Jika hidup ini diibaratkan 100 halaman buku, maka halaman satunya adalah rumah. Tempat pertama dan ternyaman sejagad raya.
Sedangkan halaman kedua hingga seratus, pergilah dari rumah, ikuti proses-proses di tangga selanjutnya. Kelak, engkau akan temukan indahnya sebuah perjalanan.
Sedangkan halaman kedua hingga seratus, pergilah dari rumah, ikuti proses-proses di tangga selanjutnya. Kelak, engkau akan temukan indahnya sebuah perjalanan.
Minggu
siang, bumi Sikerei kelewat sepi. Sepekan terakhir pikiran saya kalang kabut.
Tidak fokus. Entah penyebabnya menyulut dari mana. Bisa jadi buntut dari beban pekerjaan yang terkadang bikin pusing tujuh keliling. Apalagi ada-ada saja tuntutan yang
adakalanya kelampau sensasional.
Aktivitas
menulis semakin susah untuk digarap lebih serius. Padahal dari sekian resolusi
di tahun 2019 yang terpampang di dinding kamar, satu di antaranya
menyelesaikan satu artikel dalam 2 hari. Resolusi lainnya di mana selama
seminggu dapat membaca satu novel secara tuntas. Ternyata, resolusi yang
direncanakan jauh panggang dari api.
Saya
selalu kagum dengan Dee Lestari yang selalu mengalir dalam urusan menulis. Ia telah
menjadikan kata sebagai napas kehidupan. Supernova yang ia tulis berhasil
membius siapa saja yang telah melahap isinya. Mereka abadi dalam tulisan. Seperti
sabda Pramodeya Ananta Toer, menulis itu kerja untuk keabadian. Orang yang
menulis merupakan orang-orang yang pada akhirnya akan melampaui zamannya.
Menuju
ke titik demikian, jalannya cuma satu. Teruslah melatih diri. Saya termasuk
yang tak pupus untuk urusan yang satu ini. Ragam tema diangkat dengan sudut
pandang yang urak-urakan. Intinya, teruslah berproses. Teruslah melangkah.
Hidup
ini tidak lebih dari untaian proses panjang. Kita tidak pernah tahu muara dari
kehidupan kita akan berujung di mana dan bagaimana. Kita hanya diarahkan untuk
terus berjalan pada jalur yang sudah digeluti.
Sejak kecil jalan panjang kehidupan setiap
manusia telah digarap dengan berbagai bentuk garis kehidupannya masing-masing.
Jalan panjang demikian dibentuk sejak bergumul dalam ruang lingkup sosial pada natas bate labar (tempat bermain, red)
dalam kehidupan orang Mangggarai, misalnya. Ruang lingkup orang Manggarai terbentuk pada natas batas labar sebagai ruang interaksi pembentukan diri.
Suatu
sore, di mana hari-hari saya terbiasa dengan kesepian yang hanya ditemani oleh
kopi dan novel Inteligensi Embun Pagi dari Dee Lestari yang sedang saya cumbui,
saya terkesima dengan obrolan dalam grup WA Natas
Labar Golo Mongkok. Grup WA yang
dibuat khusus untuk diaspora Golo Mongkok itu sejatinya sebagai medium untuk
merawat ingatan tentang kampung halaman. Di dalamnya topik pembicaraan tentang
pulang dan kenangan masa kecil lainnya diperbincangkan.
Pemantik
kenangan dipicu oleh ulah Fredi Lado. Ia teman masa kecil saya yang paling
baik. Ia memposting salah satu gambar yang erat kaitannya dengan keseruan masa
kecil tempo dulu. Seperti yang sering kita saksikan bahwa pada media sosial kita tersebar luas gambar-gambar
layaknya 15 tahun lalu. Hal yang mungkin jarang dijumpai oleh anak-anak zaman
sekarang.
Kapela Stasi St. Yosef Golo Mongkok (foto; Fr. Veri Yanto)
Ada
ragam keseruan yang kami alami saat di Golo Mongkok dulu. Satu di antaranya
pertarungan sepak bola di lapangan SDK Golo Mongkok antara Golo Le dengan Golo Lau. Frasa Golo Le dikhususkan untuk anak-anak yang
rumahnya terletak di sebelah atas pertigaan menuju Wae Musur, sedangkan frasa
Golo Lau untuk anak-anak yang letak
rumahnya di sekitar SDK Golo Mongkok hingga sekitar Kapela Stasi Golo Mongkok.
