Tempat Hati Untuk Berpulang

Persawahan di Jalan Golo Mongkok menuju Wae Musur. 
Dulu di sini, rumah bermain kami untuk menjerat burung puyuh dan mencari jambu hutan. Sekarang telah menjadi persawahan warga.

Bukanlah hal yang mudah untuk menjadi seorang pemenang. Hidup tak semudah drama percintaan yang endingnya berakhir haru.  Prosesnya teramat panjang. Itu juga membutuhkan sedikit pengorbanan yang tak kecil untuk meraihnya.

Terkadang proses mendewasakan diri perlu dilakukan secara repetisi. Perlu dilakukan berulang-ulang hingga mencakup dua titik utama. Jatuh cinta lalu patah hati, menikmati jerih payah lalu menyesali segala yang telah didapati, hingga menjunjung perkataan bahwa cinta kita abadi lalu disusul dengan menyesali usai dia pergi tanpa permisi. Intinya, jangan pernah bosan untuk mencoba berulang-ulang kali.

Salah satu sudut yang paling menyebalkan dalam hidup adalah melawan kenangan masa lalu. Entah, sadar atau tidak sadar, usaha yang paling sukar dalam kehidupan seseorang yakni menaklukannya agar menjadi seorang pemenang.

Proses yang kita arungi hari demi hari hanya mencakup dua titik. Titik-titik itu pula yang mendewasakan seseorang bukan mendewakan, apalagi menyombongkan diri.

Pengalaman dipuji, di-bully hingga dicaci maki, adalah proses yang akan terus-terusan membentuk kita, bahkan secara tidak langsung turut membesarkan kita.

Dalam dimensi kehidupan, setiap proses akan ada titik yang klimaksnya kita akan merasakan kelelahan. Biasnya membawa kita untuk memilih istirahat sejenak, menepi pada ruang sunyi. Sebagian orang mungkin akan memilih untuk menikmati secangkir kopi.

Lelah memaksakan kita  untuk berdiam diri di tempat. Ada etape untuk jedah agar sebisa mungkin menoleh ke belakang. Melihat apa dan bagaimana yang sudah digapai, apa dan bagaimana yang telah ditoreh, sembari melakukan evaluasi sebelum melangkah menuju tangga yang lebih tinggi lagi.

Lelah juga dapat dilakukan dengan mengenang kembali cinta sang ibu, tempat ternyaman yang memiliki roh untuk memanggil pulang. Apalagi di hari ini, Hari Ibu.

Dilansir dari Tirto.id, ihwal perayaan Hari Ibu setiap 22 Desember berawal dari Kongres Perempuan Indonesia Pertama  pada (22-25 Desember 1928) yang berlokasi di Pendopo Dalem Jayadipuran. Saat ini dijadikan sebagai kantor Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional di Jalan.

Tanggal dimulainya Kongres yakni 22 Desember, ditetapkan sebagai Hari Ibu berdasarkan Dekrit Presiden RI No. 316 tahun 1959. Sejak saat itu, 22 Desember di Indonesia dijadikan sebagai Hari Ibu.

Rata-rata catatan yang terpampang pada media social dengan doa yang sama; menghaturkan limpah terima kasih pada sosok ibu. Tentang ibu, derap langkahnya begitu kokoh, juga memiliki kasih sayang yang tak akan roboh. Ia memiliki belaian yang tak pernah pudar, sinar kasihnya tak akan samar.

Hatinya ibarat rumah yang nyaman untuk pulang. Tempat paling indah untuk menceritakan aral melintang. Ia pandai menuntun kita menuju tangga yang lebih baik, tanpa menuntut kita membalas apa yang telah ia tuntun.  

Bahkan hingga hari ia merayakan kebahagiannya, ia hanya diam membeku tanpa satu kata pun keluar dari mulutnya. Ia hanya menunggu buah hati yang menanyakan kabarnya setiap hari.

Pikirannya masih saja terus berjalan ke sana kemari. Ia belum dapat menafsirkan dengan sempurna kalimat pujian yang terpampang pada lini media social, apalagi untuk mencerap setiap kata, mencerna setiap makna.

Dengan modal cinta yang tulus, ia hanya mampu berdoa dalam diam, berdoa dengan khusyuk. Setiap doa yang ia daraskan, ada nama buah hati yang ia selipkan dengan apik.

“Tuntunlah mereka hingga mereka dapat melangkah menuju tangga yang lebih baik setiap harinya.”

Demikian ia yang selalu punya cara sederhana untuk memanjatkan harapan. 

Setahu saya, setiap ibu merupakan ibu juara satu yang ada di dalam hidup anak-anaknya. Sedangkan ibu juara dua merupakan ibu dari anak-anak kita pada suatu masa nanti. Entahlah, siapa Ibu juara kedua yang dimaksud?

Post a Comment

0 Comments