Surat Cinta Kepada Ibu Pertiwi


Selamat malam ibu pertiwi, apa kabar ibu sekarang? Sehat-sehat kan? Saya yakin kini ibu sedang tersenyum sumringah, hati ibu sedang berbunga-bunga. 

Sebelumnya saya meminta maaf, mungkin kedatangan surat saya mendadak dan isinya terlalu lancang. Saya tahu saat ini ibu sedang merias diri untuk menyambut ritual tiup lilin di ulang tahunmu esok. Seperti perayaan ulang tahun sebelumnya, saat ini ibu pasti sedang siap untuk berdandan, dan memikirkan pakaian apa  yang padanan untuk dikenakan.

Ibu Pertiwi, sudah lama kita tidak bersua. Sekali lagi, maafkan saya yang sudah sekian lama terlalu apatis. Kesibukan pribadi menjadi dalih; ekonomi semakin berat, biaya hidup terlampau tinggi. Saya harus membanting tulang untuk mendapatkan sesuap nasi.

Sejujurnya, saya sedang berkecimpung dengan urusan mempertebal harga diri. Ibu tentu memahami bahwa di negeri kita tercinta ini, status sosial mendukung prestise seseorang. Jika diabaikan bisa saja diinjak habis-habisan. Tidak akan dihiraukan!

Ibu Pertiwi, esok engkau merayakan hari ulang tahun yang ke 73. Langkah kakimu sudah jauh. Saya selalu berharap agar langkah kakimu tidak cepat kalah. Tetapi tetap tegar untuk cundangi tantangan masa kini.

Gebyar menyambut kelahiranmu sangat meriah. Di berbagai kantor-kantor pemerintah hiasan terlampau glamor. Warna merah melambangkan berani dan putih melambangkan suci mendominasi riasan setiap koridor. Rumah-rumah penduduk tidak ketinggalan. Nasionalisme jadi acuan.

Setiap kami memperingati hari kelahiran ibu, kami selalu kembali untuk mempertegas rasa patriotisme dan nasionalisme. Merah putih dikibarkan. Angkasa raya menggelegar, tiang merah putih berdiri tegar.

Sebagai anak yang berbakti pada cintamu yang terus membuncah, banyak soal yang ingin saya curahkan. 

Ibu Pertiwi yang baik hati, saat ini kami sedang berpapasan dengan polemik yang pelik. 

Banyak soal menggerogoti tubuh negeri. Anak negeri sudah tidak baku peduli. Semangat bersama yang tak lagi kembali.

Sebagian orang lebih memilih untuk menggunakan kekuasaan untuk kekuatan golongan dan keluarga. Tumpukan kekayaan alam dirampas begitu saja. 

Bumi, air dan kekayaan alam lainnya tidak lagi dikelola untuk kebaikan bersama. Sebagian golongan memperalat demokrasi untuk menambah pundi-pundi rupiah. Kekayaan alam dijarah. Harta pribadi menumpuk, harga diri orang lain ditubruk.

Kita memiliki laut dan daratan yang luas, tetapi tidak pernah berhenti untuk impor garam dan beras. Kepentingan pribadi di atas segalanya, rakyat kecil diinjak-injak.

Ibu yang baik, usiamu sudah terlampau senja. Hutan-hutan kita sudah banyak yang sudah rusak. Gunung-gunung kita sudah banyak yang dijarah. Pulau-pulau kita sudah banyak pula yang diprivatisasi.

Konservasi digadang-gadang sebagai pintu gerbang keselamatan lingkungan, tetapi saat bersamaan pintu investasi masuk sesuka hati, bahkan melabrak konservasi itu sendiri. 

Masih segar dalam ingatan ibu, pada Senin (6/8/2018) ada segerombolan masyarakat kecil yang tergabung dalam Forum Masyarakat Penyelamat Pariwisata Manggarai Barat (Formapp Mabar) melakukan demonstrasi di Kantor Bupati dan DPRD Kabupaten Manggarai Barat. 

Pembangunan sejumlah penginapan dan restoran di dalam kawasan konservasi Taman Nasional Komodo sebagai pemicu utama. Bu, masih banyak anak-anak negeri yang menginginkan agar Komodo tetap menjadi narasi imajinasi masa lampau. Istananya tidak boleh diganggu.

Dengan agenda utama mendatangkan laba, investasi ada kala tidak ramah lingkungan. Kearifan lokal turut diperkosa. Masyarakat kecil jadi tumbal. 

Ibu Pertiwi yang baik, di belahan negeri ini, tema keadilan masih jadi topik usang. Masih banyak rakyat yang belum senang. Pembangunan merata belum dirasakan oleh seluruh anak-anak Ibu Pertiwi.

Di ujung Timur Manggarai, masih banyak yang belum merdeka, padahal negeri ini sudah 73 tahun nikmati aroma kemerdekaan. 

Di sana, infrastruktur belum terjamah dengan baik. Jika hendak ke kota, masyarakat disuguhkan jalan yang rusak parah. Lubang mengangga di mana-mana. Perjalanan yang seharusnya ditempuh dalam waktu 3 jam justru menjadi 9 jam. Sungguh sebuah penderitaan yang teramat pedih.

Bu Pertiwi yang baik hati, jangan lupa pula untuk menyadarkan politisi kita yang terlampau gagap moral. Politisi bermoral sudah absen dari pangkuanmu. Semuanya pada rakus. Kekuasaan memang sangat memabukkan, akan tetapi bukankah kesejahteraan rakyat yang utama? 

Demi kekuasaan, negeri kita hampir tercabik-cabik tubuhnya. Topik agama dibawa ke ruang publik. Agama yang seharusnya urusan privat, dipolitisir ke ruang publik. Bhineka Tunggal Ika hampir saja goyah. Hampir!

Ibu Pertiwi, jika mau jujur sebetulnya kita belum merdeka. Di pelosok Indonesia, masih banyak yang merayakan kemerdekaan tanpa penerangan listrik, kampung-kampung yang kesulitan air bersih, desa-desa yang belum diaspal, dusun-dusun yang tanpa pos kesehatan dan desa-desa yang memiliki mata air namun selalu berlinang air mata.

Ibu, saya menyadari bahwa isi surat saya terlalu emosional. Ibu juga mungkin lelah untuk membacanya.

Saya hanya berharap agar Merah Putih tetap tegak berdiri, Ibu Pertiwi percaya diri dalam melangkah dan bijak dalam mengambil kebijakan. Tidak ada lagi cerita tentang pejabat yang menggunakan wewenang untuk kekayaan pribadi dan golongan.


Kita kaya, Bu. Kita punya segalanya. Alam, budaya, sumber daya manusia dan solidaritas bersama yang kokoh. Itu pun jika dirawat dengan baik.

Sudah malam ibu. Jangan lupa tampil elok di hari ulang tahunmu esok. 

Selamat ulang tahun Ibu Pertiwi, Indonesia tercinta.

Salam

Anakmu, Erik Jumpar.

17 Agustus 2018.
Pkl. 00.27 WIB

Post a Comment

0 Comments