Tentang rindu, tidak pernah lunas untuk diperbincangkan, menuai rasa yang akan sukar untuk direngkuh. Menukik dalam rasa, membuncah dalam imajinasi.
Sejatinya percakapan lewat aplikasi berbalas pesan sebenarnya untuk membasmi rindu yang makin akut. Tak pernah surut, tak lekang oleh ruang dan waktu. Ia akan terus-terusan hadir seiring dengan rindu yang belum berujung temu.
Dalam perjalanan waktu, salah satu doa yang saya daraskan kepada malam yang beranjak di antaranya tentang kamu; sosok yang muncul untuk mendongkrak indahnya hari-hari yang akan dilalui. Namamu selalu terbawa setiap waktu, mengguncang haru merasuk kalbu, tentang suatu etape untuk berdua dan bersatu, selamanya!
Ketika malam tiba, bertutur polos di bawah malam sering dijadikan pilihan untuk membunuh rasa rindu. Jangan sungkan untuk bersahut-sahutan pada malam, katakan selugu mungkin bahwa rindu ini masih tertanam, berkembang dan kelak akan berbuah. Tersekap di dalam kalbu, membuncah setiap waktu.
Lalu, rindu itu tidak akan ada habis-habisnya. Ketika ia telah menggunung, ia akan meletus hingga memaksakan rasa untuk mengungsi pada ruang temu. Hingga sampai pada sebuah ruang untuk merayu kisah, dengan demikian kita telah memiliki hak untuk membantah resah.
Sudah tidak terhitung malam yang beranjak dengan label yang masih sama. Belum berubah, sementara rambut kian beruban. Untuk membungkamnya cukup menikmati malam temaram dengan harapan demi harapan kian berlalu.
Sekarang dengan berbagai pergulatan baik dan buruk di tanah rantau, akan selalu lahir harapan agar pundakmu sebagai pelabuhan terakhir. Aminku adalah namamu yang mengakhiri petualangan panjang ini.
Kau termasuk kopi yang akan terus-menerus ku seruput. Kelak, kau cangkir terakhirku. Lebih kurang begitu seluruh impian senja yang sering ku panjatkan sebelum senja kembali ke peraduan.
Langit malam juga sering ku jadikan sebagai pelampiasan rindu. Ia selalu dijadikan medium untuk ku tatap, padanya selalu ada rindu yang ku titip.
Setiap kali cakrawala beranjak gelap, ketika angkasa menguning senyap, dan hari akan lenyap; rasa rindu untuk ingin melihat senyummu membuncah dalam lamunan. Rasa rindu selalu mencundangi logika, ia hanya sanggup mengamini. Sepertinya, agak terlalu sukar jikalau rasa berusaha untuk menerima logika. Biasanya rasa selalu bentrok dengan logika. Rindu terlampau gagal untuk dipahami logika.
Seperti catatan Fiersa Besari dalam Konspirasi Alam Semesta, seorang petualang, musisi, penyair yang komplit, ia menguatkan kekasihnya dengan lidah yang memanjatkan dalih yang menukik rasa. “ Kamu dan Indonesia adalah sejuta pesona yang disampul oleh rasa sakit. Bedanya, kamu sudah sembuh dari sakitmu, negeri ini belum”, tutur Juang pada Ana, kekasih abadinya.
Juang benar, bahwa segala sesuatunya butuh diperjuangkan. Tak ada hasil tanpa perjuangan panjang. Aral melintang akan tiba bersamaan ketika kita menuju titik puncak. Rindu juga begitu. Ia lahir tidak utuh, membutuhkan nyali untuk merengkuhnya hingga tampil menawan.
Asalkan, seluruh ampas-ampas kenangan yang masih tertahan dibuang jauh-jauh. Sebab membiarkannya bertumbuh dan berkembang justru akan kian pelik untuk kita melangkah menuju rindu yang lain, apalagi hendak membangun suatu harapan dan merayakan rindu yang tertahan. Teramat sukar. Percuma juga merajut langkah jika masih sesalkan fakta, engkau pun akan merasakan sesak untuk memompa rasa yang hendak kita tata.
Jadi, jangan simpan ampas-ampas kenangan jika kita hendak merawat masa depan.
Di sini, aku selalu mengharapkan agar kita dapat merayakan rindu pada sebuah masa tanpa ada bayang-bayang masa lalu. Toh, kita melangkah ke depan bukan untuk kembali ke masa lalu.
Di sini, aku selalu mengharapkan agar kita dapat merayakan rindu pada sebuah masa tanpa ada bayang-bayang masa lalu. Toh, kita melangkah ke depan bukan untuk kembali ke masa lalu.
Pada akhirnya, kita akan merayakan rindu ini dengan utuh. Tanpa ada pihak yang menginterupsi sukacita yang sedang kita rayakan. Dengan begitu rindu ini akan terbayar tuntas.
Kini dan di sini, seluruh rasa rindu yang ku miliki ditampung dalam bejana yang sudah mulai ku rangkai. Saat melihat senyuman manismu pada foto yang kamu kirim, tampak senyumanmu meruntai dalam bibir yang menggoda. Aku rindu.
Nona, satu kalimat pamungkas; tunggu saya bale. Sekali lagi, tunggu saya bale.
0 Comments