Kenapa Engkau Tak Kembali?


Bentangan pasir putih di Pantai Mapadegat (foto; dok. erik jumpar)

Engkau adalah pembuka gerbang menuntun langkah baru bagiku
Engkau bak embun pagi yang melegakan dahagaku yang selalu saja kehausan
Engkau terlahir dengan segala ketulusan, membuncah kalbu mengundang kagum
Derap langkahmu sederhana, namun bijak bestari dalam segala prinsip dan perjuangan
Kau memang istimewa!
….………………………………………………
Sebait larik-larik di atas selalu terngiang dalam ingatan Ruben. Setiap hari ia mengintrepretasi sedetail mungkin pesan yang tertulis pada dinding rumahnya. Jika ia mencoba menafsirkan maka saat yang bersamaan air mata turut jatuh basahi pipinya. Ruben melihat itu sebagai salah satu teka-teki kehidupan yang sukar ia pecahkan. 

Entah kenapa, alam selalu berlaku tidak adil untuk keluarga Ruben. Teori keadilan tidak berlaku dalam kamus kehidupan keluarga mereka. Keadilan sebagai suatu hasrat naluri yang diharapkan bermanfaat, namun malah pergi entah ke mana. Ia selalu ditindas oleh kecongkakan tanah pada tempat ia berpijak.

Setiap harinya, banyak pertanyaan mengantung begitu saja dalam kepala Ruben. Sebelum senja kembali ke peraduan, Ruben banyak bertutur di bawah senja. Kekesalan terhadap keras dan ganasnya kehidupan sebagai pemicu utama. 

“Begitu peliknya kehidupan kita, Bu! Sampai-sampai ayah jarang berada bersama kita pada sore dan malam hari” ngocehnya pada suatu sore saat ia bersama ibu menikmati keladi dan ikan kerapu sisa tangkapan ayah kemarin. 

Ibu hanya bisa mengeleng-geleng kepala mendengar keluh kesah anak semata wayangnya, buah cinta dengan Pak Lanjau. Sebenarnya apa yang diutarakan Ruben sama dengan isi hati yang ia alami pula. Sayang ibu banyak menyimpan rapat-rapat dalam hati. 

Namanya juga ibu. Ia selalu saja berperan bak pahlawan kesiangan. Serasa yang paling kuat di dunia. Padahal hatinya juga menyimpan segudang kerisauan. 

Rasa haru muncul ketika ibu hendak mematikan argumentasi yang diajukan Ruben. Dengan berat hati, ia mulai bertutur apik nan arif demi menguatkan hati sang anak.

“Ben, ayah sedang bercumbu dengan laut. Kita tentu berharap agar laut Mentawai bersahabat dengan ayah. Setidaknya perjuangan ayah membuahkan hasil pada sore hingga malam hari nanti” jawab ibu menanggapi keluhan Ruben. 

Ruben hanya tertegun. Ia diam 1000 bahasa. Mulutnya kaku seperti baru saja dipaku. Bahkan untuk keluar satu kata pun, ia tak lagi sanggup. Ibu memahami perasaan yang sedang dialami Ruben. 

“Engkau tahu tidak? Masih banyak orang di luar sana yang lebih susah dari keadaan kita sekarang. Kita harus sabar dan teguh untuk menjalani segala lika-liku kehidupan yang sedang kita arungi” lanjut ibu. 

“Tidak ada yang mustahil selama kita berusaha sekuat tenaga. Tuhan akan membuka jalan bagi setiap orang yang giat dalam berjuang” tutur ibu menghibur Ruben.  

Ruben menghela napas panjang. Ia makin pangling. Tatapannya hampa. Pikirannya makin amburadul. Ia pun angkat kaki meninggalkan ibu lalu melangkah menuju ruang tamu. 

Semilir angin senja di bumi Sikerei menyusup masuk lewat celah jendela ruang tamu rumah Pak Lanjau. Ruben menunduk dan merenung segala tutur kata ibu. Ia pun tak bisa menginterupsi isi pembicaraan ibu. 

Rumah yang mereka tempati turut bercerita juga tentang kesusahan akan nasib yang sedang mereka arungi. Kondisi rumah mulai reot dan tidak terawat. Tiang penyanggah sudah mulai lapuk dan miring. Aksesoris didalamnya minimalis. Tidak ada unsur estetis dan interior. Rumah mereka sangat sederhana, luput dari predikat istimewa. 

Alat elektronik juga tidak ada satu pun. Gelombang modernisme yang wabahi masyarakat global pada abad ke 21 justru tidak bersahabat dengan keluarga Ruben. Modernisme bagi mereka tidak lebih dari tatanan dunia baru yang dipengaruhi oleh teori kapitalisme, industrialisme dan upaya pencaplokan negara adidaya terhadap karakter masyarakat lokal.

