Tampak depan Kapela Stasi Matobe (foto;erik jumpar)
“Tulisan ini menarasikan sepenggal perjuangan sekaligus “cambuk” bagi Pemuda Katolik Komcab Mentawai untuk tetap konsisten dalam perjuangan melawan gerakan yang masif dan sistematis dari kaum tertentu yang hendak mengoyahkan semangat keimanan dari golongan tertentu.”
Dalam sejarah panjang peradaban manusia, pemuda memiliki peran yang signifikan. Tidak ada peradaban bangsa, jika tidak ada pemuda tangguh di dalamnya. Bahwa sejarah panjang peradaban manusia, kaum muda selalu memainkan idealismenya.
Tan Malaka, revolusioner sejati yang dilupakan, seorang Bapak Republik yang kesepian berpendapat bahwa idealisme adalah kemewahan kaum muda. Bagi perancang republik yang melalang buana di berbagai negara ini, pemuda hanya mengandalkan ide dalam memainkan perannya. Semangat idealisme yang membara dibumbui dengan militansi dan totalitas; niscaya perjuangan akan kebaikan bersama perlahan-lahan diwujudkan oleh kaum muda.
Demikian halnya dengan organisasi kepemudaan nasional sebagai benteng kaderisasi kaum muda, dituntut sebisa mungkin membekali kader dengan ragam kegiatan positif. Pada titik ini, kader disiapkan untuk menjadi agen perubahan (agent of change), agen kontrol sosial (agent of control social) dan agen intelektual (agent of intelectual).
Salah satu organ kepemudaan yang konsisten berjuang dalam melahirkan kader bagi tanah air adalah Pemuda Katolik. Dengan visi Menjadi organisasi kader yang handal bagi kaum muda Katolik dalam berkiprah untuk Gereja dan Tanah Air, Pemuda Katolik memainkan organnya untuk melahirkan kader terbaik bagi bangsa.
Pemuda Katolik sebagai organ gerakan kepemudaan nasional, dengan spirit untuk mengisi kemerdekaan dan mewujudkan keadilan sosial, serta dijiwai oleh Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI serta digemblengi dengan nilai-nilai kekatolikan yang kuat; hadir untuk melatih kaum muda Katolik agar lebih militan dalam bergerak dan berjuang.
Di dalam catatan ini, saya fokus untuk menarasikan sepenggal perjuangan Pemuda Katolik Komisariat Cabang Mentawai dalam upaya membentengi gerakan “serigala” yang berusaha melebar sayap gerakan dengan merebut “domba-domba” dari golongan tertentu.
Tulisan ini terbagi dalam untaian perjalan dan temu orang muda di Stasi Matobe. Saya harap Anda terhibur dan merasakan pentingnya ''taring'' dari kaum muda dalam berjuang dan terlibat.
Perjalanan Menuju Matobe
Sabtu, 5 Mei 2018, sinar mentari di langit Sipora meruntai dalam siang yang mulai ganas. Kondisi jalanan sangat ramai, tampak orang mulai lalu-lalang pulang dari tempat kerja.
Semalam sebelumnya, organisasi kategorial se-Paroki Tuapejat sepakat untuk melakukan kunjungan sosial ke Stasi Matobe. Dalam pertemuan yang dihadiri Pemuda Katolik, ISKA dan WKRI itu berbuntut pada kesepakatan untuk melakukan kunjungan ke Stasi Matobe.
Stasi Matobe masuk dalam wilayah adminstrasi Paroki St. Yosef Sioban. Jika merujuk dalam administrasi pemerintahan, kampung Matobe masuk dalam adminstrasi Kecamatan Sipora Selatan, Kabupaten Kepulau Mentawai.
Di hari Sabtu, 5 Mei 2018 itu, usai menuntaskan kegiatan mengawas USBN di SDN 16 Tuapejat, kami kembali ke SD St. Petrus. Tak membutuhkan waktu lama untuk menyiapkan diri, perjalanan kembali dilanjutkan. Setelah mengganti pakaian, kami kembali bergegas menuju SMP St. Petrus.
Dari KM 05, hanya membutuhkan waktu lebih kurang 7 menit untuk sampai di SMP St. Petrus, di KM 10. Di SMP St. Petrus, sebagian rombongan sudah berkumpul. Sesuai kesepakatan, tepat pkl. 13.00 WIB perjalanan dimulai.
Tiba di SMP St. Petrus, jarum jam mendekati Pkl. 13.00 WIB. Di situ sudah ada 3 mobil yang siap mengangkut anggota rombongan.
