Laut Sawu terlihat indah dari bukit tak bernama di kampung Rajong (foto: FB Albert Mbiang)
Dari esde hingga esema salah satu masa liburan yang dinanti-nanti saat berlibur ke
rumah nenek. Seolah-olah cerita tentang liburan ke rumah nenek dalam buku
pelajaran Cakap Berbahasa Indonesia di
esde menjadi nyata kala itu. Di dalam
buku tersebut, desa tempat tinggal nenek digambarkan dengan latar berbukitan
nan sejuk, pepohonan hijau, sawah dan ladang membentang indah, sungai yang
jernih, dan nyaman untuk ditempati. Saya
pikir defenisi tentang desa dalam buku itu benar adanya. Kalaupun defenisinya
salah, jangan-jangan desa yang kamu datangi merupakan bekas area pertambangan
yang belum direklamasi oleh perusahaan tambang milik Luhut B. Panjaitan
yang sering mengabaikan regulasi.
Tempat
liburan favorit sekelas anak kampung seperti saya satu-satunya hanya ke desa.
Jarang ada yang berlibur di kota, pun kalau ada yang ke kota saat lagi liburan
bisa dihitung dengan jari. Itupun tujuan utamanya untuk menjual hasil bumi
seperti: kopi, cengkeh, kakao dan vanili. Bagi saya liburan ke rumah nenek
selalu ditunggu-tunggu. Desa selalu memberi pelajaran tentang arti kepulangan
yang sesungguhnya.
Rumah nenek
saya dulu terletak di Rajong, desa Satar Lenda kecamatan Rana Mese. Jangan
paksa untuk cari di google map ee kaka, sebab
buang-buang waktu saja. Mending kalau ada waktu dan paket internet, baiknya ade-kaka deng basaudara samua isi dengan
ritual kepoin media sosialnya mantan.
Barangkali engko pu mantan yang pergi
tanpa permisi itu punya pertimbangan lain untuk memulai hubungan kalian dari
awal. Jangan paksa untuk balikan kalau ia tidak mau sama sekali, toh masih banyak gadis lain di Manggarai
Timur yang lihai memetik kopi, sigap memanjat pohon cengkeh, serta paling jago
untuk meracik kopi idaman dari inang dan
amang.
Bay dhe way, sebelum kita ngalur-ngidul bicara
serampangan, perlu saya sampaikan bahwa hingga kini akses ke kampung Rajong
masih susah. Letaknya yang terpencil dari kota Borong, ibukota kabupaten
Manggarai Timur, membuat Rajong dilupakan
dalam diskursus politik lokal. Eh! Lagian mengharapkan Lehong untuk
melirik kampung kecil seperti Rajong sia-sia saja sih, mending bapa tua dan
mama tua pejabat di Lehong urus
baik-baik itu perbatasan Manggarai Timur dengan Ngada.
Kampung
Rajong terletak tepat di kaki Poco Ri’i. Letaknya cukup terpencil. Saking
susahnya akses untuk keluar masuk, saya pening memikirkan mantan
penjelasan yang tepat untuk mendeskripsikan akses keluar dan masuk ke sana. Ada
dua alternatif menuju kampung Rajong, pertama
bisa melalui Golo Mongkok desa Watu Mori kecamatan Rana Mese, dan kedua melalui kampung Sok, desa Compang
Ndejing kecamatan Borong. Saya sendiri saat ke kampung Rajong hanya melalui
Golo Mongkok. Berhubung saya mulai pusing, saya pede sa untuk mulai menjelaskan akses ke Rajong dari kampung Golo
Mongkok. Kapan lagi sa pede untuk balikan den mantan to kaka?
Perjalanan
diawali dari kampung Golo Mongkok desa Watu Mori untuk seberangi Sungai Wae
Musur hingga tiba di kampung Lepeng desa Satar Lahing. Dari kampung Lepeng kita
akan berjalan menuju kampung Uwu desa Lalang. Tiba di kampung Uwu, kita akan
mengambil simpang kiri menuju kampung Pelak desa Lalang. Sebelum tiba di
kampung Pelak kita akan menyeberangi Sungai Wae Usang. Dari kampung Pelak, kita
akan menuruni lembah yang cukup curam menuju Sungai Wae Nawu. Di sini jalan
yang ditempuh tepat di tengah hutan lebat. Kaki-kaki kita akan bertumpu pada bongkahan
batu yang tersusun secara alami. Pohon-pohon besar menghambat matahari masuk.
Tiba di Sungai Wae Nawu, perjalanan ke kampung Rajong semakin dekat. Namun,
jangan tarik napas dulu, apalagi engko melompat
kegirangan bak diterima oleh kaup gebetan
itu, sebab kita akan memasuki tanjakan yang cukup berat hingga sampai di
kampung Rajong.
Tiba di
kampung Rajong, kita seperti sedang berkilas ke masa lalu. Kampung yang dingin.
