Live in di Stasi Sungai Lala (3)

Foto bersama sebelum sayonara dari rumah live in

Semburat merah di Rabu (13/06/18), sambut kedatangan kami di Pastoran Paroki St. Theresia Kanak-kanak Yesus Molek, Kecamatan Pasir Penyu Kabupaten Indragiri Hulu, Riau.

Embun pagi turun basahi dedaunan kelapa sawit, datang menyapa anggota rombongan.

Panitia kembali bekerja ekstra untuk menyiapkan sarapan. Kemudian, peserta DYD diarahkan menuju Aula St. Theresia untuk dibagikan tempat live in-nya masing-masing.

Jam kembali meninggi. Tampak panitia masih hiruk-pikuk persiapkan tempat live in. Kegiatan live in dilaksanakan mulai dari tanggal 13-15 Juni 2018.

Live in adalah sebuah program untuk melacur diri dalam kehidupan umat. Datang dan tinggal bersama dengan umat: merasakan apa dan seperti apa kehidupan umat.

Semua anggota DYD dibagikan ke masing-masing stasi. Saya mendapat tempat live in di Stasi Sungai Lala, Kecamatan Sungai Lala Kabupaten Indragiri Hulu.

Pkl. 10.40 WIB, kami menuju Stasi Sungai Lala. Delegatus stasi yang menjemput kami di Paroki.

Dalam mobil yang kami tumpangi ada 10 orang. Sepanjang perjalanan menuju Stasi Sungai Lala, kita dapat menyaksikan lahan perkebunan kelapa sawit.

Tentang pohon sawit, saya jadi teringat saudara-saudari dari kampung halaman yang pergi merantau ke Kalimantan atau Malaysia untuk menjadi tenaga kerja.


Banyak orang Manggarai dan Nusa Tenggara Timur yang menjadi tenaga kerja di lahan-lahan kelapa sawit milik perusahaan. Minimnya lapangan pekerjaan di kampung menjadi dalih atas pergi dan menenun mimpi di pulau seberang.

Sebagian juga pergi membawa mimpi, pulang membawa peti. Entahlah!

Hal yang mengejutkan lainnya, saat saya dalam mobil disambangi oleh seorang saudara muda dari Manggarai.

Cerita pertemuan kami tidak terduga. Awalnya ia memperhatikan saya, sepertinya ia curiga dengan motif selendang yang terikat dalam tas yang saya gunakan.

Kemudian ia mendekati saya, dan bertanya panjang lebar. Asal paroki dan marga apa? Begitu pertanyaan yang ia ajukan dalam membuka obrolan kami.

Saya menjelaskan bahwa saya dari Paroki St Petrus Tuapejat, giliran ditanya marga yang saya rada-rada bingung menjawabnya. Eh, saya Suku Flores bang!

Giliran mendengar kata Flores, ia langsung menimpali saya dengan pertanyaan lanjutan: Orang Manggarai ya? Saya pun mengangguk tanda mengiyakan.

Ternyata orang asing di samping saya itu orang Manggarai. Meski, ia lahir di Riung, Ngada dengan darah campuran Manggarai Timur-Ngada tapi ia cukup fasih berbahasa Manggarai.

Sisa perjalanan kami dihabiskan dengan cerita tentang kampung halaman. Apa dan bagaimana sehingga sampai berada di tanah Sumatera.

Jarak tempuh dari Paroki Air Molek hingga tiba di Stasi Sei Lala menghabiskan waktu sekitar 45 menit. Kami tiba pkl. 11.25 WIB.

Tidak menunggu lama. Kami langsung disuguhkan masakan yang lezat. Pecel lele. Sambutan yang luar biasa tentunya.

Setelah selesai makan siang, kami lanjutkan dengan ibadat sabda. Susunan kegiatan yang dilakukan di tempat live  in sesuai dengan petunjuk dalam Buku Saku DYD Keuskupan Padang tahun 2018.

Pkl. 15.21 WIB, kami langsung turun ke rumah live in. Saya mendapatkan tempat di salah satu rumah keluarga yang berasal dari Suku Batak. Kami berjumlah 3 orang, salah satunya Pastor Indri, pastor pendamping dari Paroki Kota Batak.

Selama di rumah live in, banyak perjumpaan menarik yang saya alami. Hal-hal yang positif mengalir begitu saja selama 2 hari 3 malam di rumah Bapak R. B. Sitanggang.

Dari sekian banyak pengalaman, salah satunya saat saya diajak ke perkebunan kelapa sawit. Ini suatu pengalaman yang menarik, sejujurnya pohon kelapa sawit asing dalam kehidupan orang Flores.

Hal lain tentang makanan yang memiliki cita rasa khas Batak sangat kental. Saking lezatnya, lidah goyang tak karuan: terima kasih atas budi baiknya.

Di pertemuan terakhir, kami selipkan cinderamata sebagai kenangan. Singkat cerita, saya lumuri penyerahan cinderamata dengan olahan kalimat yang menarik.

Cinderamata ini memang sederhana. Cerita di balik kenangan akan cinderamata ini yang membuat semuanya menjadi istimewa.

Pertemuan kita memang singkat. Cerita dan kenangan yang membuat semuanya menjadi abadi

Usai itu selesai, kami sayonara dan siap-siap untuk kembali ke Paroki Air Molek untuk melanjutkan kegiatan DYD.






Post a Comment

0 Comments