedak?”, katanya sembari menatapku tajam. Ia sangat paham jika hendak melewati jalur neraka itu, mobil harus menyiapkan dedak. Jika tidak, maka pengemudi itu sedang bermimpi untuk melewati jalur yang sering jadi obral kampanye pemilihan kepala kampung.
Aku kembali linglung. Kakiku terasa berat untuk melangkah. Ku ambilkan sebatang rokok djitoe dalam kantongku, lalu aku nyalakan korek untuk membakar rokok dan menikmatinya dalam situasi yang penuh tanya.
Sembari merokok ku dekati ponakanku itu. Ku jewer telinganya. Ia meradang dan menatapku penuh tanya. “ Nan, walau jalanan ini terasa buruk dan sukar untuk dilewati, tetapi bagi mereka niat untuk bertemu konstituen adalah harga mati”, kataku sambil memegang bahunya. Ia semakin bingung. Penjelasanku sepertinya terlalu abstrak untuk anak seusianya.
“Mereka akan turun dari dalam mobilnya untuk melihat dari dekat jalanan ini. Sesekali mereka akan berswafoto. Raut wajah mereka memelas” kataku melanjutkan pembicaraan.
Para calon kepala kampung hampir setiap hari lewat disini. Kemarin aku mendengar cerita orang sebelah kali, jika mereka mendapatkan janji akan dibangunkan jalan raya saat calon itu terpilih. Orang itu berharap penuh agar mereka memilihnya untuk menjadi kepala kampung.
Desiran air sudah mulai terdengar. Itu pertanda kami akan tiba di sungai. Ku lanjutkan kotbah kenegaraanku pada ponakanku yang paling setia itu.
“Cara terbaik dalam menyeleksi kepala kampung adalah mencegah yang terburuk untuk berkuasa. Jangan sampai pemimpin karbitan kembali terpilih dalam pemilihan kepala kampung kali ini”, gerutuku untuk kesekian kalinya. Aku berkotbah seperti filsuf Yunani kuno. Kenan terkesima dengan kotbahku. Aku tahu ia semakin pusing tak karuan.
Sambil menatapku, ia mengajakku untuk segera membasahi tubuh. Ia mengambil sabun Giv dalam keranjang sabun lalu memberikannya padaku. Sembari membersihkan tubuh, ia menimpaliku dengan pertanyaan pamungkas. “ Om, apa namanya ini sungai?” tanyanya dengan wajah sendu.
“ Ae, ini namanya Wae Musur. Masa engkau tidak tahu?”, kataku sambil mengetok kepalanya.
Ia pun terlamun setelah mendengarkan jawabanku. Usai mandi kami mengeringkan badan dan menyiapkan diri untuk bergegas kembali ke rumah. Sepanjang jalan kami diam seribu bahasa. Sepertinya ia tidak ingin mengajakku untuk kembali membicarakan tentang jalan ditengah kampung itu. Dalam hati, kami hanya berharap pemilihan kepala kampung kali ini akan menghasilkan pemimpin yang baik dan benar.
0 Comments