Sukacita Natal di Stasi Betumonga


Gereja Stasi St. Stefanus Betumonga (foto; FB Komsospdg)

Langit cerah memayungi Pulau Sipora. Tampilannya begitu garang. Cuaca panas begitu terasa.  Umat Katolik Paroki St. Petrus Tuapejat tumpah-ruah keluar dari Gereja usai merayakan Natal. Tampak senyum sumringah hiasi wajah umat usai mengikuti perayaan hari raya Natal (25/12/2018) di Gereja Paroki St. Petrus. 

Usai menjalani perayaan Natal, kegiatan Natal tingkat Paroki St. Petrus dilanjutkan dengan ramah tamah dengan acara santap siang bersama. Nuansa persaudaraan sebagai sesama saudara seiman begitu kokoh terlihat.

Pada siang harinya, rombongan Paroki St Petrus Tuapejat bersama Pastor Samuel Antonius Situmorang, O. Carm akan bertolak ke Stasi Betumonga untuk merayakan Natal bersama umat yang ada di sana. Saya turut ikut di dalam rombongan tersebut. 

Badai yang Ganas 

Operator speedboat tiba di Pastoran Paroki St. Petrus Tuapejat. Kami pun mengangkut barang bawaan ke dalam mobil. Sesuai kesepakatan perjalanan akan star pkl. 14.30 WIB. 

Kami bergegas menuju ke dermaga Tuapejat dengan diantar oleh mobil Asrama SMP St. Petrus. Seluruh barang bawaan yang dibawa diturunkan dari mobil untuk kemudian dimasukkan ke speedboat. Anggota rombongan yang berjumlah 11 orang pun masuk dan duduk pada tempat yang ada di dalam speedboat.

Jarum jam terpaut di pkl. 14.35 WIB,  lebih lima menit dari waktu yang ditentukan. Perjalanan akan segera dimulai.

Tali pengikat kapal yang diikatkan di tiang dermaga dilepaskan. Operator menyalakan mesin. Kapal kami perlahan-lahan meninggalkan tepian. 

Laut begitu tenang. Kapal-kapal besar terlihat jelas sedang berlabuh ke tepian. Ada juga kapal nelayan yang sedang melaut.

Speedboat yang kami tumpangi dengan gagah membelah lautan luas. Operator sepertinya sudah berpengalaman. Mereka mengemudi kapal sembari menikmati rokok.

Cakrawala masih menancapkan lanskap. Pesona alam laut yang dengan angkuh menonjolkan warna biru tampil menawan. Pulau Awera juga tidak mau kalah. Terlihat dari jauh Pulau Awera menonjolkan pesona pasir putih yang menggoda.

Nahas, sedang asyik menikmati perjalanan, ternyata laut sedang tidak bersahabat. Badai besar menghampiri. Saya panik. Begitu juga dengan yang lain, apalagi perjalanan kami yang belum seberapa dilalui.

Kapal kami terombang-ambing ke kiri dan kanan. Saya yang awalnya dengan bangga duduk di depan kapal terpaksa masuk ke dalam untuk bergabung dengan anggota rombongan yang lain.

Di dalam juga tidak kalah risau. Semua pada gelisah. Beberapa kali Pastor Samuel terdengar menyebutkan kata Haleluya. Sedangkan Fr. Benny terlihat santai dan bercanda dengan tetap menyebut kata “foya-foya” yang  terdengar beberapa kali ia sebutkan.

Saking tingginya gelombang, air laut turut masuk ke bagian depan dari tempat duduk kami. Kami cukup kewalahan. Basah kuyup mengenai pakaian dari kami yang duduk di bagian depan. Semua anggota rombongan terlihat gelisah.

Sementara operator kapal masih terlihat santai. Operator kapal yang berjumlah 2 orang tetap terlihat asyik mengemudi kapal sembari menikmati rokok.

Menurut salah satu anggota rombongan, jika operator kapal asyik menikmati rokok maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Walah!

Badai tidak tampak untuk mengurungkan niatnya. Goncangan demi goncangan yang begitu kuat membuat 2 anggota rombongan mengaku kepalanya pusing. Tidak lama kemudian mereka terlihat mabuk laut.

Perjalanan yang seharusnya ditempuh dalam waktu satu jam menjadi molor hingga 2 jam 50 menit. Desa Betumonga pun tampak jauh. Beberapa kali saya menanyakan letak desa Betumonga. Sebetulnya saya sudah gelisah dengan gelombang laut yang garang.   