Sedari dulu Pak Lanjau menjadikan laut sebagai rumah ke dua. Budaya melaut turun-temurun dalam keluarga mereka. Laut bagi mereka sebagai penyambung lidah kehidupan. Adalah sesuatu yang haram bagi mereka jika memunggungi laut. 

Peradaban keluarga Pak Lanjau  dipengaruhi oleh laut. Laut Mentawai dengan kandungan bawah laut yang kaya bak sebongkah emas yang perlu digali secara terus-menerus. Tak pelak, Pak Lanjau pantang menyerah untuk berharap pada laut, pagi dan sore, siang dan malam, hidup dan mati, suka dan duka.

Pernah rumah mereka didatangi oleh petugas pemerintahan untuk mendata keadaan keluarga Ruben. Daftar pertanyaan diajukan dengan apik oleh petugas kala itu. Pak Lanjau menjawab dengan lugu. Konklusi dari proses pendataan tersebut bermuara pada janji bahwa kelak mereka mendapatkan bantuan rumah murah. Hati mereka berbunga-bunga mendengar berita itu. 

Bulan berganti bulan, tahun pun berganti, janji manis petugas tak kunjung datang. Keluarga Ruben semakin muak dengan janji tanpa bukti. Ujung-ujungnya, keluarga mereka kembali melacur diri dalam kondisi rumah yang mengenaskan.

“Di mana letak keadilan?” tandas Pak Lanjau pada suatu sore. 

Padahal menjelang pemilihan umum, masyarakat kecil sering dijadikan sebagai obral kampanye. Orang-orang kecil tak absen dijadikan sebagai komoditas politik, meski sekedar objek semata tanpa totalitas dan ketulusan dalam perjuangan.  

Kosa kata keadilan menjarah keseharian orang-orang kecil. Keadilan tidak lebih dari salah satu konsep falsafah negara yang sering didaraskan saat upacara bendera di sekolah. Praktiknya jarang dilakukan dengan berimbang, bahkan tidak ada sama sekali. 

Biduk kehidupan keluarga Ruben sangat bersandar pada kerjaan ayah. Ketika ayah mulai melaut dan arungi samudera, ibu mulai merangkap tugas dan tanggung jawab. Bukan hanya sebagai ibu tetapi juga sebagai ayah sekaligus. 

Kesibukan dan usaha demi mengepulnya dapur adalah alasan utama ayah cundangi lautan biru. Jangan heran ayah jarang berada di rumah. Ganasnya laut Mentawai berhasil ia taklukan. Selama laut masih biru selama itu juga semangat tetap membara. 

Matahari mulai tumbang di kaki langit, menyisakan merah di atas kepala. Ruben masih ingar-bingar di dalam ruang tamu. Sesekali ia tatapi ombak yang mulai garang dan menghantam bulir-bulir pasir yang berada tepat di depan rumah mereka.

Bibir pantai ini selalu basah. Basah sebab selalu dicium sang ombak. Ombak di depan rumah Ruben kembali dan hadir untuk memoles bibir pantai, hingga bibir pantai terlihat indah, mengoda dan menawan. 

Setiap hantaman ombak lahirkan irama pemberontak. Ia berhasil membunuh kesunyian, bahkan turut mengaburkan suramnya kehidupan yang sedang dialami keluarga Ruben. Akan tetapi, itu semua tidak berhasil mencuri perhatian Ruben. Hatinya masih dirundung pilu. 

“Bu, sekarang sudah mulai larut malam? Ayah juga belum pulang!” tukas Ruben pada ibu.

“Sabarlah, Ben! Ayah pasti pulang. Ia bukan tipe orang yang mengingkar janji” jawab ibu polos. 

Ibu menyadari bahwa Pak Lanjau pasti pulang. Sudah 15 tahun mereka arungi bahtera rumah tangga dan selama itu juga ia selalu menepati janjinya. Pak Lanjau bukan tipikal politisi dengan karakter mengumbar janji tanpa bukti. Ia tidak pandai berjilat lidah. Ia jujur, polos dan setia.  

“Ayah pasti pulang” lanjut ibu. 

“Iya sih, Bu. Tapi, sekarang sudah tengah malam?” lanjut Ruben menjawab pembicaraan ibu.

“Tenanglah! Ayah pasti pulang. Ia pasti pulang!” jawab ibu. 

Ruben pun ke halaman rumah. Ia menatap bintang-bintang yang merona pancarkan pesona yang romantis dan magis. Gemerlap bintang munculkan aura optimis, hanya perasaan Ruben saja yang sedang pesimis.

Langit malam kembali meninggi. Bintang-bintang mulai hilang. Tinggal bulan yang tetap setia menghiasi langit di negerinya para tabib. 

Ruben melangkah ke dalam rumah. Ibu sudah terbaring pulas. Hasrat Ruben untuk membaringkan badan pudar. Cahaya lampu pelita yang menerangi seisi rumah mulai surut sinarnya. Ia turut merasakan kelamnya perasaan yang sedang menimpa Ruben.  

