Tak Sebatas Persaingan Golo Le dan Golo Lau

Jika hidup ini diibaratkan 100 halaman buku, maka halaman satunya adalah rumah. Tempat pertama dan ternyaman sejagad raya. 
Sedangkan halaman kedua hingga seratus, pergilah dari rumah, ikuti proses-proses di tangga selanjutnya. Kelak, engkau akan temukan indahnya sebuah perjalanan.

Setiap sudutnya meyimpan cinta yang tak usai (foto; FB Erland Jumpard)

Minggu siang, bumi Sikerei kelewat sepi. Sepekan terakhir pikiran saya kalang kabut. Tidak fokus. Entah penyebabnya menyulut dari mana. Bisa jadi buntut dari beban pekerjaan yang terkadang bikin pusing tujuh keliling. Apalagi ada-ada saja tuntutan yang adakalanya kelampau sensasional. 

Aktivitas menulis semakin susah untuk digarap lebih serius. Padahal dari sekian resolusi di tahun 2019 yang terpampang di dinding kamar, satu di antaranya menyelesaikan satu artikel dalam 2 hari. Resolusi lainnya di mana selama seminggu dapat membaca satu novel secara tuntas. Ternyata, resolusi yang direncanakan jauh panggang dari api.  

Saya selalu kagum dengan Dee Lestari yang selalu mengalir dalam urusan menulis. Ia telah menjadikan kata sebagai napas kehidupan. Supernova yang ia tulis berhasil membius siapa saja yang telah melahap isinya. Mereka abadi dalam tulisan. Seperti sabda Pramodeya Ananta Toer, menulis itu kerja untuk keabadian. Orang yang menulis merupakan orang-orang yang pada akhirnya akan melampaui zamannya.

Menuju ke titik demikian, jalannya cuma satu. Teruslah melatih diri. Saya termasuk yang tak pupus untuk urusan yang satu ini. Ragam tema diangkat dengan sudut pandang yang urak-urakan. Intinya, teruslah berproses. Teruslah melangkah.

Hidup ini tidak lebih dari untaian proses panjang. Kita tidak pernah tahu muara dari kehidupan kita akan berujung di mana dan bagaimana. Kita hanya diarahkan untuk terus berjalan pada jalur yang sudah digeluti.

Sejak kecil jalan panjang kehidupan setiap manusia telah digarap dengan berbagai bentuk garis kehidupannya masing-masing. Jalan panjang demikian dibentuk sejak bergumul dalam ruang lingkup sosial pada natas bate labar (tempat bermain, red) dalam kehidupan orang Mangggarai, misalnya. Ruang lingkup orang Manggarai terbentuk pada natas batas labar sebagai ruang interaksi pembentukan diri.

Suatu sore, di mana hari-hari saya terbiasa dengan kesepian yang hanya ditemani oleh kopi dan novel Inteligensi Embun Pagi dari Dee Lestari yang sedang saya cumbui, saya terkesima dengan obrolan dalam grup WA Natas Labar Golo Mongkok. Grup WA yang dibuat khusus untuk diaspora Golo Mongkok itu sejatinya sebagai medium untuk merawat ingatan tentang kampung halaman. Di dalamnya topik pembicaraan tentang pulang dan kenangan masa kecil lainnya diperbincangkan.

Pemantik kenangan dipicu oleh ulah Fredi Lado. Ia teman masa kecil saya yang paling baik. Ia memposting salah satu gambar yang erat kaitannya dengan keseruan masa kecil tempo dulu. Seperti yang sering kita saksikan bahwa  pada media sosial kita tersebar luas gambar-gambar layaknya 15 tahun lalu. Hal yang mungkin jarang dijumpai oleh anak-anak zaman sekarang.
Kapela Stasi St. Yosef Golo Mongkok (foto; Fr. Veri Yanto)
Ada ragam keseruan yang kami alami saat di Golo Mongkok dulu. Satu di antaranya pertarungan sepak bola di lapangan SDK Golo Mongkok antara Golo Le dengan Golo Lau.  Frasa Golo Le dikhususkan untuk anak-anak yang rumahnya terletak di sebelah atas pertigaan menuju Wae Musur, sedangkan frasa Golo Lau untuk anak-anak yang  letak rumahnya di sekitar SDK Golo Mongkok hingga sekitar Kapela Stasi Golo Mongkok.

