Catatan Pinggiran; Usai Tujuh Bulan?




Sinarkan cinta, kelak akan kau dapatkan cinta.

Tak pernah terbayangkan sebelumnya dalam angan-angan, saya kembali meniti pekerjaan sesuai dengan jurusan kuliah yang saya geluti. Nafas idealisme yang mengebu-ebu sebagai aktivis luar kampus  menjadi pemicunya. Bacaan dan diskusi yang saya ikuti semuanya berbau politik. Hanya dalam ruang kelas saja, saya serius membicarakan konsep pendidikan ke-SD-an. Saya pikir ini dilema bagi semua aktivis, acap kali aktivis mengabaikan perkuliahan. Iya tow?

Namun, pada akhirnya saya disadarkan oleh sebuah tawaran kerja untuk kembali ke jalan yang saya geluti semasa kuliah. Kembali menjadi guru, dan pada akhirnya saya menjadi pendidik diujung barat Pulau Sumatera.

Tujuh bulan sudah meniti panggilan pada jalan ini. Guru. Guru umumnya merujuk pada pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik. Guru juga akan di gugu dan di tiru. Ia menjadi “model” bagi siswa-siswinya. Segala tindak tanduk yang ia lakukan menjadi perhatian anak didiknya, kelak juga akan ditiru oleh peserta didik.

Guru. Sebuah profesi yang selalu menjadi sorotan tajam dari berbagai mata. Ia juga menjadi pelita dalam kegelapan. Membuka jalan bagi anak-anak (baca:murid) untuk keluar dari keterpurukan. Keluar dari fase ketidaktahuan.

Berada pada jalur ini, ada ragam suka-duka menghiasi jalan panjang berdiri depan papan putih. Bermodalkan senjata bernama “spidol”, kita berdiri kokoh untuk mulai menularkan isi kepala kepada anak-anak.

Disela-sela meniti jalan panjang ini, begitu banyak kebahagian dan kerisauan yang nampak. Ada keperihatinan, ada kucuran keringat perjuangan, ada kesedihan , ada keletihan batin, namun ada pula kebahagian batin, kepuasaan hati, saat kegembiraan yang dirayakan secara bersama.  Semua guru punya harapan penuh agar anak didiknya tumbuh dan berkembang maju demi generasi depan bangsa. Hampir semua energi itu berpendar dari cinta yang tulus dari seorang guru kepada murid-muridnya.

17 Juli 2017 adalah hari perdana kami mulai masuk sekolah. Bersamaan dengan hari itu juga, saya merayakan ulang tahun yang ke-24. Tentu, itu merupakan suatu kado indah pada ulang tahun yang sebentar lagi usia saya masuk seperempat abad.

Sebagai pendidik baru, saat itu agak canggung bertemu dengan anak-anak. Saya mengampuh kelas IV dengan jumlah peserta didik 22 orang. Berpapasan dengan 22 orang siswa, dengan bermaca-macam karakter dan kemampuan, bukanlah sebuah perkara mudah, akan tetapi butuh sebuah strategi jitu. Acap kali ada rasa deg-degan. Dalam hati, selalu muncul rasa agar mereka berharap dapat menanti kiprah dan pengabdianku untuk memajukan pembelajaran yang baik, baik dalam segala hal: dalam manajemen kelas, dalam suri-teladan, dalam mentransferkan ilmu, dalam mendidik dan mengarahkan mereka.

Sebagai pendidik baru dan pendatang baru, saya tentu beradaptasi  dengan anak-anak saat istirahat. Waktu istirahat, sebisa mungkin kita membawa diri sebagai teman sejawat, teman yang bisa menemani hari-hari mereka dalam dan luar kelas.

Salah satu kegiatan awal yang dilakukan sebelum pelajaran adalah membuat kesepakatan belajar. Hal ini dilakukan supaya sebisa mungkin pembelajaran berlangsung disiplin. Kadang juga diawali dengan teka-teki dan cerita lucu. MOP Papua adalah salah satu favorit saya untuk dibawakan. Penggalan cerita ketertinggalan Papua yang dibalut dalam materi komedi mampu membuat mereka mengocok perut. Pernah juga saya membawa materi  Stand Up Comedy dari Abdur. Mereka tertawa terpingkal-pingkal. Biasanya, setelah itu diikuti  ragam komentar.

Akan tetapi, sebagai pendatang baru didepan papan putih, saya menyadari banyak hal yang perlu diperbaiki. Soal itu, saya tidak curahkan disini. Rahasia. Hehehe. Saya menyadari langkah kaki saya belum lelah dan kalah. Setiap saya lelah, saya selalu ingat guru sejati keluarga kami, Bapak Sebas. Ia salah satu pendidik sejati. Banyak waktu ia habiskan untuk mendidik anak didiknya. Bagi saya, Bapak salah satu guru teladan. Sekolah baginya adalah rumah kedua.

Hingga pada titik ini, saya akan berusaha sekuat mungkin untuk bisa menjadi teman bagi anak didik saya. Teman yang selalu mereka rindukan. Saya terus mendambakan agar saya semakin membaik meniti jalur ini. Saya percaya setiap usaha butuh proses panjang. Toh, proses tidak ada yang menghianati hasil. 

Semoga saja percikan api dari mulut seluruh guru membawa perubahan bagi kualitas anak didik, dan guru juga semakin menyadari profesinya sebagai panggilan hidup. 

Semoga.  

Post a Comment

0 Comments