Kopi bukan untuk disesali tapi untuk dinikmati (foto:dok. pribadi)
Rembulan malam turun
menembusi dedaunan pepohonan di tepi jalan. Samar-samar sinarnya terangi malam
di kampung kami. Bunyi jangkrik melengking. Kelelawar dengan bangga terbang ke
sana kemari sembari mengerumuni pohon kapuk yang sedang berbunga.
Aku baru pertama kali
bertandang ke rumah dari gadis desa di dusun tetangga. Kami mulai dekat selama dua
bulan terakhir. Rasa gamang lebih dominan muncul di dalam pikiran. Benar kata Fiersa
Besari, musikus, penulis sekaligus petualang, ia pernah mengatakan bahwa sejatinya
ketakutan terbesar muncul di dalam pikiran kita sendiri. Aku beberapa
kali mengalaminya.
Aku melangkah dengan
ragu masuk ke dalam rumah gadis itu. Ia duduk dengan sungkan di ruang tamu.
Padahal aku yang seharusnya sungkan untuk bertamu ke rumah tersebut. Aku yang
awalnya bangga bisa bertamu dan bertemu ujung-ujungnya rasa percaya diri
ikut-ikutan redup.
"Kak, boleh saya
seduhkan kopi" ujarnya disela kami diam tanpa satu kata pun.
"Silakan, dek.”
“Tapi, jangan pakai
gula, dek! "pintaku.
" Lho, kenapa
tidak pakai gula, kak? "
" Ah, nanti
kopinya kemanisan, dek. Senyummu yang manis sudah cukup untuk temaniku dalam
meneguk kopi."
" Ah, ada-ada
saja, kak," jawabnya sambil tersenyum manis.
Ia pun ke dapur
menyeduh secangkir kopi. Aku yang awalnya pangling perlahan-lahan mulai
mengendalikan keadaan.
Pertemuan kami
sebelumnya terjadi usai mengikuti perayaan hari raya Natal di gereja tua di
paroki kami. Ia terlihat mentereng, lain daripada yang lain.
Tubuh yang lampai dipadu dengan kemolekan senyum yang indah bak peragawati. Matanya lentik seperti permata biru. Alisnya serasi. Bibirnya merah dan terlihat lebih segar. Pipinya ranum. Hidungnya mancung. Kulitnya putih seperti polesan pualam. Senyum kami berduel mesra dalam indahnya pandangan pertama.
Aku memberanikan diri
untuk mengenal lebih jauh setelah perayaan malam Natal usai. Ingar-bingar
bintang di malam Natal tonjolkan kemuliaan. Sementara umat yang lain sedang
bersalaman satu dengan yang lainnya.
Kami larut dalam
obrolan demi obrolan. Aku pun meminta nomor teleponnya. Pertemuan malam itu
tidak sia-sia. Komunikasi yang intens dimulai sejak itu. Belakangan aku baru
tahu bahwa namanya Asri. Nama itu diberikan oleh kakeknya.
"Kak, ini sudah
kopinya.”
Aku terperanjat.
Lamunanku seketika sirna. Ingatan tentang pertemuan itu lesap. Aku pun
menyeruput kopi yang ia sediakan.
"Kopinya nikmat,
dek.” komentarku lirih.
“Itu kopi terakhir
dari ladang kami.” keluh Asri.
Sekarang kami sedang
memanen kopi yang tidak seberapa hasilnya. Lahan kopi yang tersisa lumayan
membantu kondisi ekonomi keluarga. Setiap kopi mulai berbunga maka hati kami
turut berbunga-bunga. Ekonomi keluarga sedikit terbantu dengan hasil kopi
setiap musimnya. Apalagi di sini praktik ijon masih berlaku ketika sedang
memasuki masa paceklik. Kopi mengajarkan kami untuk merayakan
indahnya harapan yang lahir dari hal-hal sederhana.
Karena hasil kopi yang
kurang pada lima tahun lalu turut mendorong ayah untuk merantau ke negeri
Jiran. Musim dureng ketika tanaman kopi sedang berbunga menjadi pemicu utama
kopi gagal berbuah. Ekonomi keluarga kalang kabut. Ayah sebagai nahkoda
keluarga kalap. Ia tidak ada pilihan selain merangkak menuju harapan yang lain.
Untungnya, ada
tetangga dari desa sebelah yang menceritakan tentang sepak terjang om Stanis.
Om Stanis dikenal sebagai calo tenaga kerja. Berkat tangannya banyak orang desa
merantau ke Kalimantan bahkan sampai ke negeri Jiran, Malaysia.