“Sudah larut malam! Ayah di mana? Kenapa belum pulang?” gumam remaja itu dalam hati. Ruben menyadari bahwa ayah jarang pulang larut malam. 

“Kenapa ayah harus pergi seorang diri? Toh, sebongkah harapan bisa kita cari bersama-sama!” gerutu Ruben di dalam hati. 

Udara malam mulai terasa dingin, menusuk hingga ke sum-sum tulang belakang. Mata Ruben mulai lamat-lamat. Tatapannya kabur. Sel otak memaksakan ia untuk segera membaringkan badan. Ruben pun melangkah ke tempat tidur. Ia segera berlabuh menuju dermaga mimpi. Sejuta pertanyaan tentang ayah yang belum kembali terus mengendap dalam kepala Ruben. Tersekap tanpa jawaban yang pasti.

Semburat merah muncul di kaki langit timur. Mentari kembali berseri. Pagi datang kembali. Orang-orang mulai menari-nari untuk menenun asa demi kehidupan yang lebih bersinar. 

Ruben masih tertidur pulas. Teka-teki yang masih berjuntai di kepala bisa jadi menjadi salah satu perkara batin yang terus terjerat dalam pikiran Ruben.   

“Ben, sudah pagi. Ayo bangun!” tutur ibu membangunkan Ruben.

Ruben memutarbalikkan badan ke kiri dan kanan. Sepertinya rasa lelah masih merundung tubuh pemuda berbadan gempal tersebut.
“Iya Bu” jawabnya singkat. 

Teka-teki kepulangan ayah masih tersekap dalam pikiran. Belum ada indikasi jawaban yang pasti, padahal mentari sudah mulai menjauh untuk menjalankan tugas.

Tiba-tiba muncul nada suara memanggil. Konsentrasi Ruben langsung fokus ke arah sumber suara. Ia pun melangkah dan membukakan pintu.

“Ben, Pak Lanjau!” tutur Pak Benjo.

Ruben mengernyit bingung. “Kenapa dengan ayah?” tanya Ruben.

“Pak Lanjau ditemukan dalam kondisi tak bernyawa” kata Pak Benjo. 

“Nyawanya ditemukan di pesisir pantai bagian barat” lanjut Pak Benjo. 

Ruben tidak bisa berkata-kata lagi. Suara tangis Ruben pecah dalam waktu sekejap. 

Mendengar isak tangis yang tidak biasa, ibu keluar dan menghampiri mereka yang sedang berdiri di depan pintu rumah.
“Ben, kenapa kamu menangis?” tukas ibu.

Pertanyaan ibu dijawab dengan tangisan dari Ruben. Pak Benjo mendekat dan memberikan penjelasan tentang nasib naas yang menimpa Pak Lanjau.

“Pak Lanjau telah pergi, Bu!” tutur Pak Benjo, sang pembawa kabar nestapa.

Ibu tak sempat menjawab pembicaraan Pak Benjo. Ia hanya mampu terisak-isak. Ia linglung. Ia tak sudi menjadi tumbal usai Pak Lanjau pergi. 

Ombak yang ganas ternyata penyebab perahu Pak Lanjau terbawa arus. Nyalinya pun ciut. Ia tidak berhasil menaklukan ombak dengan sempurna. Nasib naas justru memukul mundur semangat Pak Lanjau. Takdir menjemputnya! Ia terlempar dari dalam perahu kesayangannya. Pak Lanjau ditemukan tak bernyawa oleh nelayan di arah pantai barat. 

Ibu dan Ruben teriak histeris. Mereka larut dalam dukacita yang mendalam. Tetangga rumah pun panik. Mereka datang untuk mengklarifikasi keadaan yang sedang terjadi. Interupsi tetangga tak berhasil membantah perasaan yang sedang mereka alami. 

Ruben tertunduk lesu. Ia merasa bersalah dengan kepergian ayah. Ibu juga demikian. Seandainya ayah tidak melaut untuk menuntaskan teka-teki kemiskinan keluarga, mungkin naas luput dari ayah. 


Entahlah! Takdir berkata lain. Ia lebih memilih untuk menginterupsi kemauan Ruben. Ia datang untuk mendustai perasaan Ruben. 

Ruben jadi memahami lebih dalam makna dari larik-larik yang tertulis pada dinding rumahnya. Larik-larik pemberontak, cambuk untuk dirinya agar berjuang dengan prinsip yang teguh dan lugas dalam tugas. 

“Ayah, kau memang istimewa” gerutu Ruben dalam hati. 

Cerpen ini memperoleh juara 1 lomba menulis cerpen yang diselenggarakan oleh Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kabupaten Kepulauan Mentawai, Provinsi Sumatera Barat.


Penyerahan piala oleh Bupati Kepulauan Mentawai, Bapak Yudas Sabagalet.


Post a Comment

0 Comments