Dua tim ini selalu ingin menang sendiri. Penggawa Golo Le selalu merasa yang paling jago. Sementara tim Golo Lau juga tak ketinggalan. Sama-sama unjuk gigi. Hal ini tentu memantik keseruan sore kami. Pertandingan usai saat satu dari anggota tim dipanggil oleh mama dari pinggir lapangan, apalagi jika mama-mama timur datang ke lapangan sembari membawa sebilah bambu. Pertandingan pun akan bubar seketika.

Ada beberapa nama yang diandalkan dari tim Golo Le: Fredi Lado, Ramli, Pance Godho, Yani Minggu, Imbran, Mat Judi, Irwan Susanto, Riki, Selimin, Toni Tawa, dll. Untuk tim Golo Lau antara lain: Don Darus, Veri Yanto, Ardi Jelatu, Yanho, Yogis Mithe, Yadin, Hila Jumpar, dll. Dari dua tim ini,  masih ada beberapa nama yang saya rada-rada lupa. Maklum, ingatan saya sekarang sudah terlampau  usang.

Lapangan SDK Golo Mongkok bak saksi bisu pergumulan kami. Di sini narasi senja kami bergulir. Cerita-cerita perjalanan di hutan untuk memburu lawe lujang dan buah-buahan diceritakan sesaat sebelum pertandingan bola dimulai. Akan ada tepuk tangan di ujung pertemuan jika ada yang menceritakan kesuksesannya dalam memburu hewan liar di hutan.

Saat itu usia  kami berkisar antara 10 hingga 15 tahun. Sekarang kami sudah dewasa. Terlampau tua malah. Sebagian dari nama-nama yang masuk dalam tim Golo Le dan Golo Lau di atas sudah ada yang berkeluarga. Hanya saya, Fredi Lado, Ardi Jelatu, Veri Yanto, Yogis Mite, Toni Tawa, Riki, Ramli, Mat Judi yang belum membangun rumah tangga. Sedangkan yang sudah membangun rumah tangga antara lain: Hila Jumpar, Irwan Susanto, Yani Minggu, Yanho, Don Darus, Yadin, Selimin dan Imran. Yang belum menikah entah sampai kapan hidup menyendiri. Sebagian besar penggawa tim Golo Le dan Golo Lau tidak ada yang bertahan di kampung halaman. Semuanya pada merantau.

Kini riwayat tim Golo Le dan Golo Lau tinggal kenangan. Narasinya telah pupus termakan waktu. Setiap saya kembali ke Golo Mongkok ketika di Ruteng dulu, saya selalu sempatkan waktu untuk menceritakan tentang keseruan masa kecil kami pada keponakan yang sering datang ke rumah; tentang Golo Le dan Golo Lau yang dengan egonya masing-masing beradu di lapangan hijau. Saya juga tidak tahu, apakah anak-anak sekarang di Golo Mongkok masih memakai frasa Golo Le dan Golo Lau untuk saling berunjuk gigi di lapangan SDK Golo Mongkok?

Hidup memang sebagai proses panjang tanpa henti.  Tidak hanya sebatas kompetitor dengan egonya masing-masing, lebih dari itu ada solidaritas yang tentunya mengakar dalam ruang bersama di tengah masyarakat kita. Saya dan Anda akan terus terlibat dalam ruang proses tersebut. Bahkan, persaingannya sungguh teramat ketat, tak semudah persaingan tim Golo Le dan Golo Lau.

Akhirnya, adik-adik saya yang ada di Golo Mongkok,  saya mau katakan bahwa kian hari hidup ini kian berat. Berjuanglah!   

*Golo = dapat diartikan sebagai kampung
*Lau= untuk menunjukan arah utara
*Le= untuk menunjukan arah selatan
Penggunaan bahasa Le dan Lau tergantung kondisi wilayah. Jika wilayah terkait mencakup dataran yang lapang maka ini bisa dipakai. Jika wilayah berbukitan biasanya menggunakan eta dan sili.

Post a Comment

0 Comments