Catatan Kenangan; Ketika Megaphone Jadi Rebutan





Eh, rebutan megaphone. 

Di tengah kesibukan meniti jalan hidup masing-masing, ketika rumah juang sudah mengutus kita untuk pergi; ada kerinduan yang tersisa dan tersirat dalam lembaran kenangan. Canda dan duka datang silih berganti, menghiasi perjalanan panjang menuntaskan perkuliahan di Kota 1000 Gereja, kota dingin yang terletak di ujung barat Pulau Flores itu.

Sebagian fase masa muda saat kuliah di Kota Ruteng dilalui dengan berbagai aktivitas.  Mulai dari ingar-bingar di seputaran Tenda saat masih tingkat 1 dan 2, kala permainan “seven skop” masih menjadi favorit dari teman-teman kelas yang putra untuk membunuh malam yang kian pergi, waktu pun terlarut dalam lumuran hedonis.

Kesibukan intra kampus ternyata tidak cukup untuk membekali diri. Tidak mau dilabeli sebagai mahasiswa apatis dengan predikat 6 K (kompor, kamar, kos, kampus, kuliah dan kencan), saya pun menanggalkan jas kebesaran kampus dan terlibat dan berjuang dalam organisasi kepemudaan nasional.

Pilihan itu jatuh di Semester 5 di November 2014. Motifnya sederhana. Salah satunya bersumber dari kekaguman saya akan argumentasi pemuda militan yang tergabung dalam Forum Pemuda Peduli Manggarai Timur Ruteng disela-sela diskusi mini di pojok kota Ruteng. Usut punya usut, ternyata mereka kader-kader besutan PMKRI Cabang Ruteng.

Di Forum Pemuda Peduli Manggarai Timur memang kami menempa diri. Akan tetapi, ritme diskusinya masih jarang. Alhasil, muncul nafsu untuk melacur diri lebih jauh dalam dunia pergerakan. Selain kampus, organisasi juga merupakan rumah intelektual yang bisa dijadikan medium untuk membina diri.

Saya pun jatuh hati dengan PMKRI. Di November 2014, kami mengikuti MPAB di Aula Maria Asumpta Paroki Katedral Ruteng. Usai mengikuti tahapan itu, seluruh jenjang formal organisasi di PMKRI saya ikuti dengan serius.

PMKRI pun menjadi rumah pilihan terakhir  untuk membina diri. Di PMKRI, semangat idealisme diasah dalam bingkai kristianitas, intelektualitas, dan fraternitas yang kuat.

Parlemen Jalanan

Ragam perjumpaan selama berproses di gubuk juang melahirkan banyak kenangan-kenangan yang membuncah rindu. Kenangan-kenangan itu terekam dengan apik dibalik lensa. Dengan perkembangan teknologi komunikasi yang kian mumpuni, dan didukung dengan pilihan aplikasi yang kian menarik serta kualitas kamera yang cukup baik; kenangan yang bergulir pun tersimpan dengan rapi.

Selama di PMKRI, banyak pembelajaran baru yang saya dapati. Berjumpa dengan banyak senior dan alumni dengan ragam karakter dan disiplin ilmu pengetahuan. Mereka dengan setia mentransferkan ilmunya kepada junior-junior di rumah juang. Jangan heran, kader PMKRI banyak tahu dalam segala hal. Toh, hari-harinya hanya dihabiskan diskusi dan membaca kabar terbaru di surat kabar. Pos Kupang, Kompas dan Flores Pos. Saya juga punya kebiasaan buruk terkait memburu informasi dari surat kabar. Ya, salah satunya mengambil koran Kompas di perpustakaan kampus.

Jika ada persoalan yang genting, dan sangat penting untuk disikapi, biasanya sesekali kita turun ke jalan. Begitu lemahnya kami berbisik, sampai kadang-kadang pemangku kebijakan tidak terusik. Agenda demonstrasi menjadi salah satu cara untuk mendobrak sistem yang dibangun, walau terkadang juga dicibir oleh orang yang merasa terusik tadi.

Di Ruteng, demonstrasi masih menjadi hal yang tak lazim. Jarang orang turun ke jalan untuk melawan kebijakan rezim. Jangan heran pula saat ada yang turun ke jalan, cibiran condong menghampiri organisasi atau komunitas terkait.

Dalam setiap pergumulan kami di bawah ganasnya matahari, agenda parlemen jalanan selalu dihiasi romantisme yang mencekik rindu. Ada kenangan, ada rasa yang terekam dibalik megaphone yang digenggam dalam tangan. Di tangan kami tergenggam kunci perubahan, suara yang lantang melawan kelaliman rezim.

Teriknya sinar matahari yang menyilaukan hingga membuat kami terperangkap, dan itu tak membuat agenda jalanan kami tersekap. Megaphone dan spanduk menjadi teman seperjuangan kami.  

Pelataran STKIP Ruteng biasanya menjadi titik pijak rute yang kami lalui. Di sini, biasanya orasi yang menggugah mengelegar angkasa raya. Dalam konsep gerakan, kampus bisa dijadikan wahana untuk membakar api perjuangan dari massa. Pasalnya, kampus merupakan basis intelektual yang kritis. Meskipun tak ada satu pun yang tergugah, akan tetapi setidaknya kita sudah memiliki semangat untuk membakar kepedulian mahasiswa.

Usai berorasi di STKIP, perjalanan pun dilanjutkan untuk menyusuri koridor di tengah Kota Molas itu. Persimpangan demi persimpangan dilalui sampai tiba dipusat pengambil kebijakan. Satu garis perjuangan pun tidak boleh ditepis: membuka diri tidak boleh sampai mengadaikan idealisme.

Di tengah jalan di kota itu, selalu saja ada hal yang unik yang akan terjadi. Saking semangatnya selalu ada kejadian-kejadian yang menggelikan, dan hal itu pula yang mengundang saya untuk merangkai kata demi kata dalam tulisan sederhana ini. 

Salah satunya saat megaphone menjadi rebutan. Dalam catatan ini, saya fokus dengan foto yang di atas, saat saudara Dolfo Suhardi (boss BRI, red) mencoba untuk meminta megaphone dari tangan saya. Dan, moment itu tertangkap lensa.

Saat agenda jalanan di PMKRI dulu, ada beberapa nama yang tergolong pelit megaphone. Sebut saja beberapa nama berikut: Adi Naro, Ketua Kristian Nanggolan, Jack Nasranda, Dolfo Suhardi dan juga nana Ketua yang sekarang, Ketua Servas Jemorang. Andai megaphone sudah mereka genggam, haram hukumnya untuk diminta, apalagi junior yang melakukan hal demikian. Orang-orang ini masuk dalam kelompok orator ulung.

Kini, mereka sudah berlari kencang. Izinkan saya untuk meminta agar kita tetap merawat kenangan. Kelak, kita akan menyusul kenangan itu di suatu waktu dan segalanya bisa bertemu. Cinta akan kenangan bukan sekedar pikiran tetapi juga harapan.

Salam

Erik Jumpar



Post a Comment

0 Comments