Beruntung usai melalui perjalanan yang mendebarkan dengan menyusuri badai yang cukup ganas, lalu rada-rada takut akibat gelombang laut yang tinggi, akhirnya perjalanan kami pun tiba dengan selamat tepat pkl. 17.25 WIB.
Rombongan tiba di Dermaga Betumonga (foto; FB Komsospdg)

Kapal perlahan menepi ke tepi pantai lalu susuri muara sungai hingga tiba di dermaga Betumonga. Jarak dari muara sungai ke Dermaga Betumonga kurang lebih 600 meter. Sepanjang sungai ada banyak tanaman khas muara yang tumbuh hijau. Pemandangannya begitu indah. Burung-burung beterbangan di tepian hiasi ekosistem muara yang mempesona.

Saat tiba di Dermaga Betumonga kami disambut oleh segerombolan anak kecil yang baik hati. Mereka tersenyum polos menyambut kami yang mungkin saja mereka tidak tahu apa maksud kedatangan kami.

Kapal kami menepi. Operator memberi kode untuk mengikatkan tali kapal di tiang dermaga yang telah disediakan. Kami pun turun dan mulai menurunkan barang bawaan dari speedboat.

Tidak menunggu waktu lama, salah satu pengurus Stasi Betumonga merapat ke dermaga. Ia pun menyambut kami dengan senyum sumringah. Ia lalu mengarahkan kami untuk bergegas ke rumah sekretaris stasi.

Ruang Temu yang Akrab

Rumah khas orang Mentawai  (foto; FB Komsospdg)

Keringat bercucuran basahi tubuh. Rasa gelisah akibat perjalanan yang menguras tenaga juga pikiran terbayar lunas. Senyum sumringah pemilik rumah dan pengurus stasi yang hadir melupakan beban yang merundung pikiran.

Tak lama kemudian tuan rumah menyuguhkan kopi. Perjalanan yang melelahkan sirna bersama ampas kopi yang malang. Kami terhanyut dalam obrolan demi obrolan sembari melepas lelah dengan secangkir kopi.

Anak-anak kecil turut antusias. Mereka mengikuti kami sejak dari dermaga hingga rumah yang kami singgahi.

Fr. Benny langsung menantang mereka untuk bernyanyi.  Awalnya mereka rada-rada malu untuk bernyanyi. Usai diberikan janji bahwa mereka akan mendapatkan hadiah, perlahan-lahan mereka memberanikan diri untuk bernyanyi. Kami pun hanyut dalam menyaksikan aksi mereka yang penuh semangat, lucu dan menggemaskan.

Hari kian meninggi. Kopi telah usai diseruput. Tuan rumah mengarahkan kami ke kamar mandi. Kami pun membersihkan badan secara bergilir. Untungnya persedian air cukup untuk kami membersihkan badan.

Sore menjelang malam, ditemani oleh salah satu pengurus stasi, Pak Frans kami diajak untuk mengelilingi desa Betumonga, Kecamatan Sipora Utara Kabupaten Kepulauan Mentawai dengan berjalan kaki. 

Sepanjang jalan, mata kami dimanjakan oleh apiknya rumah khas Suku Mentawai yang begitu anggun. Bentuknya sederhana tapi tetap terlihat megah dari luar. 

Perkampungan Desa Betumonga  (foto; FB Komsospdg)

Dalam perjalanan berbagai hal ia ceritakan. Ia menjelaskan bahwa perkembangan Gereja Katolik di Betumonga cukup masif. Jumlah umat sudah meningkat. Gereja kita juga hampir rampung dibangun.

“Kami bangga dapat membangun Gereja kami dengan gotong-royong. Meski sedikit demi sedikit tetapi hasilnya sudah cukup memuaskan”, tutur pendidik Agama Katolik asal Pulau Kalimantan tersebut.

Tujuan kami selain untuk mengelilingi desa Betumonga, kami juga menyambangi Gereja Stasi St. Stefanus Betumonga. Gereja yang berukuran 20 x 14 meter itu berdiri kokoh. Bangunannya sudah hampir rampung. Hanya terdapat bagian depan yang belum usai dikerjakan.

Di depan Gereja, gapura khas Mentawai berdiri. Pemandangan dalam Gereja juga tak mau kalah, tampak kandang Natal yang cukup besar berdiri di pojok dekat altar. Dekorasi kandang Natal cukup menarik dengan atapnya dibuat dari daun pisang yang sudah kering. Patung kanak-kanak Yesus diatur rapi. Lampu Natal menambah indahnya kandang Natal.

