Secangkir kopi hadirkan inspirasi (foto;page FB Bicara Kopi)
Budaya minum kopi dalam kehidupan manusia Manggarai telah lama hadir setua peradaban orang Manggarai. Sejak dulu orang Manggarai melihat kopi sebagai wujud prestise dari manusia Manggarai itu sendiri. Jika seorang pemuda hendak mempersunting tambatan hati, ia harus memiliki modal sosial sebagai bekal membangun bahtera rumah tangga. Setidaknya ia telah menyiapkan ladang kopi yang cukup. Dengan modal yang demikian, ia akan dipertimbangkan untuk dijadikan sebagai calon anak mantu (koa).
Kopi telah lama jadi sumber ekonomi, sosial dan budaya orang Manggarai. Karena kopi, orang Manggarai dapat meningkatkan taraf ekonomi juga menyekolahkan anak hingga Perguruan Tinggi. Di kota-kota besar di Pulau Jawa, kita akan mudah menemukan anak muda Manggarai yang sedang menuntut ilmu. Bisa jadi, kopi menjadi tumpuan dan harapan utama hingga gelar yang dikejar bisa digapai.
Relasi sosial pun kurang apik tanpa ada kopi. Ketika ada kopi maka cerita juga turut hadir. Jangan heran saat kita bertamu ke kampung-kampung di pedalaman Manggarai, kopi jadi suguhan pertama yang diseduhkan.
Orang Manggarai percaya bahwa menyuguhkan yang istimewa kepada tamu membawa rejeki bagi seisi rumah. Meski sang penggawa dapur memberi kode bahwa ada yang kurang di dapur, pasti ada 1001 cara untuk mengubur kekurangan yang dihadapi. Apalagi kalau kepala keluarga yang biasanya menerima tamu menunjukan kode-kode agar tetap suguhkan yang istimewa pada tamu yang datang.
Manggarai selalu hadirkan cerita, pagi dan sore, siang dan malam, kini dan di masa yang akan datang.
Dalam secangkir kopi yang disuguh, akan ada narasi yang sungguh. Entah tentang perjuangan maupun harapan akan kehidupan yang lebih baik.
Dalam secangkir kopi yang disuguh, akan ada narasi yang sungguh. Entah tentang perjuangan maupun harapan akan kehidupan yang lebih baik.
Saya termasuk maniak kopi. Saat saya di Manggarai, minimal sehari menikmati kopi sebanyak tiga cangkir. Jika di pagi hari membukanya dengan kopi, maka ketika menutupnya harus dengan kopi pula.
Di kampung Golo Mongkok, tempat kami dibesarkan Bapak dan Mama, minum kopi teramat nikmat. Sangat nikmat. Yang pasti antara minum kopi dan sopi di sana sama-sama bikin mabuk, sama-sama bikin rindu. Tangan mungil sang bunda turut menambah sensasi rasa kopi yang diseruput. Selalu enak untuk diminum saat panas maupun dingin.
Kini dan di tanah ini, dengan segala pergulatan baik-buruknya tanah rantau, rasa kopinya sudah tak lagi sama. Ritme minum kopinya memang masih konsisten. Tidak berubah sama sekali. Minum kopi yang benar dengan satu setengah sendok kopi dan setengah sendok gula, hanya ada sebagian ampas-ampas kopi yang terasa perih untuk dinikmati.
Entah kenapa, pagi dan senja yang selalu diawali dan ditutupi dengan kopi semakin ke sini rasanya kian pahit. Bukan karena kopi yang tak sama. Mungkin karena rasa, juga soal asa, tentang sisi di mana manisnya perlahan-lahan mulai tenggelam, terbawa oleh ampas yang makin kelam.
Sejauh ini, kopi yang selalu saya seduh hanya diandalkan untuk membantu mengalirkan narasi hari yang sudah mulai sesak. Dalam jalan yang kian sungguh selalu tampak kerikil-kerikil yang mulai singgah. Ia hadir dan padamkan api yang sedang disulut.
Jika sudah demikian, petualang meski sudah berkelana hingga tertuju pada tempat yang diidam-idamkan, tiba pada tempat yang hendak dijadikan rumah, tetap akan ada rintihan lelah. Hingga titik ini, memilih untuk pulang kembali untuk merengkuh kisah lebih baik dari segalanya.
Pada setiap kenangan yang sudah terukir dalam lembar perjalanan, terpaksa tetap menyeruput suka dan duka hingga tetap berharap waktu cepat berlalu mengkhianati kisah. Toh, setiap cangkir kopi selalu seduhkan rasa pahit dan manis, manisnya dinikmati sedangkan pahitnya dibiarkan untuk tenggelam bersama dengan ampas kopi yang bernasib murung.
Sekarang semuanya tergantung derap langkah untuk bertarung pada pilihan yang mana. Apakah mengamini begitu saja ampas-ampas yang perih untuk kita nikmati, ataukah memilih untuk membiarkannya terlarut dalam seduhan kopi yang tak tahu kapan ujungnya. Saya memilih pergi agar semuanya lekas sirna, sebab mengharapkan sesuatu yang kian hari kian purna hanya sia-sia, menghabiskan sisa umur yang kian hari kian beruban.
Pada akhirnya, perih akan berakhir lirih. Duka berakhir suka. Pergi berujung kembali. Petualang juga akan pulang.
Memang tak ada yang lebih baik dari pekatnya kopi, namun melihat kenyataan rasa dari kopi akhir-akhir ini, sepertinya kopi ini terus-terusan berujung perih. Entah sampai kapan?
0 Comments