Catatan Pinggiran dari Kampung Golo Mongkok

Hamparan persawahan warga terlihat jelas dari Golo Molas (foto; dok. pribadi)

Pada arah dan langkah yang sedang dijalani, akan ada waktu yang  engkau sisihkan untuk mengenang ragam kesahajaan yang pernah didapatkan di kampung halaman. Meski di mana engkau merasa nyaman bisa juga engkau menjadikannya sebagai rumah.  

Dengan segala kesahajaan yang ditawarkan pada masa silam, kampung halaman tetap hadirkan pesona yang selalu memanggilmu pulang. Engkau pun dapat lekas kembali untuk merebahkan badan pada kasur tua di rumahmu. Entah untuk berlibur sementara waktu, atau juga sebagai ajang konsolidasi ase-kae (keluarga besar) sebelum engkau melangkah ke jenjang pernikahan begitu. Oh ya, ase-kae di kampung juga  berharap banyak bahwa saat engkau pulang kampung minimal pulang berdua dan syukur-syukur jika bertiga atau berempat. Yang penting jangan berlima, karena pemerintah sudah programkan KB to. Hadeh.

Dalam artikel sebelumnya (dapat lihat di sini; tak-sebatas-persaingan-golo-le-dan-golo.html), saya berbagai cerita tentang sengitnya pergumulan masa kecil kami di Golo Mongkok. Tidak mengangkat sisi lain dari kampung Golo Mongkok rasa-rasanya kelak akan dicap sebagai anak yang tidak berbakti pada kampung halaman. Hmmm.

Dengan  berbagai pertimbangan yang tidak penting, dan didukung dengan poling yang mahaserius bagi orang Golo Mongkok di media sosial, akhirnya terdapat berbagai keunikan-keunikan yang patut untuk dinarasikan. Syukur-syukur jika dapat membawa secuil perubahan untuk kita semua yang dengan setia mengunjungi artikel dalam lakilako.blogspot.com. Memisahkan Golo Mongkok dengan segala keunikan-keunikan di bawah ini seperti memisahkan rasa asin dari garam atau rasa manis dari gula.

Toleransi yang Kuat

Kapela St. Yosef Golo Mongkok (foto; Agustinus Veriyanto)

Menyebut kampung Golo Mongkok sebagai Indonesia mini tidaklah berlebihan. Di dalamnya hidup berdampingan antara umat Katolik dan umat Islam tanpa saling berburuk sangka. Leluhur kami membentuk peradaban kampung Golo Mongkok berjalan apa adanya. 

Tidak ada refrensi lebih detail yang menggambarkan tentang toleransi di Golo Mongkok. Tetapi sudah sekian lama kami berjalan bersama. Lingkungan kami berjalan beriringan dalam keberagaman. Saban hari kami selalu bergumul tanpa melihat perbedaan sebagai sumber perpecahan. Tidak ada rasa curiga, tak ada saling hujat.

Setiap acara-acara adat seluruh warga kampung akan bahu-membahu untuk meringankan jalannya ritual adat. Entah keluarga yang melaksanakan acara adat berbeda latar belakangnya, tetap sikap saling tolong-menolong jadi junjungan utama dalam kehidupan bersama. Tidak ada pertimbangan khusus yang membuat seseorang tidak terlibat.

Di Golo Mongkok kita dapat melihat wajah Indonesia sesungguhnya. Toleransi berjalan bersama setua peradaban masyarakat di dalamnya. Saya yakin Anda akan terkesima jika bertandang ke sini. Karena itu kurang afdal jika bertandang ke Golo Mongkok dengan tidak menggali nilai-nilai kehidupan yang tumbuh di dalam masyarakat. Semoga Anda lekas berkunjung.

Menonton Pacuan Kuda dari Golo Molas

Tidak ada banyak yang tahu bahwa dulu di kampung Arjuna sering dijadikan sebagai arena pacuan kuda. Cerita yang pernah berkembang jika dulunya berjubel lelaki berani tanah Nuca Lale untuk menunggangi kuda. Mereka beradu nyali di dataran luas tepat di atas pemukiman kampung Arjuna yang sekarang ini.

