Belum Kalah dan Upaya Melawan Stigma


Perjuangan melawan Orang Dengan Gangguan Jiwa yang dirintis oleh Pater Avent Saur, SVD bersama dengan Kelompok Kasih Insanis (KKI) termasuk perjuangan yang unik. Mengapa tidak, penyakit yang menyerang mental manusia itu membutuhkan nyali yang cukup dalam upaya memberantasnya. Untuk mendekati orang yang menderita gangguan jiwa saja, tidak semua orang berani untuk melakukannya. Eksesnya sudah terlampau dulu muncul dalam pikiran, tentu tidak terbayangkan akibat positif dan negatif ketika kita hendak mendekati orang dengan gangguan jiwa.  

Sudah lama tersekap dalam masyarakat kita dengan memberi label orang dengan ganguan jiwa sebagai orang-orang yang terbuang. Tak pelak, orang yang menderita gangguan jiwa dijauhkan, tidak dihiraukan dan luput dari perhatian. Mereka dikucilkan, kasarnya mereka dibiarkan begitu saja tanpa ada pihak yang memperhatikan mereka.  

Hal demikian membuat mereka semakin terkucilkan. Negara sebagai institusi yang bertanggung jawab penuh justru mengkangkangi fungsinya. Setelah mereka dijauhkan dari aspek sosial, hak politik mereka juga turut hilang. Bisa saja negara melihat orang dengan gangguan jiwa sebagai basis politik yang tak dapat diandalkan. Pada titik ini, orang dengan gangguan jiwa semakin terkurung dalam situasi tanpa ada orang atau institusi yang memperhatikan mereka.  

Dalam buku Belum Kalah, Pater Aven membicarakan perjuangannya membantu saudara kita yang belum kalah. Kesaksian yang ia sampaikan melalui pena mengetuk hati dari siapa saja yang melahap isi buku tersebut. Semangat perjuangan yang ia rintis memberi harapan baru bagi orang yang belum kalah, bahwa mereka sebetulnya belum kalah. Toh, masih ada orang yang baik hati untuk bahu-membahu membantu mereka dan keluarga dalam merasakan derita yang sedang merundung dirinya dan keluarga.

Perjuangan Pater Aven dan KKI tidaklah mudah. Setelah saya melahap isi bukunya, saya menemukan kesan bahwa sudah sekian lama kita mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Orang dengan gangguan jiwa dalam kepercayaan orang Katolik merupakan gambar dan citra Allah yang perlu direngkuh dengan spirit cinta kasih. Dari segi humanisme, kita telah mencundangi nilai-nilai kemanusiaan dan mengingkari komitmen kemanusiaan itu sendiri.

Sebelum terlambat, peduli adalah senjata paling ampuh dalam menghidupkan nilai-nilai kemanusiaan. Di sekitar kita, di lorong-lorong tengah kota atau di pasar-pasar seringkali kita melihat orang-orang belum kalah berjibaku dengan kesibukannya masing-masing. Untuk menatapnya lebih lama, memberikan ia makanan, apalagi hendak mengajaknya berkomunikasi lebih jauh sering kali luput dari tindakan yang kita lakukan.

Budaya Pasung

Narasi orang belum kalah sejujurnya tidak jauh dengan keadaan keluarga kami dulu. Salah satu anggota keluarga besar kami pernah mengalami derita gangguan jiwa. Sayang, ia telah dipanggil Tuhan pada bulan Januari 2018 kali lalu.

Sebelum ia meninggal dunia, ia masih dirundung derita gangguan jiwa. Keluarga tidak punya pilihan lain, selain memberikan makanan seadanya, perhatian ala kadarnya dan membiarkannya berbicara sesuka hati. Derita gangguan jiwa yang mengendap turut mencuri sebagian masa hidupnya di dunia yang fana ini. Saking kehabisan cara untuk kesembuhannya, ia juga pernah dipasung. Lagi-lagi keluarga tidak punya pilihan lain.

Rata-rata keluarga dari orang dengan gangguan jiwa minim pengetahuan kejiwaan. Keadaan demikian pun mengurungkan niat keluarga untuk menyembuhkan orang belum kalah. Upaya untuk bahu-membahu meringankan beban penderita pupus ditengah jalan. Harapan keluarga akan kesembuhan juga turut lumpuh ketika ketidaktahuan lebih dominan mengakar dalam pola pikir keluarga-keluarga dari orang dengan gangguan jiwa.

Praktik pemasungan pun sah dan dianggap sebagai pilihan yang paling tepat. Ia telah lama mengakar, membudaya dan berkembang dalam masyarakat kita. Puncaknya, orang belum kalah semakin menderita. Usai jiwanya terganggu tubuhnya juga turut memikul beban yang perlahan-lahan membuat dirinya terasing dari pergumulan sosial kemasyarakatan.

