Kampung Rajong dan Liburan di Rumah Nenek yang Terwujud

Laut Sawu terlihat indah dari bukit tak bernama di kampung Rajong (foto: FB Albert Mbiang)

Melegenda dalam dunia pendidikan kita, entah untuk ukuran sekolah mewah di kota besar maupun sekolah reyot di Manggarai Timur sana, lazimnya bahwa usai liburan peserta didik ditugaskan untuk menulis karangan tentang pengalaman liburan. Semenjak esde di Golo Mongkok hingga esema di Borong, kerap kali ditugaskan untuk membuat karangan tentang liburan. Bahkan kini saat saya telah menjadi guru esde, tibalah giliran saya untuk menugaskan anak-anak untuk membuat karangan singkat tentang pengalaman mereka selama liburan. Hidup memang demikian. Jika dua bulan lalu engkau jomlo maka sekarang harus mendapatkan gebetan. Begitu!   

Dari esde hingga esema salah satu masa liburan yang dinanti-nanti saat berlibur ke rumah nenek. Seolah-olah cerita tentang liburan ke rumah nenek dalam buku pelajaran Cakap Berbahasa Indonesia di esde menjadi nyata kala itu. Di dalam buku tersebut, desa tempat tinggal nenek digambarkan dengan latar berbukitan nan sejuk, pepohonan hijau, sawah dan ladang membentang indah, sungai yang jernih, dan nyaman untuk ditempati.  Saya pikir defenisi tentang desa dalam buku itu benar adanya. Kalaupun defenisinya salah, jangan-jangan desa yang kamu datangi merupakan bekas area pertambangan yang belum direklamasi oleh perusahaan tambang milik Luhut B. Panjaitan yang sering mengabaikan regulasi.   

Tempat liburan favorit sekelas anak kampung seperti saya satu-satunya hanya ke desa. Jarang ada yang berlibur di kota, pun kalau ada yang ke kota saat lagi liburan bisa dihitung dengan jari. Itupun tujuan utamanya untuk menjual hasil bumi seperti: kopi, cengkeh, kakao dan vanili. Bagi saya liburan ke rumah nenek selalu ditunggu-tunggu. Desa selalu memberi pelajaran tentang arti kepulangan yang sesungguhnya.

Rumah nenek saya dulu terletak di Rajong, desa Satar Lenda kecamatan Rana Mese. Jangan paksa untuk cari di google map ee kaka, sebab buang-buang waktu saja. Mending kalau ada waktu dan paket internet, baiknya ade-kaka deng basaudara samua isi dengan ritual kepoin media sosialnya mantan. Barangkali engko pu mantan yang pergi tanpa permisi itu punya pertimbangan lain untuk memulai hubungan kalian dari awal. Jangan paksa untuk balikan kalau ia tidak mau sama sekali, toh masih banyak gadis lain di Manggarai Timur yang lihai memetik kopi, sigap memanjat pohon cengkeh, serta paling jago untuk meracik kopi idaman dari inang dan amang. 

Bay dhe way, sebelum kita ngalur-ngidul bicara serampangan, perlu saya sampaikan bahwa hingga kini akses ke kampung Rajong masih susah. Letaknya yang terpencil dari kota Borong, ibukota kabupaten Manggarai Timur, membuat Rajong dilupakan  dalam diskursus politik lokal. Eh! Lagian mengharapkan Lehong untuk melirik kampung kecil seperti Rajong sia-sia saja sih, mending bapa tua dan mama tua  pejabat di Lehong urus baik-baik itu perbatasan Manggarai Timur dengan Ngada.

Kampung Rajong terletak tepat di kaki Poco Ri’i. Letaknya cukup terpencil. Saking susahnya akses untuk keluar masuk, saya pening memikirkan mantan penjelasan yang tepat untuk mendeskripsikan akses keluar dan masuk ke sana. Ada dua alternatif menuju kampung Rajong, pertama bisa melalui Golo Mongkok desa Watu Mori kecamatan Rana Mese, dan kedua melalui kampung Sok, desa Compang Ndejing kecamatan Borong. Saya sendiri saat ke kampung Rajong hanya melalui Golo Mongkok. Berhubung saya mulai pusing, saya pede sa untuk mulai menjelaskan akses ke Rajong dari kampung Golo Mongkok. Kapan lagi sa pede  untuk balikan den mantan to kaka?

Perjalanan diawali dari kampung Golo Mongkok desa Watu Mori untuk seberangi Sungai Wae Musur hingga tiba di kampung Lepeng desa Satar Lahing. Dari kampung Lepeng kita akan berjalan menuju kampung Uwu desa Lalang. Tiba di kampung Uwu, kita akan mengambil simpang kiri menuju kampung Pelak desa Lalang. Sebelum tiba di kampung Pelak kita akan menyeberangi Sungai Wae Usang. Dari kampung Pelak, kita akan menuruni lembah yang cukup curam menuju Sungai Wae Nawu. Di sini jalan yang ditempuh tepat di tengah hutan lebat. Kaki-kaki kita akan bertumpu pada bongkahan batu yang tersusun secara alami. Pohon-pohon besar menghambat matahari masuk. Tiba di Sungai Wae Nawu, perjalanan ke kampung Rajong semakin dekat. Namun, jangan tarik napas dulu, apalagi engko melompat kegirangan bak diterima oleh kaup gebetan itu, sebab kita akan memasuki tanjakan yang cukup berat hingga sampai di kampung Rajong.

