Orang yang sedang membaca (ilustrasi; google)
Daya baca orang Indonesia untuk skala dunia begitu lesu. Berdasarkan studi “Most Littered Nation In the World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca.
Fakta ini teramat mengelikan. Sejatinya membaca sebagai upaya membangun peradaban yang humanis. Dengan membaca kita bisa mendalami dunia yang lebih luas. Di dalam buku kita menemukan catatan yang dapat mengugah konsep dan pemahaman dalam berpikir. Setiap lembaran buku tersirat jejak pena yang abadi.
Buku adalah cakrawala. Buku yang sejak saya SD selalu dikampanyekan oleh guru-guru saya sebagai gudang ilmu, yang saya tidak tahu juga bahwa saat itu dulu mereka sering membaca atau tidak. Gudang yang hanya bisa dibuka dengan kunci yaitu membaca, gudang yang orang-orang sering melupakan kuncinya diletak di mana. Saya tidak tahu siapa yang dengan tahu dan mau menyembunyikan kunci untuk membuka gudang yang satu ini. Ckckck….
Ada ragam persoalan yang mendasari Indonesia berada pada nomor buntut dalam urusan membaca. Pertama, akses buku yang rendah bisa saja menjadi salah satu pemicu. Kita tahu bahwa akses buku dari Sabang sampai Merauke, dari Pulau Miangas hingga Pulau Rote tidak tersebar secara merata. Berbahagialah orang-orang yang kala kecil sudah mengenal majalah Bobo, ketika menginjak usia remaja telah mengenal tabloid Bola, atau remaja putri yang penasaran dengan isi majalah Kartini milik sang ibu lalu mengambil secara diam-diam dan melahapnya hingga habis.
Kedua, keterbatasan orang-orang baik yang menyebarkan virus membaca. Dalam keseharian kita, jarang kita dapati orang-orang yang menularkan budaya positif dalam urusan membaca buku. Di jalanan, di ruang tunggu bandara, di tempat-tempat umum, kita lebih mudah menemukan orang yang tengah fokus dengan ponsel pintar dibandingkan orang yang sedang melahap koran atau buku. Bahkan di perpustakaan sekalipun masih saja ada orang yang berbicara ngalur ngidul tak karuan, yang lain juga mungkin sedang asyik dengan ponsel pintar. Jika sudah demikian, agenda literasi luntur pada tataran praksis yang tidak lebih dari mimpi di siang bolong, iya to?
Sadar akan posisi Indonesia di nomor buncit, kampanye nasional membangun budaya literasi menguat. Tak heran urusan membaca menjadi agenda nasional yang terus-terusan dibangun. Sekarang membaca sudah menjadi proyek rezim.
Di jalanan, kita mungkin pernah berjibaku dengan mobil pustaka keliling atau motor pintar. Mereka berjalan ke sana kemari untuk menularkan budaya positif, membangun peradaban manusia Indonesia melalui membaca. Saya tidak tahu, apakah orang-orang terbantu dengan adanya mobil pustaka keliling? Apakah orang sudah menyadari bahwa membaca itu penting?
Pemerintahan Jokowi menetapkan tanggal 17 setiap bulannya untuk mengirim buku secara gratis ke seluruh Indonesia dengan menggunakan jasa Pos Indonesia. Gerakan ini membangun optimisme baru. Apalagi sekarang banya tumbuh subur rumah baca yang dirintis dan dikelola oleh anak-anak muda yang visioner. Kita bersyukur punya anak muda yang peduli. Kita bersyukur memiliki pemimpin (baca:Jokowi) yang peduli literasi. Eits,,, ini bukan kampanye terselubung.
Sekarang juga ada banyak anak-anak muda yang menyadari bahwa membaca itu penting. Apalagi untuk aktivis kampus. Anak gerakan belum terlihat keren jika tidak memegang buku di tangan. Belum lagi ketika sampai di kampus mereka akan mengisi dengan obrolan serius nan-akademik.
Membaca memang sangat penting. Pegiat literasi tentu menyadari bahwa kunci utama pembangunan manusia hanya melalui membaca. Tidak ada pilihan lain. Membaca amat begitu penting.
Saya juga memiliki hobi membaca. Saya suka membeli buku sejak mahasiswa dulu. Saya kadang berpikir bahwa mengoleksi buku saja tidak cukup, kita perlu memaknai tujuan dari membaca itu sendiri. Mengoleksi buku tidak selamanya mendadak terlihat keren, apalagi sudah menganggap diri melek literasi.
Beberapa fakta unik tentang semangat membaca orang-orang zaman sekarang. Semoga saja Anda tidak termasuk di dalamnya. Pertama, membeli buku tetapi tak membaca sampai tuntas. Nafsu membeli buku sering wabahi anak-anak muda. Saya juga pernah mengalaminya. Sayang hanya sekedar membeli. Membaca tuntas juga kadang jarang dilakukan.
Kedua, suka memajang buka di kamar. Ketika mahasiswa saya suka memajang buku di meja belajar saya. Saya merasa keren dengan kamar tidur yang diisi dengan pajangan buku-buku yang berbaris rapi di kamar. Saya merasa girang ketika pacar saya datang bertamu di kos lalu melihat ragam koleksi buku saya sembari berkomentar “ko memang istimewa. Saya tir salah memilih ko sebagai pacar”. Eh….
Ketiga, memposting foto sedang serius membaca buku pada media sosial. Gejala ini sering melanda kaum muda. Termasuk aktivis mahasiswa yang merasa keren dengan memposting foto dengan aktivitas sedang membaca ke media sosial, iya to? Saya agak jijik melihatnya. Sumpah.
Membaca buku bukan sekedar gagah-gagahan. Motif membaca harus lahir dari kesadaran yang hakiki. Bahwa proyek panjang manusia harus lahir dari kesadaran alami seorang manusia, bukan tanpa tekanan pihak lain, apalagi tekanan dari sang pujaan hati. Sangat tidak diperbolehkan.
- Demikian. Generasi melek literasi akan terwujud saat kesadaran sudah muncul di dalam diri. Pada intinya, banyak buku di kamar tidur, bukan sekedar untuk terlihat gagah-gagahan. Begitu!
0 Comments