Usai memarkir kendaraan roda dua, kami memilih menumpang dengan mobil. Dalam rombongan kami, setidaknya ada 3 mobil yang jalan secara bersamaan. Sedangkan anggota rombongan yang lain sudah mendahului kami dengan menggunakan kendaraan roda dua.
Deru mesin mobil membawa kami pergi. Saya ikut menumpang di dalam mobil pastoran. Mobil itu dikendarai oleh Pastor Samuel, O.Carm. Saya turut menumpang bersama delegatus dari ISKA dan WKRI.
Dedaunan pinggir jalan menari ke kiri dan kanan, seolah-olah turut memberi restu kepada kami untuk pergi. Medan yang cukup ekstrem dengan pemandangan alam yang cukup menarik mewarnai awal perjalanan kami. Di tepi jalan banyak pepohonan yang tumbuh dengan subur.
Kondisi jalan Pulau Sipora yang menghubungkan Tuapejat menuju Sioban sudah cukup baik. Kampung-kampung di tepi jalan juga telah menikmati penerangan yang cukup. Listrik telah masuk.
Mata kami dimanjakan oleh rumah-rumah warga sepanjang jalan. Perkampungan khas Suku Mentawai dengan karakteristik peradaban yang tidak jauh dari laut membuat sedikitnya saya terkejut. Orang Mentawai memang terkenal juga sebagai pelaut. Bahkan, untuk urusan bertani ada sebagian orang yang berladang hingga di pulau seberang.
Laju kendaraan kami cukup kencang. Ngobrol ngalur-ngidul riasi perjalanan kami. Saya hanya diam membisu di dalam mobil. Pasalnya, anggota rombongan yang semobil dengan saya berkomunikasi menggunakan bahasa Mentawai. Saya yang tidak bisa sama sekali, bisa apa?
Tak terasa perjalanan kami tiba di Stasi Matobe. Kami langsung menuju ke Kapela. Dari kejauhan, saya melihat umat sudah menunggu kedatangan kami. Sesuai dengan rencana awal, kegiatan kami didahului dengan perayaan ekaristi.
Di Matobe, Kami Terlarut dalam Nada Persaudaraan Yang Kuat
Pemuda Katolik bersama OMK Sioban berbagi rasa dalam persaudaraan yang kuat.
Dalam kotbahnya, Pastor Samuel menghimbau umatnya agar kokoh dalam mengimani Yesus Kristus. Ia mengajak seluruh umat untuk konsisten dalam menjalankan semangat yang ditularkan oleh Yesus Kristus di dalam kehidupan sehari-hari.
Usai perayaan ekaristi selesai, kami melanjutkan temu umat bersama elemen gereja. Dalam pertemuan tersebut, masing-masing organisasi kategorial memiliki tupoksinya masing-masing.
ISKA melakukan rapat bersama tokoh-tokoh umat, WKRI melakukan pembinaan terhadap ibu-ibu, sedangkan Pemuda Katolik melakukan rapat bersama dengan orang muda Stasi Matobe.
Dalam pertemuan yang langsung dipimpin oleh Ketua Pemuda Katolik Komcab Mentawai itu berlangsung sangat meriah. Diawali dengan menyanyi dan diiringi gitar, suasana pun terlamun dalam nuansa persaudaraan yang kuat.
Sayang, temu OMK kali ini tidak banyak dihadiri OMK Stasi Matobe. Pantauan saya, hanya ada 2 orang muda yang turut bergabung.
Walau didominasi OMK dari Tuapejat dan OMK Sioban, akan tetapi situasi berlangsung meriah. Banyak permainan yang ditampilkan. Raut wajah ceria tersirat dalam wajah setiap orang muda yang terlarut dalam irama persaudaraan sejati itu.
Waktu pun ikut terbuai dalam alunan gitar yang indah. Lagu demi lagu terbawa menghibur jiwa muda. Waktu juga yang menghantar kami beranjak dari Matobe.
Pada pkl. 16.50 WIB kami angkat kaki dari Matobe. Lagu Sayonara pun bergema saat kami hendak pergi.
Usai foto bersama di depan kapela, perjalanan pulang pun dimulai. Deru mesin mobil kami melaju kencang. Anak-anak kecil mengangkat tangan sebagai ungkapan selamat berpisah.
Dalam mobil kami kembali bercumbu dalam obrolan masa muda. Saya jadi percaya, bahwa keberpihakan kaum muda mampu melabrak sekat-sekat yang ada. Iman bisa memupuk solidaritas, dan bisa memperkokoh spirit cinta kasih. Fraternitas pun jadi harga mati.
Klimaksnya, saya lagi-lagi mengakui; yang muda yang bergerak.
Salam
Erik Jumpar
0 Comments