Dari bibir Pantai Beriulou dapat menyaksikan
kokohnya pulau tak berpenghuni. (foto:erik jumpar)
Awan hitam masih menghiasi langit Bumi Sikerei. Pagi-pagi buta, pada Sabtu, 14 April 2018, jarum jam menunjuk pada pkl. 05.25 WIB, kami sudah bergegas menuju dermaga Tuapejat. Pagi itu, kami akan bergabung bersama rombongan dari Tim Paroki St. Petrus Tuapejat yang akan berangkat ke Stasi Beriulou, Kecamatan Sipora Selatan.
Dari tempat tinggal kami di KM 05, hanya membutuhkan waktu kurang lebih 5 menit untuk sampai di dermaga Tuapejat. Langit masih gelap, tapi aktivitas ekonomi di dermaga sudah mulai tampak. Salah satu bapak tua sudah mulai membuka lapak dagangannya. Ia memanfaatkan kendaraan pick up untuk dijadikan tempat menyimpan barang dagangan.
Geliat ekonomi pagi hari cukup berjalan dengan baik di tepian dermaga, apalagi ada beberapa kapal penumpang yang akan menepi dan beranjak dari dermaga. Hal ini merupakan peluang ekonomi yang perlu ditangkap.
Saya percaya dengan filosofi hari yang baru. Bahwa hari baru selalu membawa harapan baru bagi setiap orang. Tentu, jangan menyerah, teruslah melangkah. Hingga meraih impian yang indah. Soal ini, saya angkat topi dengan orang-orang yang tak lelah melangkah, salah satunya pedagang di pojok pelabuhan itu. Ia pagi-pagi sekali membuka lapak dagangannya. Mungkin ia percaya dengan filosofi pagi yang selalu melahirkan mimpi-mimpi indah bagi yang tabah memulung mimpi.
Usai memarkirkan kendaraan, kami mengamati keadaan sekitar untuk memantau anggota rombongan yang lain. Sepertinya kami anggota rombongan pertama yang sampai di dermaga.
Iseng-iseng kami berdiri di tepian dermaga. Tampak deburan ombak mengulung tepian pantai. Setiap gulungan yang menghantam bibir pantai menciptakan irama tersendiri. Teduh dan mendamaikan. Pemandangan pagi di tepi laut memang selalu menciptakan kedamaian.
Langit sudah mulai cerah. Orang-orang dari kapal mulai bergegas dari tempat tidur. Ada yang melangkah menuju lapak tepi dermaga. Dari kejauhan, lamat-lamat mata saya memandang orang-orang itu. Mereka sedang memesan kopi. Bapak tua yang usianya hampir renta itu berdiri dari tempat duduknya dan mengambil kopi dan gula untuk meracik kopi. Kopi pagi pun jadi. Sepertinya, orang-orang kapal juga pencinta kopi. Sama seperti saya yang memiliki spirit “tiada hari tanpa kopi”.
Jarum jam sudah mulai meninggi. Perlahan-lahan anggota rombongan tiba di dermaga. Untuk perjalanan kali ini, setidaknya kami membutuhkan dua tumpangan. Satunya menggunakan kapal Rimata milik Pemda Kabupaten Kepulauan Mentawai, sedangkan yang lain menggunakan speedboat sebagai tumpangan. Kebetulan Bupati Kepulauan Mentawai bersama Dandim ikut dalam rombongan.
Speedboat yang akan kami tumpangi tiba lebih dulu di dermaga. Salah satu anggota rombongan dari kami lalu mendekat untuk menanyakan tujuan dari speedboat tersebut, dan operatornya mengatakan bahwa ia yang akan mambawa kami ke tempat tujuan. Beberapa menit kemudian Kapal Rimata menepi ke dermaga Tuapejat. Tumpangan kami sudah lengkap. Saatnya menyiapkan diri untuk bercumbu dalam perjalanan laut.
Sensasi Perjalanan
Operator kapal melepas jangkar yang terlilit dicelah bebatuan. Mesin speedboat dinyalakan. Perjalanan pun dimulai. Waktu menunjukan pkl. 06.57 WIB, dan deru mesin speedboat dan gulungan ombak membawa kami ke tengah laut.
Langit di pagi itu begitu bersahaja. Tiada petir yang menyambar terang. Suara guntur tidak terdengar mengelegar. Sepertinya hujan tidak turun mendekati perjalanan kami kali ini. Semakin jauh ke dalam lautan luas, udara terasa lebih dingin dan lembab.
Dalam perjalanan, salah satu anggota rombongan menyarankan nahkoda untuk melewati jalur Batumonga. Menurutnya, dengan melewati Batumonga, perjalanan akan lebih singkat. Efisiensi waktu menjadi dasar argumentasinnya, sehingga dengan melewati Batumonga merupakan suatu pilihan yang tepat dan cepat. Akan tetapi, operator ternyata pula alasan logis-rasional, bahwa kondisi angin barat yang membuat mereka mengurungkan niat untuk melewati jalur tersebut.
Sebagaimana lazimnya perjalanan laut dengan speedboat, operator harus lihai untuk membaca arah angin. Ganasnya laut Mentawai perlu diimbangi dengan kemampuan membaca tanda-tanda alam. Saya pikir orang-orang yang menyandarkan hidupnya di birunya lautan luas harus memiliki kemampuan itu. Atas pertimbangan cuaca, operator kami mengambil jalur melalui Sioban, meski waktu yang dibutuhkan lebih lama.
Deru mesin semakin membawa kami jauh pergi. Waktu semakin meninggi. Speedboat yang kami tumpangi diisi oleh 10 orang penumpang dengan 2 orang operator. Rombongan kapal Rimata berbeda jalur dengan kami. Kondisi cuaca yang membuat perjalanan kami menjadi terpisah.
