Tipu-tapu ala Anak Asrama

“Catatan ini muncul berawal dari aktivitas memasak yang kami lakukan menggunakan tungku api. Saya pun langsung mengingat suatu etape saat di asrama dulu. Kebetulan selama saya di Borong hanya di satu asrama saja saya memasak sendiri. Selebihnya saya tinggal di asrama yang lengkap dengan tukang masaknya."

Ini bukan asrama, tetapi soal rasa masih 
seperti tinggal di asrama (foto; dok. pribadi)

Buah dari pendidikan tak merata bisa memicu banyak persoalan. Akses untuk duduk di bangku pendidikan yang sejatinya sebagai kebutuhan dasar warga negara sering kali terabaikan. Eksesnya pun merembes ke angka putus sekolah yang masih saja belum berkurang.

Di Manggarai persebaran lembaga pendidikan menengah pada awal milenium kedua masih sangat berkurang.  Setiap anak usia remaja untuk bisa bersekolah setidaknya harus beranjak dari kampung halaman untuk menetap di ibu kota kecamatan atau ibu kota kabupaten.

Pendidikan pun menjadi suatu kebutuhan yang mahal kala itu. Sekarang situasinya perlahan-lahan sudah mulai berubah. Rata-rata lembaga pendidikan tersebar di setiap kecamatan sebanyak 4 hingga 6 institusi pendidikan. Apalagi di Manggarai Timur, lembaga pendidikan menengah bak jamur di musim hujan, kelampau banyak yang baru saja dibuka.

Akibatnya, di masa itu, agar bisa mengenyam bangku pendidikan, kami harus menetap sementara di Kota Borong, Ibu Kota Kabupaten Manggarai Timur, tempat di mana terdapat lembaga pendidikan menengah pertama dan menengah atas.

Sementara untuk bisa nyaman dan dekat dengan sekolah, kami harus memilih tempat tinggal yang jangkauan ke sekolah begitu mudah. Beruntung di Borong ada asrama yang dikelola oleh Gereja Katolik maupun oleh masyarakat.

Merujuk KBBI, asrama merupakan bangunan tempat tinggal bagi kelompok orang untuk sementara waktu, terdiri atas sejumlah kamar, dan dipimpin oleh seorang kepala asrama. KBBI menjelaskan dengan baik soal asrama. Sangat komplit. Tidak ada yang melenceng sesuai dengan keadaan asrama yang memang begitu adanya. Sayangnya KBBI tidak menyinggung soal bapak asrama dan mama asrama yang sering memarahi anak asrama.

Selama di Borong, saya sering gonta-ganti asrama. Gonta-ganti asrama ya, bukan gonta-ganti pacar. Lima tahun saya menetap di Borong, ada 5 asrama yang saya tempati. Ada berbagai alasan yang membuat saya angkat kaki. Mulai dari kekurangan air hingga hal lain yang mendorong saya untuk memilih mencari asrama yang baru.

Rasanya dari lima asrama yang ditempati semuanya berkesan. Masing-masing memiliki narasi indah. Hal-hal konyol  selalu saja terjadi. Benar bahwa kenangan itu lebih mengesan jika ada peristiwa di atas rata-rata. Beruntung saya mengalami ragam kenangan bersama teman-teman yang paling baik sejagat raya.  

Saat di Asrama milik Pak Charli Kedaru, yang terletak di persimpangan menuju Pantai Cepiwatu, ada berbagai kejadian unik nan-menarik yang sering terjadi. Tingkah konyol anak-anak asrama di sini selalu mengundang gelak tawa. Hari-hari kami pun jadi lebih berwarna.  

Beberapa penghuni yang keren berproses bersama selama di sini antara lain: Roy Nguru, Celos Djarot, Boni Lodo, Hans Atus, Erlan Mbangun, Sil Gharu, Rion,  Serfin, Timbu, Robin, Yance, dll.

Di asrama ini jumlah penghuninya sekitar belasan orang. Anak SMP dan SMA tinggal bersama. Saya tinggal di sini saat duduk kelas dua SMA Pancasila Borong.  

Asrama ini hanya dikhususkan untuk anak-anak putra. Kami memasak sendiri. Dapurnya berbentuk persegi panjang dengan luas duabelas meter. Di dapur kami berjejer periuk-periuk kecil yang digantung di dinding. Jumlah tungku api ada empat. Supaya tidak antri saat memasak, sebagian penghuni asrama membuat tungku api di belakang kandang ayam milik bapak asrama.