Dua
tim ini selalu ingin menang sendiri. Penggawa Golo Le selalu merasa yang paling
jago. Sementara tim Golo Lau juga tak ketinggalan. Sama-sama unjuk gigi. Hal
ini tentu memantik keseruan sore kami. Pertandingan usai saat satu dari anggota
tim dipanggil oleh mama dari pinggir lapangan, apalagi jika mama-mama
timur datang ke lapangan sembari membawa sebilah bambu. Pertandingan pun akan bubar
seketika.
Ada
beberapa nama yang diandalkan dari tim Golo Le: Fredi Lado, Ramli, Pance Godho,
Yani Minggu, Imbran, Mat Judi, Irwan Susanto, Riki, Selimin, Toni Tawa, dll. Untuk
tim Golo Lau antara lain: Don Darus, Veri Yanto, Ardi Jelatu, Yanho, Yogis
Mithe, Yadin, Hila Jumpar, dll. Dari dua tim ini, masih ada beberapa nama yang saya rada-rada
lupa. Maklum, ingatan saya sekarang sudah terlampau usang.
Lapangan
SDK Golo Mongkok bak saksi bisu pergumulan kami. Di sini narasi senja kami
bergulir. Cerita-cerita perjalanan di hutan untuk memburu lawe lujang dan
buah-buahan diceritakan sesaat sebelum pertandingan bola dimulai. Akan ada
tepuk tangan di ujung pertemuan jika ada yang menceritakan kesuksesannya dalam
memburu hewan liar di hutan.
Saat itu usia kami berkisar antara 10 hingga 15 tahun. Sekarang kami sudah dewasa. Terlampau tua malah. Sebagian dari nama-nama yang masuk dalam tim Golo Le dan Golo Lau di atas sudah ada yang berkeluarga. Hanya saya, Fredi Lado, Ardi Jelatu, Veri Yanto, Yogis Mite, Toni Tawa, Riki, Ramli, Mat Judi yang belum membangun rumah tangga. Sedangkan yang sudah membangun rumah tangga antara lain: Hila Jumpar, Irwan Susanto, Yani Minggu, Yanho, Don Darus, Yadin, Selimin dan Imran. Yang belum menikah entah sampai kapan hidup menyendiri. Sebagian besar penggawa tim Golo Le dan Golo Lau tidak ada yang bertahan di kampung halaman. Semuanya pada merantau.
Kini
riwayat tim Golo Le dan Golo Lau tinggal kenangan. Narasinya telah pupus
termakan waktu. Setiap saya kembali ke Golo Mongkok ketika di Ruteng dulu, saya
selalu sempatkan waktu untuk menceritakan tentang keseruan masa kecil kami pada
keponakan yang sering datang ke rumah; tentang Golo Le dan Golo Lau yang dengan
egonya masing-masing beradu di lapangan hijau. Saya juga tidak tahu, apakah
anak-anak sekarang di Golo Mongkok masih memakai frasa Golo Le dan Golo Lau
untuk saling berunjuk gigi di lapangan SDK Golo Mongkok?
Hidup
memang sebagai proses panjang tanpa henti. Tidak hanya sebatas kompetitor dengan
egonya masing-masing, lebih dari itu ada solidaritas yang tentunya mengakar
dalam ruang bersama di tengah masyarakat kita. Saya dan Anda akan terus
terlibat dalam ruang proses tersebut. Bahkan, persaingannya sungguh teramat ketat,
tak semudah persaingan tim Golo Le dan Golo Lau.
Akhirnya,
adik-adik saya yang ada di Golo Mongkok, saya mau katakan bahwa kian hari hidup ini
kian berat. Berjuanglah!
*Golo
= dapat diartikan sebagai kampung
*Lau=
untuk menunjukan arah utara
*Le=
untuk menunjukan arah selatan
Penggunaan
bahasa Le dan Lau tergantung kondisi wilayah. Jika wilayah terkait mencakup
dataran yang lapang maka ini bisa dipakai. Jika wilayah berbukitan biasanya
menggunakan eta dan sili.
0 Comments