Narasi di Balik Ruang Belajar

“Valentine tidak selamanya dengan kekasih. Memaknainya bersama dengan anak-anak yang paling baik sejagat raya bisa jadi pilihan yang tak akan terlupakan. Saya mengalaminya. Selamat menyeruput narasi sederhana ini.”

Ruang belajar kami (foto;dok. pribadi)

Hari valentine sudah lewat tiga hari yang lalu. Tidak ada catatan yang romantis tentang valentine, apalagi menulis tentang kamu yang hilang-muncul tanpa satu kepastian yang jelas. Sajak-sajak sendu tiada muncul dalam ruang rindu. Ritual tukar kado tidak ada sama sekali. Sungguh tidak pernah mengharapkan hal yang demikian terjadi. 

Saya juga tidak ingin tercebur dalam diskursus soal valentine, antara dirayakan atau diharamkan. Valentine tidak lebih dari instrumentalisasi kapitalis dalam mereproduksi sebanyak mungkin barang yang mereka ciptakan agar dibeli oleh konsumen. Jangan heran saat mendekati hari kasih sayang ada ragam paket diskon yang ditawarkan di berbagai pusat perbelanjaan. Semua disulap demi tema besar yang bernama valentine.   

Valentine memang berhasil membius semua orang untuk merayakannya. Ada berbagai hal menarik yang dirayakan oleh orang di belahan bumi. Tukar kado berupa coklat merupakan salah satu ritual yang identik dengan valentine. Sebagian golongan tertentu setiap valentine justru sibuk untuk mengkampanyekan tolak perayaan hari valentine. Sah-sah saja. Tidak ada yang melarang kita untuk berpendapat. Negeri ini memberi kebebasan pada setiap warga negaranya untuk berargumentasi. UUD 1945 sebagai jaminannya.

Pada saat hari valentine kali ini, anak-anak murid saya turut antusias untuk memaknainya. Entah mereka mengetahui seluk-beluk valentine dari mana, yang pasti mereka menuntut beberapa hal saat valentine kemarin. Kemungkinan besar mereka mengetahuinya dari informasi yang beterbangan di media sosial.

“Hari ini merupakan hari valentine. Pak Guru tidak boleh marah-marah dengan kami sepanjang hari ini” komentar Retha di awal pembelajaran.

“Nanti Pak Guru akan traktir kita di kantin” sambung Riuriu.

Saya mencoba mengalihkan topik pembicaraan, sebab mereka pasti akan fokus untuk membicarakan valentine jika tidak segera dialihkan sesegera mungkin.

Saya mencoba membangun narasi tandingan.  Narasi itu bersumber dari media sosial yang disebarkan oleh jomblowan/jomblowati di luar sana yang risih dengan perayaan valentine.

“Hari ini merupakan hari kamis, bukan hari valentine”.

 “Tapi, ini hari valentine, Pak” tutur Olin.

Rupanya jawaban saya berhasil membuat seisi kelas tidak setuju. Ihwal saling membantah argumentasi, saya kemudian menyuruh Roi yang duduk dibagian belakang untuk melihat kalender.

“Iya, Pak. Hari ini hari kamis” jawab Roi.

Akan tetapi, siasat itu sia-sia saja. Mereka masih getol untuk menandaskan bahwa hari itu merupakan hari valentine. Bertubi-tubi pertanyaan dan pernyataan pun kembali menghujani.

“Nanti Pak Guru tukar kado dengan siapa?” tanya Eki lebih lanjut.

Saya lalu senyam-senyum sendiri. Hari valentine memang telah lama perayaannya diisi dengan tukar kado bersama dengan pasangan kita masing-masing. Siapapun tidak bisa membantahnya.    

“Valentine tidak selamanya bersama kekasih. Membimbing kalian dengan sepenuh hati adalah bagian dari pemaknaan valentine bagi seorang guru” jawab saya.

“Cieeeeee, jomblo” sambung Hadiran diikuti dengan anak-anak yang lain ikut-ikutan senyam-senyum.

Saya jadi ikut-ikutan tertawa. Anak-anak kadang membangun narasi yang bikin mengkerutkan dahi, namun ada waktunya mereka menciptakan narasi yang membuat kita ikut-ikutan tertawa. Bahagia memang lahir dari kesederhanaan, muncul dari kepolosan serta timbul dari hati yang paling tulus. Orang yang bersih hatinya adalah orang-orang yang mampu merayakan kebahagiaan dengan sempurna.

Keesokan harinya, saya mendapatkan kado dari salah satu anak murid saya. Namanya Carein Rasetha Pasaribu. Ia memberikannya saat kami baru mulai belajar.

“Saya tunggu kado dari Pak Guru ya?” tuturnya usai ia menyimpan kadonya di atas meja saya.

“Iya, Nak” jawab saya. 

Ia pun girang tak karuan. Pada saat istirahat sekolah baru saya memperhatikannya. Ternyata di dalamnya ada sebatang coklat. Saya lalu kembali senyam-senyum sendiri di kamar.

Di bungkusannya terpampang seuntaian kalimat ucapan selamat valentine. "Happy valentine my best teacher.” tulisnya. 

Kado dari anak murid.

Saya terenyuh membacanya. Rasanya saya belum pantas disebut sebagai guru terbaik. Jalan masih panjang. Aral melintang masih melilit. Mungkin saya masih terus berproses menuju titik yang demikian. Tapi, masih sedang dalam perjalanan. Belum sampai di titik itu.  

Valentine memang sejatinya untuk dimaknai, bukan untuk dirayakan apalagi diharamkan. Semangat saling mengasihi satu sama lain tanpa melihat perbedaan adalah sisi lain yang bisa dimaknai dari valentine. Saya yang sebagai guru misalnya harus mengabdi dengan setulus hati. Demikian halnya kita semua. Melayani dengan sungguh pada tempat kita berkarya.

Hingga catatan ini diposting, saya belum berhasil membalas kado dari anak murid saya. Sepertinya untuk sepekan ke depan belum berhasil saya membalasnya. Entah sampai kapan?


Post a Comment

0 Comments