Melawat ke Sikakap



            Dermaga Sikakap (foto;erik jumpar)

Pada Sabtu, 17 Maret  2018, tampak dengan jelas semburat merah muncul di kaki langit timur. Cerahnya langit bumi Sikerei, negeri-nya para tabib itu, menambah keceriaan di hari yang baru.

Apalagi hari itu merupakan perayaan Hari Raya Nyepi, hari raya besar dari saudara kita yang beragama Hindu. Dalam kalender nasional, hari raya Nyepi dijadikan hari libur nasional. Sebagai praktisi pendidikan, saya merasa bersyukur. Ada waktu untuk break juga. Tidak ada aktivitas belajar dalam kelas.

Guna mengisi hari libur itu, malam sebelumnya kami telah menyiapkan agenda perjalanan ke pulau seberang, melawat Sikakap, Pulau Pagai Selatan.

Sikakap adalah salah satu kecamatan yang terletak di Pulau Pagai Selatan di Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat. Perjalanan dari Padang menuju Sikakap  menggunakan transportasi laut dengan waktu tempuh 12-13 jam dari Pelabuhan Bungus, Padang dengan jadwal pelayaran satu kali seminggu, atau juga dengan menumpang kapal cepat dengan waktu tempuh sekitar 3 sampai 4 jam.

Pelayaran dari Sikakap menuju Ibukota Kabupaten Kepulauan Mentawai di Tuapejat, Pulau Sipora, dan dari Tuapejat menuju Sikakap cukup lancar. Lalu lintas perairan di Kabupaten Kepulauan Mentawai yang melayani perjalanan antarpulau sekarang ini sudah mulai ramai. Setiap minggu setidaknya ada beberapa kapal yang melayani pelayaran antarpulau.

Untuk menuju Sikakap, kami menggunakan Kapal Motor Pulau Simasin. KM. Pulau Simasin merupakan salah satu kapal penumpang yang melayani rute antarpulau. Lazimnya kapal penyebrangan, KM Simasin juga membawa barang yang banyak, kendaraan roda dua juga barang bawaan para penumpang.

KM. Pulau Simasin biasanya berangkat dari Tuapejat pada hari Sabtu pagi ke Sikakap dan keesokan harinya akan kembali ke Tuapejat.

Di dalam kapal juga tersedia kantin untuk para penumpang. Durasi perjalanan yang memakan waktu sekitar 9 jam perjalanan memang bukanlah perkara yang mudah. Karena itu, penumpang diharuskan membawa bekal. Kantin KM. Pulau Simasin hanya menyediakan beberapa minuman kemasan dalam sachet. Ada juga tersedia pop mie di dalam kapal.

Sensasi Perjalanan

Dari Tuapejat kami mengawali perjalanan pada pkl. 08.20. Rute kali ini  akan menepi di Sioban lalu ke Pasapaet dan selanjutnya ke Sikakap.

Hawa panas di Bumi Sikerei hari itu sangat terasa. Awak kapal terlihat melepaskan jangkar. Deburan ombak di tepian dermaga melepaskan pelesiran kami dari dermaga Tuapejat. Nahkoda kapal membunyikan bel terakhir, suatu tanda kami akan beranjak dari dermaga Tuapejat.

Dalam  perjalanan, laut menyetujui agenda petualangan yang sedang kami arungi. Dari balik jendela kapal, saya melihat laut begitu tenang. Laut yang biasanya ganas dengan badai yang besar kali ini tidak menghampiri perjalanan kami.

Sesekali saya ke bagian depan kapal. Entah kenapa, berdiri di depan tampak lebih gagah. Kita bisa dengan leluasa menatapi tenangnya lautan luas.

Sepanjang perjalan, mata dimanjakan oleh beberapa pulau kosong. Pulau yang tak berpenghuni, tetapi di dalamnya sudah ditanami oleh tanaman perkebunan warga.

Saya jadi semakin bangga dengan masa muda. Bisa merasakan  kaki yang tetap melangkah tanpa lelah dengan melawat lebih jauh. Lagian, selagi gelar masih muda, hidup jangan cepat kalah.