Tiba di kampung Rajong, kita seperti sedang berkilas ke masa lalu. Kampung yang dingin. Topografisnya bebukitan. Nuansa kaki gunung nan-sunyi membuat semuanya begitu tenang dan mendamaikan. Pemukiman yang belum padat dengan jumlah rumah hanya 15 unit saja sebagai pemicunya. Sentuhan modernisme belum terlalu jauh menjamah perkampungan ini. Alur kehidupan bergulir apa adanya. Obrolan tentang politik ibukota yang kadang menjijikkan  luput dari perhatian penghuni di dalamnya. Mereka terbuai menanam harapan dengan tetap bekerja di ladang demi mengurus kopi, vanili, kemiri dan kakao.

Saban sore di sini akan diguyuri oleh kabut yang tebal. Dingin tak dapat terelakkan. Walaupun begitu bukan berarti menghalangi penghuni di dalamnya untuk saling bersilaturahmi. Semangat kekeluargaan terlihat meski jarak rumah berjauhan satu dengan  yang lain. Tidak heran saat kita berkunjung dari rumah yang satu ke rumah yang lain, kita akan disuguhi dengan kopi dan  ubi-ubian. Jika sedang beruntung maka kamu akan disuguhi pula oleh daging babi hutan atau babi landak. Penghuni kampung Rajong kerap kali berburu ke tengah hutan untuk memenuhi pasokan protein bagi tubuh.

Di tengah kampung terdapat Wae Betong. Airnya jernih dan teramat dingin meski di siang hari sekalipun. Debit airnya tidak terlalu besar. Namun Wae Betong sangat membantu persediaan air bersih untuk seluruh penghuni kampung. Wae Betong merupakan pelepas dahaga bagi penghuni kampung setelah seharian penuh melakukan aktivitas di ladang. Wae Betong bak oase di tengah susahnya akses menuju Sungai Wae Nawu dalam mendapatkan air bersih. Wae Betong disesaki oleh penghuni kampung kala mentari hendak kembali ke peraduan. 

Dulu saat berlibur di Rajong, saya paling suka berdiri di bukit yang dekat dengan Wae Betong. Di bukit tak bernama itu, kita dapat melihat Gunung Poco Ndeki yang berdiri angkuh bersanding dengan Laut Sawu. Pemukiman penduduk di Kota Borong terlihat jelas dari sini. Lampu-lampu yang terangi Kota Borong di malam hari mempertontonkan sebuah kemajuan kota yang berbanding terbalik dengan kampung Rajong tentunya.

Rumah nenek saya dulu terletak di pinggir jalan setapak ke Wae Betong. Jalan setapak itu dilalui juga oleh pengguna jalan yang sedang berpergian menuju kampung Lempe desa Satar Lenda atau ke kampung Pelak desa Lalang. Lazimnya ada warga dari kampung lain yang sedang berpergian akan beristirahat sebentar di rumah nenek saya sekedar untuk melepas dahaga.

Selain mengikuti aktivitas ke ladang untuk memetik kopi, memungut buah kemiri, dan membersihkan ladang, kita dapat terlibat dalam aktivitas penghuni kampung lainnya seperti: ngo lolu. Ngo lolu merupakan salah satu kebiasaan orang Manggarai yang dilakukan saban sore untuk bersama-sama dengan penyadap tuak menikmati hasil sadapan  langsung di bawah pohon aren. Sensasi ngo lolu lebih kerasa dibandingkan menikmati moke putih di rumah,  pasalnya kita menikmati tuak putih bukan menggunakan gelas tapi menggunakan suke. Suke merupakan bambu muda yang dipotong dan dirancang layaknya cangkir.
Ngo lolu bisa diikuti saat berlibur di kampung Rajong

Bertandang ke Rajong dapat pula menikmati sombu. Nenek saya dulu paling jago membuat sombu. Sombu merupakan pangan lokal Manggarai Timur yang terbuat dari tepung singkong maupun dari tepung jagung. Setelah tekstur singkong dan jagung dihaluskan menjadi tepung, dicampur dengan parutan kelapa kemudian dikukus menggunakan periuk tanah. Kalau uap sudah muncul pada bagian atas periuk, itu artinya sombu telah matang.  Setelah matang baru disantap bersama dengan secangkir kopi. Saya jamin rasanya tidak sebanding dengan engko pu masa lalu yang membuat engko kecewa.     
 
Setelah liburan usai, saya kembali ke Golo Mongkok dengan membawa oleh-oleh secukupnya. Akses saat keluar dari kampung Rajong menghalangi saya untuk membawa oleh-oleh yang banyak. Jalan kaki selama 4 jam menuju ke Golo Mongkok tentu bukan perkara mudah. Namun, satu hal yang selalu dikenang dan dibawa kemana-mana, tentang cerita-cerita menarik dari orang-orang baik yang tidak lekas menyerah dengan keadaan. Hal ini akan selalu tertanam dalam hati saya. 

Sebelum menutup artikel ini, kabar baiknya bahwa kini kampung Rajong sudah dialiri listrik dengan menggunakan panel surya. Inang saya menginformasikan itu sesaat saya mulai menulis tentang Rajong. Kampung kecil di bawah kaki Poco Ri’i itu telah membantu imajinasi masa kecil saya tentang liburan di rumah nenek, yang tidak beda jauh dengan desa versi buku pelajaran Cakap Berbahasa Indonesia di esde itu.

    



Post a Comment

0 Comments