Topografisnya bebukitan. Nuansa kaki gunung nan-sunyi membuat semuanya begitu
tenang dan mendamaikan. Pemukiman yang belum padat dengan jumlah rumah hanya 15
unit saja sebagai pemicunya. Sentuhan modernisme belum terlalu jauh menjamah
perkampungan ini. Alur kehidupan bergulir apa adanya. Obrolan tentang politik
ibukota yang kadang menjijikkan
luput dari perhatian penghuni di dalamnya. Mereka terbuai menanam
harapan dengan tetap bekerja di ladang demi mengurus kopi, vanili, kemiri dan
kakao.
Saban sore di
sini akan diguyuri oleh kabut yang tebal. Dingin tak dapat terelakkan. Walaupun
begitu bukan berarti menghalangi penghuni di dalamnya untuk saling
bersilaturahmi. Semangat kekeluargaan terlihat meski jarak rumah berjauhan satu
dengan yang lain. Tidak heran saat kita
berkunjung dari rumah yang satu ke rumah yang lain, kita akan disuguhi dengan
kopi dan ubi-ubian. Jika sedang
beruntung maka kamu akan disuguhi pula oleh daging babi hutan atau babi landak.
Penghuni kampung Rajong kerap kali berburu ke tengah hutan untuk memenuhi
pasokan protein bagi tubuh.
Di tengah
kampung terdapat Wae Betong. Airnya jernih dan teramat dingin meski di siang
hari sekalipun. Debit airnya tidak terlalu besar. Namun Wae Betong sangat
membantu persediaan air bersih untuk seluruh penghuni kampung. Wae Betong
merupakan pelepas dahaga bagi penghuni kampung setelah seharian penuh melakukan
aktivitas di ladang. Wae Betong bak oase di tengah susahnya akses menuju Sungai
Wae Nawu dalam mendapatkan air bersih. Wae Betong disesaki oleh penghuni
kampung kala mentari hendak kembali ke peraduan.
Dulu saat
berlibur di Rajong, saya paling suka berdiri di bukit yang dekat dengan Wae
Betong. Di bukit tak bernama itu, kita dapat melihat Gunung Poco Ndeki yang
berdiri angkuh bersanding dengan Laut Sawu. Pemukiman penduduk di Kota Borong
terlihat jelas dari sini. Lampu-lampu yang terangi Kota Borong di malam hari
mempertontonkan sebuah kemajuan kota yang berbanding terbalik dengan kampung
Rajong tentunya.
Rumah nenek
saya dulu terletak di pinggir jalan setapak ke Wae Betong. Jalan setapak itu
dilalui juga oleh pengguna jalan yang sedang berpergian menuju kampung Lempe
desa Satar Lenda atau ke kampung Pelak desa Lalang. Lazimnya ada warga dari
kampung lain yang sedang berpergian akan beristirahat sebentar di rumah nenek
saya sekedar untuk melepas dahaga.
Selain
mengikuti aktivitas ke ladang untuk memetik kopi, memungut buah kemiri, dan
membersihkan ladang, kita dapat terlibat dalam aktivitas penghuni kampung
lainnya seperti: ngo lolu. Ngo lolu merupakan salah satu kebiasaan
orang Manggarai yang dilakukan saban sore untuk bersama-sama dengan penyadap tuak menikmati hasil sadapan langsung di bawah pohon aren. Sensasi ngo lolu lebih kerasa dibandingkan
menikmati moke putih di rumah, pasalnya
kita menikmati tuak putih bukan menggunakan gelas tapi menggunakan suke. Suke merupakan bambu muda yang
dipotong dan dirancang layaknya cangkir.
Ngo lolu bisa diikuti saat berlibur di kampung Rajong
Bertandang ke
Rajong dapat pula menikmati sombu. Nenek
saya dulu paling jago membuat sombu.
Sombu merupakan pangan lokal Manggarai Timur yang terbuat dari tepung
singkong maupun dari tepung jagung. Setelah tekstur singkong dan jagung
dihaluskan menjadi tepung, dicampur dengan parutan kelapa kemudian dikukus
menggunakan periuk tanah. Kalau uap sudah muncul pada bagian atas periuk, itu
artinya sombu telah matang. Setelah matang baru disantap bersama dengan
secangkir kopi. Saya jamin rasanya tidak sebanding dengan engko pu masa lalu yang membuat engko
kecewa.
Setelah
liburan usai, saya kembali ke Golo Mongkok dengan membawa oleh-oleh secukupnya.
Akses saat keluar dari kampung Rajong menghalangi saya untuk membawa oleh-oleh
yang banyak. Jalan kaki selama 4 jam menuju ke Golo Mongkok tentu bukan perkara
mudah. Namun, satu hal yang selalu dikenang dan dibawa kemana-mana, tentang
cerita-cerita menarik dari orang-orang baik yang tidak lekas menyerah dengan
keadaan. Hal ini akan selalu tertanam dalam hati saya.
Sebelum
menutup artikel ini, kabar baiknya bahwa kini kampung Rajong sudah dialiri
listrik dengan menggunakan panel surya. Inang
saya menginformasikan itu sesaat saya mulai menulis tentang Rajong. Kampung
kecil di bawah kaki Poco Ri’i itu telah membantu imajinasi masa kecil saya
tentang liburan di rumah nenek, yang tidak beda jauh dengan desa versi buku
pelajaran Cakap Berbahasa Indonesia di
esde itu.
0 Comments