Meski terkadang nasib seorang diri yang selalu pergi tanpa permisi. Ke mana pun pergi, tak ada insan (baca;pacar) yang menghalangi. Pagi memang selalu membawa kita pergi. Kelak semakin berlari dan sedikit berarti.

Toh, masa muda perlu diisi dengan menari-nari agar semuanya berseri-seri. Tak terasa kami sudah sampai di Dermaga Sioban, Kecamatan Sipora Selatan. Waktu menunjukan pkl. 10.20 WIB. Setelah beberapa penumpang turun dan beberapa penumpang naik, KM. Pulau Simasin kembali melepas jangkar dan melanjutkan perjalanan pada pkl. 10.41 WIB. 

Laut yang tenang dan alam yang indah kembali membawa kami jauh ke dalam lautan lepas. Tampak dari jauh perahu-perahu nelayan sedang mencari sebongkah harapan untuk di bawah pulang. Mereka berlayar dengan tujuan agar  dapur tetap mengepul.  Mereka sedang memancing ikan. Entah, pancingan mereka sudah mendapatkan ikan atau tidak. Yang pasti dewi fortuna selalu berpihak pada orang-orang yang sabar.

Di dalam kapal rasa jenuh sangat terasa. Beruntungnya saya membawa satu buah serial dari tetralogi Supernova Dee Lestari yang berjudul Ksatria Puteri dan Bintang Jatuh. Setidaknya saya menemukan kebahagian  bathin dengan membaca.

Untuk saya yang menjalani hubungan LDR (lelah dalam rindu, red) bisa mendapatkan petuah yang menguatkan. Untaian kata-kata mautnya seorang Dee Lestari bisa membuat engko makin cinta dengan si dia.

Dalami larik-larik indah berikut ini:
Aku mencintaimu sepenuh hati, Puteri.
Tak peduli lagi tepat atau tidak.
Tak peduli kau menyadari aku hilang atau tampak.
Tak peduli kau bahagia dengan diriku atau cuma dengan sel otak.

Di tambah dengan larik berikut yang semakin engko baper dan rindu setengah mati dengan sang pujaan hati.

Karena itu dia dinamakan si jantung hati.
Memompa lembut seperti angin memijat langit.
Berdenyut lincah seperti buih yang terus berkelit.
Dan darah cinta adalah udara,
Dengan roh rindu yang menumpang lewat di dada.

Sajak indahnya seorang Dee membuat mata saya lamat-lamat. Mata saya pun ikut terkulai lemas dalam balutan sajak yang meruntai dalam kepala. Saya pun tertidur pulas.

2 jam sudah berlayar dari dermaga Sioban. Waktu menunjukan pkl. 12.35 WIB. Dentuman bunyi bel dari KM. Pulau Simasin kembali menggema saat mendekat dermaga Pasapaet. 

Sayangnya, Dermaga Pasapaet belum rampung dibangun. Terpaksa kapal berhenti ditengah laut dan penumpang dievakuasi menggunakan spedboat dari nelayan sekitar untuk diantar ke bibir pantai.

Naik dan turun penumpang di Pasapaet (foto;erik jumpar)
 
Di sini saya menemukan sesuatu yang luar biasa. Sebagai anak gunung, melihat turun dan naik penumpang ditengah laut merupakan suatu pemandangan yang langka bagi saya. Saya keluarkan kamera Nikon tipe DSLR-40 dari dalam tasku, lalu menjepret apa yang sedang kami saksikan.  

Setelah semua proses naik dan turun penumpang usai, perjalanan pun dilanjutkan. Untuk membunuh rasa kantuk, saya memesan segelas white coffe dan menyeruputnya di buritan kapal KM. Pulau Simasin.  

Selama perjalanan, ada banyak pengalaman yang saya saksikan. Entah, tentang alam yang mahaindah,  dengan lukisan alam yang selalu mengundang decak kagum.