Musim pacuan kuda juga sering dijadikan sebagai ruang untuk mencari jodoh. Molas-molas (gadis, red) saat itu bersolek untuk menonton dari atas bukit. Dari titik ini dapat dengan jelas melihat keberanian lelaki yang sedang menunganggi kuda.  Usai berpacu kuda selanjutnya akan berbagi cerita dengan molas-molas yang sedari tadi menonton dari atas bukit.

Buntut dari kisah itu pula, bukit sebagai tempat menonton dari molas-molas tadi dinamakan sebagi Golo Molas. Secara harfiah Golo berarti bukit, sedangkan molas berarti sebagai gadis. Golo Molas dapat diartikan sebagai bukit dari para gadis.

Sekarang di Golo Molas dimanfaatkan untuk peternakan sapi milik pemerintah daerah. Luasnya kurang lebih empat hektar. Di dalamnya terdapat ragam tanaman yang sengaja ditanam untuk pakan ternak. Ada beberapa unit bangunan yang disiapkan untuk pengembangan ternak sapi dibangun. Sepertinya pemerintah Manggarai Timur serius untuk  memanfaatkan potensi di Golo Molas untuk pengembangan ternak.

Bertandang ke sini akan disuguhkan dengan indahnya persawahan warga di lembah Arjuna, juga rumah-rumah warga yang mulai berdempetan. Nuansanya sekarang memang sudah mulai berubah. Namun ada satu yang pasti, keramahan warga tetap sama seperti dulu. Orang-orang di sini jarang berulah. Kalian akan merasakan seperti kembali ke rumah sendiri saat berkunjung ke sini. Percaya deh!

Legenda Watu Mori yang Misteri

Watu mori, begitu nama yang dipakai untuk desa kami saat ini. Desa Watu Mori dimekarkan dari desa Sita kecamatan Rana Mese. Ada beberapa kampung di dalamnya; Golo Mongkok, Golo Awo, Ikong Kilo, Arjuna, Liang Leso, Tepo, dan Bondo.

Akan tetapi di balik nama Watu Mori, apakah ada yang mengetahui tentang legenda Watu Mori? Ataukah ada yang pernah mendengar cerita tentang Watu Mori? Saya yakin jika pertanyaan ini diajukan pada anak remaja di Golo Mongkok yang sering minum tuak di tepi jalan pasti bingung setengah mati. Tanda bahwa mereka tidak mengetahui apa-apa tentang legenda Watu Mori.   Apakah mereka salah? Tidak juga. 

Saya juga tidak mengetahui lebih jauh tentang Watu Mori. Pada sebuah kesempatan mewawancarai almarhum Bapak Moses Peot, ia sempat dengan gamblang menjelaskan tentang legenda Watu Mori. Sayang file rekamannya terdapat pada laptop saya yang telah rusak. Alhasil datanya tidak bisa diambil untuk sementara waktu.

Berkat penuturannya kala itu, saya menjadi tahu bahwa Watu Mori memiliki nilai sejarah yang begitu kuat. Saya selalu berharap bahwa pada suatu waktu akan ada orang baik yang menceritakan tentang ini pada saya. Syukur jikalau ada catatannya di kantor desa Watu Mori .

Itu Rumahmu, Jangan Lupa Pulang

Ya, seburuk apapun di dalamnya, orang-orangnya sering duduk di pinggir jalan sembari menikmati tuak, itu tetap engkau punya kampung. Itu tetap rumahmu.    

Tugasmu cukup merawat kenangan yang pernah engkau alami. Bantu orang-orang di dalamnya agar dapat menghasilkan sesuatu yang istimewa. Jangan pula engkau memilih untuk berada pada garis yang salah.  

Kelak akan ada masanya engkau akan dikenang. Entah karena perbuatan baik yang engkau suguhkan, ataupun prestasi yang bikin saudara sekampung bangga.

Berjalanlah yang jauh. Ambil langkah yang tepat dengan cepat. Akan ada waktunya engkau pulang untuk membagikan seluruh kenangan yang pernah engkau dapati. Jika merasa nyaman saat engkau pulang, bertahanlah. Orang-orang di sana selalu menerimamu hingga engkau kembali pulang kapan pun itu.  Sebab, itu rumahmu! Jangan lupa pulang.

Post a Comment

0 Comments