Cerita ini hanya fiktif belaka. Langkah ini merupakan bagian dari upaya menarasikan
keindahan kampung halaman yang selalu elok dipandang saat pagi dan senja.
Maaf, jika alurnya agak berantakan.
Lokasi persawahan Bea, Golo Mongkok (foto; Kesa Ardi Jelatu)
.
Waktu
bergulir laju pada hari itu, langit pagi terasa lebih menawan daripada biasanya. Sang mentari pancarkan pesonanya. Anak-anak desa senyam-senyum sembari melompat
kegirangan sambut sang mentari.
Anak
desa lahir dan besar di desa. Hari-hari yang dilalui biasanya bercumbu dengan
alam. Jangan heran waktu banyak dihabiskan untuk bertani. Tak ada pilihan lain
bagi anak desa selain bertani. Begitu juga dengan mimpi, serasa tak ada pilihan
untuk merumput pada mimpi yang lain. Hanya menjadi petani. Distribusi lapangan
kerja antara kota dengan desa yang tidak merata sebagai pemicu utamanya. Hal
ini dipengaruhi juga oleh distribusi kelas sosial yang tak berimbang hingga imbasnya memojokkan anak-anak desa.
Aku
yang baru menyeruput kopi bersiap menuju ke ladang. Sawah kami sebentar lagi
ditanam. Aku ditugaskan oleh Bapak untuk membajak sawah. Aku pun mengiyakan.
Lagian tak ada pilihan untuk lalui hari usai menamatkan pendidikan menengah
atas setelah memilih untuk tidak melanjutkan studi ke perguruan tinggi.
“Ayo,
sekarang kita pergi” pintaku pada ponakanku, Efrit.
Efrit
baru duduk di kelas 6 SD. Selama ia liburan akhir semester, ia sering menemani
aktivitas harian saya di kampung. Aku mengaguminya sebagai anak sulung yang
pemberani. Ia sering habiskan waktunya untuk bermain di hutan sekitar rumah.
Mentalnya berani. Ia tak pernah merepotkan kedua orang tuanya untuk membelikan
mainan. Ia punya cara tersendiri untuk habiskan waktu untuk bermain.
“Siap,
amang” jawabnya dengan antusias.
Kami
lalu meninggalkan rumah dan bergegas menuju ke sawah. Letak sawah kami di tepi
jalan menuju Sungai Wae Musur. Jalannya sudah di aspal. Pada beberapa bagian
permukaan aspalnya terkelupas. Buntut dari proyek urak-urakan yang hanya mengejar
profit semata. Rakyat sebagai empunya pemilik kekuasaan hanya bisa mengeluh
dengan keadaan dan sesekali bergantung dengan harapan saat pemilihan kepala
kampong kian dekat.
Jarak
rumah dengan persawahan tidak terlalu jauh. Efrit bercerita banyak hal. Ia menuturkan dengan apik mengenai keperkasaan yang ia dan teman-temannya miliki dalam memburu lawe lujang di hutan Golo Molas. Aku
hanya tertegun untuk mendengar ceritanya sembari sesekali mengangkat jempol.
“Efrit,
Lawe lujang itu burung endemik khas
Pulau Flores yang harus dilindungi” tuturku disela dia sedang berapi-api untuk
bercerita.
“Kita
bersyukur bahwa di hutan sekitar kita masih ada burung lawe lujang yang
tersisa” lanjutku.
“Ole,
apa arti endemik, amang?” tanya Efrit bingung.
“Endemik
itu artinya hewan atau tumbuhan yang hidup di suatu tempat saja dan tidak
terdapat di tempat lain.”
“Lawe
lujang hanya terdapat di tanah kita saja. Tidak ada lagi di tempat lain”
tuturku lebih jauh.
Efrit
hanya mengangguk. Entah, ia memahami atau merasa bersalah dengan perbuatannya
yang sekian lama mereka merasa bangga saat mendapatkan hewan buruan.
“Sekarang
saatnya kamu berubah. Jangan lagi habiskan waktu untuk memburu burung lawe lujang”
tuturku sembari menepuk pundaknya.
“Iya,
amang. Saya akan berusaha juga untuk membujuk teman-teman yang lain untuk tidak
memburu lawe lujang” jawabnya.
Kami
lalu melanjutkan perjalanan. Letak sawah kian dekat. Kami memilih untuk tetap
melangkah lamban.
Sedang asyik kami mengayunkan kaki, tiba-tiba
seorang bunga desa dari desa yang terletak di sebelah kali lewat. Saya pun hampir
salah tingkah. Berpapasan empat mata dengan gadis berparas ayu tentu akan
menciutkan nyali siapa saja. Entah, ia playboy cap tikus sekalipun.
Sembari
cengar-cengir terpaksa saya menyapa lebih dulu. Saya tidak mau pertemuan yang
jarang didapati itu berlalu begitu saja. Jujur saya cukup sungkan, sebab saat
mengenyam bangku pendidikan menengah atas, saya sempat memendam rasa dan
memilih untuk menjadi salah satu pengagum rahasia.
“Enu,
su libur ka?” sapaku singkat.
“Iya,
kaka.” jawabnya.
“Kapan
sampai di sini.”
“Saya
sampai kemarin di Labuan Bajo, kak” jawabnya.
“Saya
pulang demi satu keperluan yang amat penting.”
Tubuh
yang semampai dengan senyuman ayu yang meruntai indah menambah kecantikan dari
mahasiswa tingkat akhir pada salah satu perguruan tinggi swasta di Pulau Dewata
itu. Saya pun telah mengidolakannya sejak lama. Sayang hanya sebatas mengagumi.
Tidak lebih.
“Pulang
buat apa, Enu?” tanyaku dengan antusias.
“Saya
mau tunangan, Kak”
“Setelah
wisuda di bulan Desember nanti, kami akan melangkah ke jenjang perkawinan”
jawabnya dengan polos.
“Ole,
begitu lagi ka.” jawabku tanpa bertanya lebih jauh lagi.
Tidak
menunggu waktu lama, saya angkat kaki dan meninggalkan gadis tadi. Efrit pun
ikut-ikutan berjalan mengikutiku. Ia tidak paham apa yang sedang terjadi. Kami
memilih melanjutkan perjalanan menuju sawah untuk memulai rutinitas harian
sebagai anak petani. Apalagi sejak kemarin sore, dua ekor kerbau sudah diikat
di ladang dekat area persawahan. Dua ekor kerbau warisan kakek kami itulah yang
akan meringankan kerjaan kami dalam membajak sawah.
Aku
pun memulai aktivitas. Pertemuan dengan gadis di jalan tadi turut tenggelam
dalam lumpur yang membawa peluh. Efrit dengan setia menunggu di pondok sambil
memasak menu makan siang. Sesekali ia menunggu di tepi pematang sembari menyanyikan lagu kesukaannya, lagu Sebek.
*Lawe
lujang; burung khas yang hanya terdapat di Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
*Amang;
panggilan untuk paman bagi orang Manggarai.
*Enu;
panggilan santun untuk perempuan Manggarai.
0 Comments