Sioban sudah dilewati. Jarum jam menunjuk angka 8.30 WIB. Sensasi perjalanan semakin menarik. Pantai-pantai indah dibibir utara Pulau Sipora memanjakan mata. Sejauh mata memandang, tampak bulir-bulir pasir memancarkan pesona yang berkilau. Bak gadis perawan yang menawan, Mentawai memang memiliki sejuta pantai yang indah. Sayang, jika banyak tangan-tangan jahil yang menodai kesucian pantai yang ada di sini, dan direnggut begitu saja oleh tangan yang tak bertanggung jawab.
Semakin mendekat ke tujuan, laut membuat nyali kami sedikitnya ciut. Badai menghiasi puncak perjalanan kami. Untuk ukuran kami sebagai anak gunung, badai membuat telinga menjadi merah. Speedboat yang kami tumpangi terombang-ambing ke kiri dan ke kanan. Ia tidak berjalan seperti biasanya.
Tampak salah satu anggota rombongan geleng-geleng kepala. Rupanya ia juga gelisah dengan kondisi laut yang tak bersahabat. Ia juga turut berkomentar tentang perjalanan kami yang cukup menguras nyali, “miring begini yang buat kita takut” katanya sambil tersenyum geli.
Akan tetapi, fortuna selalu berpihak pada orang yang berpikir positif. Perjalanan kami lancar adanya. Usai melalui perjalanan yang dilumuri badai, salah satu anggota rombongan berujar bahwa kami sudah sampai di tempat tujuan. Saya yang sedang mendengarkan lagu daerah Ambon terbangun dari tempat pembaringan dan melihat keluar. Dari jarak dekat, tampaknya Kapal Rimata tiba lebih awal di Beriulou. Semua anggota rombongan juga sudah turun.
Tidak menunggu waktu lama, speedboat yang kami tumpang menepi ke tepi pantai. Satu per satu penumpang turun. Kami pun bergegas untuk menuju tempat kegiatan. Di situ, anggota rombongan yang menumpang Kapal Rimata sedang mencicipi kopi dan bercerita bersama. Canda tawa mereka terdengar sampai di luar jalan.
Pelayanan di Beriulou
Selama di Beriulou, ada berbagai kegiatan yang kami lakukan. Diawali dengan perayaan ekarisiti di Kapela Stasi Beriulou. Perayaan ini berlangsung sederhana dan khidmat. Umat memadati seluruh bangku di kapela kecil itu.
Stasi Beriulou berjumlah 34 KK. Stasi ini merupakan salah satu stasi di bawah Paroki St. Petrus Tuapejat. Namun, akses darat yang susah dan hanya mengharapkan perjalanan laut membuat stasi ini jarang dilayani oleh imam.
Usai misa, rombongan yang didukung juga dengan adanya Tim Kesehatan memberikan pelayanan kesehatan gratis di salah satu rumah dari tokoh Gereja Katolik. Masyarakat tumpah ruah. Antusias warga terlihat dari semaraknya orang-orang yang hendak berobat.
Kami juga memberikan bantuan pakaian layak pakai. Meski sederhana, namun itu sangat berarti bagi orang yang membutuhkan. Kegiatan kali ini juga diikuti oleh beberapa organisasi kategorial seperti WKRI dan Pemuda Katolik yang juga turut hadir. Kami merupakan utusan dari Pemuda Katolik Komisariat Cabang Mentawai.
Kami juga memberikan bantuan pakaian layak pakai. Meski sederhana, namun itu sangat berarti bagi orang yang membutuhkan. Kegiatan kali ini juga diikuti oleh beberapa organisasi kategorial seperti WKRI dan Pemuda Katolik yang juga turut hadir. Kami merupakan utusan dari Pemuda Katolik Komisariat Cabang Mentawai.
Usai memberikan pelayanan, rombongan berfoto bersama masyarakat sekitar.
Panasnya langit Beriulou tak menyulutkan niat anggota rombongan untuk memberikan pelayanan yang total. Dahan-dahan kelapa sepanjang koridor di Beriulou menari ke kiri dan kanan. Mereka turut memberikan semangat kepada kami.
Tak terasa, matahari kembali meninggi. Waktu hampir mendekati pkl. 16.00 WIB. Anggota rombongan pun bergegas pulang. Setelah berfoto bersama dengan masyarakat, anggota rombongan mengambil langkah seribu untuk kembali ke tempat di mana kapal dan speedboat kami menunggu. Masyarakat Beriulou juga turut menghantar kami. Setelah say good bye, kami menumpangi speedboat dan kembali ke Tuapejat.
Kondisi badan yang lelah terbayar dengan pemandangan yang dahsyat. Bibir pantai yang indah dengan latar pulau tak berpenghuni di Pantai Beriulou mengundang decak kagum. Alam yang indah sepertinya mengajak kami untuk kembali ke sana.
Warga Beriulou menghantar rombongan sampai ke tepi Pantai.
Dalam penjelajahan benak saya, beragam pertanyaan berfusi dalam beragam lamunan. Lamunan akan bibir pantai yang indah, jalan tengah kampung yang eksotis, kapela kecil nan-sederhana, dan khususnya dua nona manis tak bernama. Mereka turut menghantar kami ke pantai. Mereka juga turut mengikuti perayaan ekaristi. Mereka juga turut membawa lamunan saya hingga ke Tuapejat. Mata saya lamat-lamat dalam lamunan. Saya pun tertidur pulas hingga menepi di Dermaga Tuapejat. Nona, enu molas lupi tacik (gadis cantik di tepi pantai), semoga kelak kita bersua.
0 Comments