Jarum jam menjauh. Berdasarkan kesepakatan dengan umat bahwa pkl. 19.00 WIB perayaan Natal baru dimulai.  Kami pun kembali ke tempat penginapan untuk mempersiapkan diri mengikuti perayaan Natal.

Membaharui Diri

Bintang malam mulai tampak. Di puncak langit bulan mulai menunjukan batang hidungnya. Pada malam Natal yang kudus, ia menampilkan keagungan yang begitu indah.

Umat Stasi Betumonga sesaki jalan setapak di desa yang terletak di pantai barat Pulau Sipora itu. Mereka sedang berjalan menuju ke Gereja. Kami juga bergabung bersama mereka menuju ke Gereja.

Tiba di Gereja, umat sudah banyak. Gereja sudah disesaki oleh umat. Kami lalu memilih tempat duduk di depan. Panitia Natal sedang mempersiapkan segala sesuatu sebelum misa dimulai.

Lebih kurang pkl. 19.25 WIB, perayaan Natal dimulai. Lagu Natal berbahasa Mentawai pun didendangkan. Umat mengikuti ibadah dengan khusyuk. Anak-anak kecil juga tidak ketinggalan. Begitu juga dengan Orang Muda Katolik tampak mengikuti ibadah dengan serius.

Pastor Samuel sedang berfoto dengan anak-anak  (foto; FB Komsospdg)

Dalam kotbahnya, Pastor Samuel menandaskan bahwa Natal merupakan moment refleksi untuk memperbaiki diri agar dapat berjalan menuju hidup yang lebih baik lagi.

“Natal merupakan momentum untuk membaharui diri. Dengan sukacita Natal kita dapat membawa kehidupan kita lebih baik lagi.” katanya.

“Kita berhak untuk memperbaiki kehidupan kita, baik di dalam keluarga, masyarakat juga Gereja” lanjutnya dengan lantang.

Perayaan berakhir pkl. 22.10 WIB. Panitia stasi langsung mengarahkan kegiatan yang dilanjutkan dengan ramah tamah.  Anak-anak SD menghibur kami di acara pembuka. Mereka bernyanyi dengan senyuman yang tak absen dari bibir mereka.

Tak mau ketinggalan, Orang Muda Katolik juga menyumbangkan lagu. Mereka membawakan lagu dengan riang. Tepuk tangan menggema usai mereka bernyanyi.

Rombongan dari Paroki St. Petrus Tuapejat melanjutkan kegiatan pamungkas dengan membagikan pakaian layak pakai kepada umat. Hampir seluruh umat mendapatkan bingkisan Natal. Senyum bahagia tampak jelas dari wajah umat yang mendapatkan kado Natal.

Opri sedang menyerahkan bingkisan Natal  (foto; FB Komsospdg)

Acara masih dilanjutkan. Ruang temu bersama berlangsung meriah. Lagu demi lagu dibawakan. Umat Betumonga berebutan untuk membawakan lagu. 

Lantunan indah suara dari umat Stasi Betumonga membawa malam kami makin larut. Usai acara inti dilaksanakan, kegiatan ramah tamah dilanjutkan dengan bergoyang bersama. Lagi-lagi semuanya berlangsung meriah. Tua dan muda ikut bergoyang, bahkan tidak ketinggalan anak-anak juga bergoyang.

Malam semakin larut. Bintang-bintang perlahan-lahan pamit satu demi satu. Kami memilih untuk kembali lebih dulu ke tempat penginapan. Badan yang terasa capai memaksakan kami untuk istirihat lebih dulu. Apalagi esoknya kami harus kembali ke Tuapejat. Usai  kami berpamitan dengan umat, kami langsung bergegas ke tempat penginapan. Sementara sebagian besar umat memilih untuk melanjutkan acara di Gereja.

Esoknya pada (26/12/2018), kami kembali ke Tuapejat dengan gelombang yang bersahabat. Hanya membutuhkan waktu 1 jam 33 menit untuk sampai di Tuapejat. Hal ini tentu berbeda jauh dengan perjalanan saat kami pergi.

Natal memang memaksakan kita untuk lahir bersama Kristus. Kita dianjurkan untuk selalu membaharui diri agar menjadi pribadi yang lebih baik.

Akhirnya, pengalaman Natal di desa Betumonga dengan umat yang baik hati akan selalu dikenang. Sampai nanti, sampai kita kembali.

Selamat Natal buat kita semua.
Tuapejat, pkl. 01.10 WIB.



Post a Comment

0 Comments