Sore hari sebelum mentari kembali ke peraduan  biasanya kami habiskan untuk beradu di lapangan mini  yang kadang hijau kadang juga kekuningan.  Letaknya di tepi jalan menuju Pantai Cepi Watu.

Penghuni asrama masing-masing membentuk tim untuk bertanding, terkadang agar pertandingan kian seru sering juga disertai dengan taruhan. Tim yang menang tentu kebahagiaannya berlipat ganda, sebab ada modal untuk membeli mie instan saat makan malam nanti.   

Setelah pertandingan usai kami langsung bergegas untuk mencari kayu bakar di sekitar muara Sungai Wae Reca. Ranting-ranting pohon bakau yang telah mengering pun digasak. Adakalanya Sungai Wae Reca kami  jadikan juga sebagai tempat mencari kepiting bakau. Orang Manggarai menyebutnya kalamango.

Ada cerita yang menggelitik. Sesekali listrik tengah padam karena jadwal pemadaman bergilir. Malam pekat. Tidak ada penerangan sama sekali, Borong yang waktu itu sudah menjadi ibu kota kabupaten seharusnya tidak alami pemadaman bergilir. 

Roy Nguru, salah satu kaka kelas setahun di atas kami pun mulai beraksi. Seingat saya, ia termasuk yang paling usil. Kejadian ini terjadi saat sedang santap malam berlangsung di dapur. Roy dengan segala keusilan begitu tega mengibuli Boni Lodo, kawan sekelas SMA saya. Kami hanya bertiga santap malam sederhana di dapur.

“Boni, ini ikan,tutur Roy sambil memasukkan sepotong kayu kering ke dalam periuknya. Sialnya sepotong kayu yang diberikan ukurannya seperti seekor ikan kering khas dari Laut Sawu.

Rencana Roy semakin mulus karena listrik sedang padam. Di dapur kami tidak ada penerangan sama sekali. Gelap gulita.

Tanpa pikir panjang, ia langsung mencoba untuk mengigitnya. Namun apa daya ternyata bukan seekor ikan kering seperti yang ia harapkan.

Usut punya usut ternyata apa yang ia gigit merupakan sebatang kayu kecil yang bentuknya seperti seekor ikan. Saya yang berada bersama mereka tidak mengetahui sama sekali rencana yang dirancang oleh Roy.

Setelah Boni sempat mengigitnya, Roy kemudian tertawa. Ia berhasil memanfaatkan keadaan. Roy langsung memberitahu pada saya bahwa ia telah mengibuli Boni. Saya pun ikut-ikutan tertawa. Rasa dongkol dari Boni pun mencuat. Seketika ia marah dengan Roy.

Kehidupan di asrama ini dilalui dengan berbagai kegiatan yang baik dan buruk. Layaknya ritme hidup pada umumnya tentu penuh dengan lika-liku.

Lika-liku yang sering dihadapi satu di antaranya juga tentang memanfaatkan waktu luang sepulang sekolah untuk mencari uang. Sebuah pelajaran hidup yang bermakna dalam perjalanan.

Bapak asrama kami ini memiliki sawah yang terletak di Kampung Wae Reca, Desa Nanga Labang Kecamatan Borong. Untuk membantu lancarnya aktivitas mengolah sawah, Pak Charli sebagai pemilik asrama sering mempekerjakan kami ketika musim tanam dan musim panen tiba. Tentu kami tidak bekerja secara gratis, tetapi kami diberi upah secukupnya plus makan siang dan makan malam. Keren bukan?

Selama berada di asrama ini, Pak Charli yang lulusan sastra Inggris dari salah satu kampus di Kota Malang itu mengajarkan banyak hal kepada kami. Sayangnya, saat kami tamat SMA, ia kembali pada pangkuan ilahi. Ia terkena sakit keras. Padahal usianya masih begitu muda.

Setiap jalan memang memiliki kenangannya masing-masing. Asrama memang bukan ladang asmara, namun ada asmara yang didapat saat bergumul dengan warga asrama di dalamnya. Ada kenangan yang mengalir saat kita hendak memeluk harapan.

Dari setiap proses kita belajar banyak hal. Jalan satu-satunya menjadi tabah sembari menyatukan keping-keping yang patah dan merekatnya kuat-kuat.

Kelak di suatu waktu, engkau akan menjadi baja, kala duka tidak lagi pekat.



Post a Comment

2 Comments