“Gaji setiap bulannya
di atas Rp. 4 juta.”
“Tidak sebanding
dengan hasil kerja kita di sini”
“Untuk uang perjalanan
ditanggung langsung oleh perusahaan” ujar om Stanis sembari menyalakan rokok
kesukaannya.
Ayah terkesima
mendengar penjelasan om Stanis. Minimnya pengetahuan dan keterampilan untuk
survive di kampung halaman melabrak nalar sehat dari calon tenaga kerja ilegal.
Rayuan maut dengan iming-iming gaji tinggi ditambah dengan gaya berpakaian om
Stanis yang glamor berhasil membius ayah.
“Tidak ada yang perlu
dirisaukan. Semuanya pasti aman terkendali” lanjut om Stanis.
“Wah, benar-benar
menjanjikan. Aku siap untuk berangkat ke sana” jawab ayah.
Usai ayah bertemu
dengan om Stanis, dua minggu kemudian Ayah berangkat menuju negeri Jiran
bersama dengan 4 warga desa lainnya. Aku tidak tahu apakah ayah berangkat
dengan prosedur yang legal atau illegal. Aku benar-benar tidak mengerti sama
sekali mengenai tetek-bengek administrasi ketenagakerjaan.
Dari cerita yang
beredar di kampung-kampung bahwa rata-rata tenaga kerja yang direkrut om Stanis
lesap tanpa berita yang pasti. Bahkan, sebagiannya ada yang pergi membawa mimpi
pulang membawa peti. Entahlah!
Mereka pergi dengan
iming-iming gaji tinggi, akan tetapi setelah tiba di tempat tujuan tidak ada
lagi saling bertanya dan berbagi kabar dengan keluarga yang ada di kampung.
Ayahku juga demikian. Ia tidak pernah membagi kabar untuk kami. Padahal ia
sudah 5 tahun merantau di negeri Jiran.
“Aku turut
simpati dengan kondisi ayahmu” tuturku sembari menyeruput sisa terakhir kopiku.
Pertemuan yang awalnya
digadang-gadang sebagai ruang temu yang romantis justru jauh panggang dari api.
Niat untuk labui malam Minggu tidak berjalan mulus.
“Sekarang kami selalu
berharap agar Ayah pulang meski tidak membawa apa-apa”
“Malam-malam kami
berdoa agar ayah lekas pulang.”
“Kami sudah terlalu
rindu.”
Kopi tersisa ampasnya.
Suguhan kopi tanpa gula semakin pahit dengan alur cerita pilu dari Asri. Gadis
manis berparas ayu itu matanya mulai sayu. Aku tahu bahwa ia memikul beban
berat di pundaknya.
Aku tidak mau
mengungkit lebih jauh. Apalagi sudah beberapa kali saya membaca informasi pada
media cetak lokal tentang nasib tenaga kerja ilegal yang ditangkap karena
ketiadaan dokumen yang lengkap. Sebagiannya ada yang meninggal dengan keadaan
mayat yang tak lagi utuh.
Aku memilih pamit saat
rembulan merangkak lebih jauh lagi. Bintang-bintang malam belum jua pamit.
Sinarnya masih hiasi langit malam. Senyuman Asri tampak kaku. Aku pulang ke
rumah dengan sejuta pertanyaan yang menggantung.
Seminggu kemudian aku
membaca berita di media lokal tentang penangkapan jaringan perdagangan manusia.
Wajah Om Stanis terpampang pada berita utama di halaman depan. Namanya
disebut-sebut sebagai salah satu kaki tangan dari jaringan perdagangan manusia.
Ia ditangkap di bandara ketika hendak memberangkatkan 5 orang calon tenaga
kerja ilegal. Jaringannya berhasil dibongkar usai salah satu keluarga dari
calon tenaga kerja ilegal membuka mafia perdagangan manusia yang digawangi om
Stanis dengan kelompoknya dan melapor pada pihak yang berwajib.
Nasib Om Stanis
diujung tanduk. Ia dituduh terlibat aktif dalam jaringan perdagangan manusia.
Putusan pengadilan tinggal menunggu penyelidikan lebih jauh dari aparat
keamanan. Hotel perdeo siap menjadi rumah om Stanis.
Sementara Asri masih
hanyut dalam harapan agar ayahnya lekas pulang. Ia menanti setiap waktu. Ia
tidak lagi mengharapkan apa yang dibawa oleh ayahnya kelak. Ia sudah terlalu
rindu untuk menyeduhkan kopi bagi ayahnya, setidaknya kopi yang terakhir dari
ladang kebanggan mereka.
0 Comments