Tapi, salah satu pengalaman yang mengedutkan dahi yakni saat menyaksikan orang dengan leluasa membuang sampah plastik ke tengah laut. Jujur menyaksikan pengalaman demikian membuat hati tersayat.

Fakta ini menunjukan bahwa orang-orang Indonesia belum menyadari pentingnya menjaga laut Indonesia. Setidaknya dalam perjalanan ini, 3 kali saya menyaksikan orang yang membuang sampah ke laut.

Di sini kita bisa melihat bahwa orang masih menjadikan laut sebagai tempat sampah. Jika tidak melakukan upaya preventif, maka ini bisa menjadi masalah yang serius untuk keselamatan laut kita. 

Manajemen kapal yang belum profesional juga bisa menjadi pemicu. Paling tidak pihak kapal menyediakan tempat sampah yang cukup. Ataupun menyediakan kamera pengintai untuk memantau penumpang yang membuang sampah ke laut. Entahlah!

Hal ini akan memiliki dampak yang masif. Plastik-plastik yang kita buang ke laut akan dimakan oleh ikan, dan ikan-ikan tersebut akan disantap juga oleh manusia yang sudah membuang sampah ke laut. Apa kita mau menikmati kesalahan kita? Tentu tidak! Sebelum terlambat, mari selamatkan laut kita!

Tidak terasa jua, jarum jam semakin jauh. Banyak perjumpaan dengan orang-orang baru. Jabat erat-erat dan berkenalan dengan orang baru, minimal membunuh kejenuhan.

Dalam suatu obrolan panjang, salah satu bapak tua yang ngobrol dengan kami menjelaskan bahwa Sikakap sudah mulai tampak. Saya perhatikan jarum jam sudah menunjukan Pkl.17.00 WIB. Nafas lega terpancar dari wajah kawan saya, Pak Fabian.

Senyum sumringah nampak dari wajah para penumpang. Kami juga tidak sabar untuk menginjakan kaki di daratan Sikakap. Apalagi ini kunjungan perdana. Sensasinya lebih terasa.

Bapak tua itu juga menunjuk dari jauh rumah dari Pak Wil dan Ibu Osi. Mereka adalah pasangan suami istri  asal Flores. Pak Wil dari Maumere sementara Ibu Osi dari Wano, Mukun-Manggarai Timur. Ibu Osi itu satu kabupaten dengan saya.

Deru mesin kapal sudah mulai mengecil. Bunyi bel kapal kembali berdering. Dermaga Sikakap semakin mendekat. Anak Buah Kapal perlahan-lahan menyiapkan tali untuk dipasang pada dermaga. Kami tiba di Sikakap pkl. 17.40 WIB. Adalah suatu kebanggan bagi  kami bisa tiba dengan selamat.

Usai mengambil tas, kami langsung menuju rumah Pak Wil. Di sini kami akan menginap semalam sebelum esoknya akan kembali ke Tuapejat.

Temu Keluarga Flores

Ruang temu bersama keluarga Flores pun semakin ramai. Kami terhanyut dalam banyak cerita, tentang impian dan kenyataan yang harus dijalani di tanah ini.

Kopi menjadi sajian perdana kami di Sikakap. Yang pasti bukan kopi Flores. Intinya, selama kopi itu hitam pekat dan tetap melekat, itu tetap berarti adanya.

Pertemuan malam itu diakhiri dengan melahap ikan Sikakap. Ikan yang gurih, hasil tangkapan sendiri dari Pak Remi, orang Aimere yang menjadi guru sekaligus nelayan handal. Hebat. Usai pulang sekolah, Pak Remi selalu turun ke laut untuk memancing.

Ia bukan hanya menjala manusia untuk keluar dari kebodohan, tapi juga menjala ikan untuk membantu tetap mengepulnya dapur keluarga. Pada titik ini, setidaknya kita terus menjadi seorang penjala yang baik. Penjala yang siap menyebarkan bibit-bibit kebaikan pada tempat kita berkarya.











Post a Comment

0 Comments