Budaya pasung menjadi pilihan terakhir untuk menenangkan orang belum kalah. Pasung dianggap sebagai cara yang paling ampuh. Pasung menyelamatkan ketenangan masyarakat kita dari perilaku mengusik yang sering dilakukan oleh orang dengan gangguan jiwa. Hak hidup orang dengan gangguan jiwa pun tercabik-cabik.    

Di sisi lain, negara juga jarang menampakkan batang hidung. Negara seakan-akan tidak bertanggung jawab dalam merasakan dan menyelesaikan persoalan rakyatnya sendiri. Keseriusan negara sebenarnya turut membantu meringankan beban dari orang-orang dengan gangguan jiwa. Absennya negara turut melumpuhkan semangat hidup dari orang belum kalah untuk melawan kekalahan yang mereka alami.

Melawan Stigma

Tugas terberat dari keluarga orang belum kalah merupakan melawan stigma. Labelisasi yang diberikan pada orang belum kalah turut hadir setua penderita mengalami gangguan jiwa. Ragam pelesetan yang mencemoohkan sangat berpengaruh dalam mengkerdilkan harkat dan martabat dari orang belum kalah sebagai manusia yang harus dihargai.

Pengalaman penulis sebagai keluarga terdekat dari orang dengan gangguan jiwa juga merasakan stigma yang diberikan pada orang belum kalah. Misalnya, di persimpangan jalan kita bertemu dengan orang-orang yang mengetahui bahwa orang dengan gangguan jiwa itu keluarga kita. Maka akan muncul dialog yang berbau pesimisme dan stigmatisasi menghantaui pertemuan itu. Isi dialog pun mengarah pada hal-hal yang menyudutkan.

Dalam keadaan demikian, bisa kita konklusikan bahwa stigma dapat dirasakan pula oleh orang-orang terdekat dari penderita. Beban keluarga bukan berkurang, justru semakin bertumpuk akibat cercaan dan hinaan.

Menurut WHO,  gangguan jiwa mempengaruhi cara berpikir dan berprilaku, kemampuan untuk melindungi kepentingan dirinya dan kemampuan untuk mengambil keputusan. Jangan heran orang-orang belum kalah lupa mengontrol setiap baik dan buruk perbuatan yang ia lakukan juga tutur kata yang ia ucapkan.

Seseorang dengan gangguan jiwa berhadapan dengan stigma, diskriminasi dan marginalisasi. Stigma menyebabkan mereka tidak mencari pengobatan yang sangat mereka butuhkan, atau minimal mereka mendapatkan pelayanan kesehatan akan tetapi mendapatkan pelayanan yang bermutu rendah dan tidak terlalu optimal pelayanan yang diberikan.

Akibat dari stigmatisasi dan marginalisasi semakin memperparah beban dari orang belum kalah. Mereka tidak lagi diperbaiki kesehatan jiwanya, akan tetapi berpotensi pada terabaikan hak individu mereka sebagai manusia. Hal ini mengakibatkan dilanggarnya hak-hak individu: hak politik, hak ekonomi, hak sosial dan hak budaya.

Karena itu, penulis merasakan pentingnya melawan stigma yang telah lama diberikan pada orang dengan gangguan jiwa. Pertama, mendorong kesetaraan persepsi antara penyakit fisik dan gangguan jiwa. Jika orang memahami fakta sebenarnya tentang penyakit mental, mereka akan berpikir dua kali untuk mengejek orang dengan gangguan jiwa. Sakit jiwa sama halnya dengan penderita diabetes, penyakit jantung atau kanker. Sama-sama bisa disembuhkan secara medis.  

Kedua, pihak keluarga tidak dibenarkan untuk mengamini stigma yang diberikan pada orang dengan gangguan jiwa. Keluarga harus berada digarda terdepan untuk membantah stigma pada ODGJ. Orang-orang dekat dari ODGJ memiliki andil penting dalam mengafirmasi terkait dampak buruk dalam memberikan stigma pada orang dengan gangguan jiwa, bahwa memberikan stigma dapat memperparah keadaan dari penderita ODGJ.

Ketiga, kampanye sosial untuk melawan stigma pada ODGJ. Pemerintah sebagai lembaga negara yang sah secara konstitusional berhak untuk memberikan totalitas dalam pelayanan bagi seluruh rakyatnya, baik yang sehat maupun yang sakit. Negara hadir untuk memberikan rasa nyaman dan tentram bagi seluruh warga negara, termasuk pada orang dengan gangguan jiwa. Karena itu, negara memiliki tanggung jawab sosial untuk menggerakkan kampanye sosial melawan stigma pada ODGJ, meluruskan stigma yang diberikan kepada orang-orang yang terpinggirkan hidupnya.

Jika seluruh upaya telah kita lakukan dengan totalitas dan keseriusan, kelak masalah ODGJ perlahan-lahan dapat dibasmi. Seluruh stakeholder pun bahu-membahu untuk berjalan bersama dengan mulai peduli dengan saudara kita yang kurang beruntung. Tidak ada pilihan lain, mari kita peduli. Sukses selalu untuk seluruh kru-KKI. Salam Belum Kalah.      





Post a Comment

0 Comments