Tiba di Penghujung November

Saya ingin mengakhiri November dengan catatan ini.
Alangkah naifnya, jika November yang romantis nan-magis dilalui begitu saja, iya to?

Jalan masih panjang. Langkah jangan kalah (foto;dok. erik jumpar)

November sudah sampai di puncak. Sayup-sayup irama lagu Natal mulai bergema. Kopi baru saja diseduh. Dahaga pun sirna. Perut juga sudah diisi. 

Kita pernah bersumpah untuk saling berbagi kopi. Disusul lagi dengan menulis janji dalam serpihan kisah untuk habiskan waktu bersama meski kelak pahit tak juga hilang.  

Sempat mencoba untuk memintal kisah bahwa salah satu anugerah terindah ketika kamu menyeduh kopi terbaik untuk diseruput saat kita bersama. Sayang kita gagal untuk menyeduhnya ke dalam cangkir. Bahkan sebelum sempat menyeruput kopi perdana.

November tak selalu bisa diharapkan. Tentang seluruh rasa yang gagal jadi asa. Pergumulan batin menggeliat kala sebagian tak dapat diwujudkan. Ah!

Tak lagi ada alasan untuk merayakan rindu. Tak ada lagi alasan untuk menulis catatan-catatan sederhana pada buku harian. Semua telah usai meski segala harapan sempat digantung di langit kamar. Sepertinya sirna bersama dengan November yang sebentar lagi akan pergi.

Di pertengahan November sempat merayakan harapan dengan seseorang. Komunikasi terjalin cukup lancar. Rasa sempat bersemi. Nahas, ia kembali enggan menyapa, kisah pun enggan menepi. Aiss…

Selain status yang menyendiri dan sepi yang kian akrab, November kali ini jua diliputi dengan dukacita yang mendalam.

Kesa kami tercinta pergi untuk selamanya. Kesa Lipus namanya. Ia dipanggil Tuhan pada 9 November 2018 kali lalu. Rasa kehilangan menyelimuti seluruh keluarga besar. Tidak percaya dengan segala kenyataan yang terjadi.

Catatan-catatan sedih dari keluarga terpajang pada media sosial. Perasaan bersalah dan kehilangan menyelimuti setiap keluarga dan kenalan yang mengenali beliau.

“Belum kering air mata karena ditinggalkan Bapak Moses Peot pada 47 hari yang lalu. Kini kami semua harus kehilanganmu lagi”, begitu catatan dari kaka sulung saya, Kakak Ifon, yang saat itu lagi ikut PPG di Universitas Surabaya.

Bahkan empat hari setelah ia dikebumikan, kaka saya belum juga percaya bahwa ia telah tiada. Di linimasa FB, kaka Hila menuliskan catatan kerinduan.  

“Seperti sedang bermimpi saja. Tidak sangka kesa pergi secepat ini. Setiap melihat fotomu selalu jatuh ini air mata. Kapan lagi dengar cerita masa mudamu di saat kita kumpul keluarga”.

Sejatinya kehilangan seperti sebuah mimpi. Kita cukup mengenang jejak-jejak yang telah ia toreh. Segala kebaikan dan nasihat yang akan kita maknai untuk dikenang. Apalagi jika kita mengenangnya dengan segala kasih sayang, cinta yang kokoh dan nasihat yang baik.

Usiamu masih terlalu muda. Sungguh. Perjalananya masih begitu panjang. Belum lagi soal keluarga kecilnya yang masih membutuhkan cinta, arahan dan perhatian yang penuh. Efrit yang masih kecil untuk merasakan kehilangan sosok Ayah. Begitu juga dengan Arlin. Mereka masih membutuhkan kehadiran seorang Ayah.

Tentangmu, jujur saya selalu mengagumi derap juangmu yang selalu diandalkan untuk berbagai urusan keluarga dalam berbagai lini. Urusan adat, misalnya. Selalu menyelesaikan dengan tuntas. Sungguh sebuah tanggung jawab yang besar.

Jika saya sedang pulang dari Ruteng semasa kuliah, saya selalu habiskan waktu untuk duduk bersama. Kita memiliki hobi yang sama, menyukai kopi, sopi dan rokok. Saya senang jika kita sudah mulai "tenggel". Sebab ada Ema Pepo yang tidak pernah kehabisan bahan untuk bercerita tentang nilai-nilai kehidupan yang begitu bermakna. Begitu juga denganmu yang bercerita banyak hal mengenai kerasnya pengalaman masa muda, yang melalang buana ke sana kemari untuk mencari sebongkah rezeki.

Ema Pepo biasanya bercerita tentang perjuangannya saat muda. Mulai dari kisah saat mereka tiba dan merintis perkampungan Golo Mongkok. Meski pada babak tertentu akan berbeda pendapat dengan Ende Ana karena ada serpihan sejarah yang perlu diluruskan. Proses dialektika terjadi begitu saja.

Saya selalu setia mendengar pelajaran sejarah yang begitu berharga. Gratis pula. Saya pernah merekam untuk referensi catatan saya. Rekaman itu diperoleh saat lagi "tenggel" tadi. Sayang rekamannya ada pada notebook saya yang rusak. Suatu waktu semoga bisa didapati kembali.

Sebagai anak tunggal putra, segala urusan keluarga tentu diselesaikan sendiri. Mau mengharapkan siapa lagi. Engkau pun menyanggupinya. Saya begitu menaruh hormat.  

Saya pernah terlibat dalam beberapa urusan adat denganmu. Urusan adat yang paling jauh, saat ke Orong, Lembor dan ke Lando, Benteng Jawa. Semuanya dilakukan dengan tuntas dan penuh tanggung jawab.

Bagi saya, engkau tidak saja sebagai kesa seturut hubungan kekerabatan orang Manggarai, tetapi juga sebagai kaka yang dapat diandalkan. Saya begitu dekat denganmu sebab saya dekat dengan Ende Ana. Yang menurut Mama saya, ia yang merawat saya waktu kecil ketika Mama lagi sakit.

Sayang setiap perjalanan yang pernah kita lalui bersama, belum sempat saya mengabadikan jejak yang pernah kita cundangi. Sebab kala itu saya percaya bahwa langkah kakimu masih panjang, ziarahmu tidak lekas tuntas.

Entahlah! Hidup memang hanya mencakup dua titik, pahit dan manis, baik dan buruk, juga lahir dan mati. Kami cukup mengenangmu dengan doa yang terus kami daraskan. Jaga kami dari sana.

Sebentar lagi November segera berlalu. Darinya kita belajar untuk terus mengembara hingga kepala tetap tegak untuk menjemput Desember yang diselimuti dengan Natal yang penuh kenangan dan kerinduan. 

Akhirnya, saya rindu rumah!

*tenggel; mabuk akibat menikmati sopi (arak khas Manggarai, NTT)




Post a Comment

2 Comments