Perkampungan warga di Desa Betumonga, Kecamatan Sipora Utara
Kabupaten Kepulauan Mentawai (foto; FB Komsospdg)
Pada Selasa (25/12/18), senja hendak kembali ke peraduan ketika rombongan
Pastoran Paroki St. Petrus Tuapejat tiba di Dermaga Betumonga. Anak-anak kecil
yang awalnya sibuk dengan aktivitasnya langsung mengalihkan pandangan hingga fokus
pada kapal kami yang hendak berlabuh.
Operator speedboat langsung memberi kode untuk mengikatkan tali
pada tiang dermaga. Salah satu anggota rombongan pun turun dan mengikatkan
tali. Kapal pun berlabuh. Kami langsung mengangkat barang bawaan dan turun dari
kapal.
Anak-anak yang tadinya bermain di lokasi dermaga langsung
tersenyum ramah menyambut kami. Beberapa menit kemudian pengurus inti Stasi
Betumonga datang. Mereka langsung menyambut kami dengan sapaan yang ramah. Senyum
tak sirna dari bibir mereka.
Kami langsung diarahkan ke rumah sekretaris Stasi Betumonga.
Tuan rumah langsung menyuguhkan kopi. Rasa lelah akibat perjalanan laut larut dalam
kopi hitam yang nikmat.
Usai menyeruput kopi, tuan rumah mengarahkan kami untuk segera
membersihkan badan. Kami lalu bergegas ke kamar mandi. Untungnya persediaan air
cukup untuk kami membersihkan badan.
Cakrawala menguning senyap pada himpitan pohon kelapa yang
menjulang tinggi. Pak Frans, salah satu pengurus Stasi Betumonga mengajak kami untuk
mengelilingi kampung. Kami pun menyetujui ajakan tersebut.
Dari rumah singgah kami berjalan susuri jalan setapak yang
berlantai semen di tengah kampung. Dalam perjalanan beberapa kali kami
berpapasan dengan warga yang baru pulang dari ladang. Ada juga sebagian warga
sedang duduk santai di beranda rumah. Kami menegur dengan santun. Mereka
merespon dengan senyum yang meruntai indah, tanda mereka menerima kedatangan
kami dengan hati yang lapang.
Saat kami susuri jalan di tengah kampung (foto; FB Komsospdg)
Sepanjang jalan mata kami dimanjakan dengan pemukiman
tradisional khas Suku Mentawai. Rumah yang unik dengan atapnya yang terbuat
dari daun sagu. Pada bagian depan dilengkapi dengan tempat untuk berleha-leha
seperti teras pada rumah modern.
Pada sisi lain, alam yang asri dengan ragam tanaman perkebunan
warga tumbuh dengan daun yang hijau. Tanaman kelapa melambai ke sana kemari dengan buah yang
begitu lebat. Begitu juga dengan tanaman kakao yang tumbuh subur di sekitar rumah warga. Buahnya begitu lebat.
Nuansa sunyi menyelimuti
Desa Betumonga. Letak desa yang udik menambah kesunyian desa yang terletak
di pantai barat Pulau Sipora itu. Untuk penerangan malam hari dari warga sudah didukung oleh adanya listrik tenaga surya. Alhasil, warga tak kewalahan. Malam hari pun terang
benderang.
Letak Desa Betumonga semakin
terpencil karena akses untuk bisa ke luar dan masuk desa belum lancar. Satu-satunya
pilihan untuk keluar dan masuk desa melalui jalur laut. Itupun cukup beresiko
saat gelombang laut tinggi. Sejauh ini jalur lintas Pulau Sipora belum rampung
hingga ke Desa Betumonga. Warga hanya bergantung pada speedboat untuk ke
Tuapejat, Ibukota Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Meski serba terbatas, akan
tetapi perayaan Natal tetap berlangsung meriah. Sukacita Natal rupanya juga
merasuki umat Betumonga. Di dalam Gereja dirias dengan aksesoris Natal berupa
kandang natal. Patung-patung kanak-kanak Yesus berjejer rapi dalam kandang yang
beratapkan daun pisang yang sudah kering. Mimbar bacaan juga dihiasi dengan pelepah bambu yang
sudah dibentuk sekecil mungkin, kemudian dihiasi dengan daun-daunan hingga
membentuk seperti gua.
“Ternyata, sukacita Natal
sampai juga di Stasi Betumonga'', tutur Pak Ardi, delegatus dari Komisi
Komunikasi Sosial Keuskupan Padang yang ikut dalam rombongan Paroki
St. Petrus Tuapejat.
Gereja Stasi St. Stefanus
Betumonga terletak di tengah pemukiman warga. Letaknya pada lembah yang cukup
datar lahannya. Halaman depan Gereja dialihfungsikan menjadi tempat bermain
bola voli, sementara pada bagian samping kanan Gereja yang cukup luas menjadi
tempat anak-anak kecil untuk bermain layang-layang dan sepak bola. Pohon kakao
tumbuh subur di samping kiri Gereja.
Natal memang selalu membawa
sukacita. Desa Betumonga yang udik tetap merayakan Natal dengan unik. Cara yang
begitu sederhana tetapi terlihat megah jika didasari oleh niat yang tulus; tulus
untuk berubah, tulus untuk berbuat baik dan tulus untuk terus-terusan
membaharui diri.
Esok harinya dalam
perjalanan pulang ke Tuapejat, pada (26/12/18), lamunan saya terbawa pergi
jauh. Saya membayangkan bahwa lagu Natal di dusun yang kecil memang selalu
berkesan. Sebab dalamnya ada kesederhanaan tentang kenangan Natal yang mengikat
sampai kapan pun jua, seperti kenangan Natal di Stasi St. Stefanus Betumonga.
0 Comments