Kisah Kembara; Kita Sama-sama Dari Timur

Senja selalu membawa kembara untuk bertualang

Sebagian mentari siang ini dihalangi oleh awan hitam. Hujan sepertinya sebentar lagi akan datang.  Benar saja hujan mengguyuri tanah ini. November memang selalu saja hujan. 

Hujan begini jadi rindu Ruteng. Ruteng itu kota yang eksotik, kota 1000 Gereja yang terletak 1200 meter di atas permukaan laut. Ruteng selalu dingin. Hanya kopi yang bisa melawan dingin di Ruteng. Syukur jika ada sopi juga. Dingin pun akan sirna sekejap.  

Sejak dari Ruteng saya suka bertualang. Menjadi kembara yang tak tuntas perjalanannya. Datang ke sini juga dengan motif yang sama; menjadi kembara.

Kembara merupakan sebuah perjalanan yang tak bertepi. Sebuah perjalanan panjang tanpa henti, perjalanan menoreh berbagai nilai kehidupan tanpa titik.  

Kata orang bahwa guru terbesar itu pengalaman. Belajar dari pengalaman itu penting. Maka, terjadilah pengalaman itu sebagai guru kehidupan yang harus kita pelajari hikmahnya yang teramat penting.

Pada sebuah perjalanan akan ada perjumpaan. Dekap erat dengan orang baru, syukur jikalau bersua dengan sesama saudara satu daerah. Jabat eratnya pun kian bermakna.

Berjumpa dengan orang baru kian haru jika memiliki kedekatan emosional, misalnya sama-sama memiliki kedekatan khusus. Entah itu, ikatan sosio-kultural, wilayah, hobi yang sama atau ikatan yang lebih spesifik lainnya. 

Untuk saya yang dari Timur, misalnya, sama-sama memiliki identitas sebagai orang timur. Identitas orang timur diberikan kepada orang yang berasal dari kawasan Indonesia bagian Timur. 

Mereka berasal dari beberapa pulau yang terletak di kawasan timur Indonesia, seperti; Pulau Sulawesi, Pulau Bali, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Sekarang lebih beken dengan sebuatan Rakat. Rakat itu akronim dari rakyat Timur.

Dalam sudut pandang yang lebih rasis soal orang timur; mereka masuk dalam golongan orang yang berkulit hitam, berambut keriting dan mata menyala.

Pandangan ini tentunya condong ke diskriminasi rasial. Saya juga pernah mengalaminya. Bentuknya bisa berupa ketidakyakinan pada identitas kita sebagai orang timur, apalagi jika kita berambut lurus dan berkulit sawomatang seperti saya. Ckkckc….

“Kalian orang Flores ya? Ko kulit kalian tidak hitam, rambut kalian tidak keriting?”

“Bukankah orang Flores memiliki kulit yang hitam dan rambut yang keriting?”

Percakapan demikian hanya bisa direspon dengan jawaban secukupnya dan senyum sewajarnya. Rasa dongkol dalam hati tentu muncul juga. Kami ini orang timur yang tertukar. Ckckck……  

Berpapasan dalam ruang tak terduga dengan orang timur juga sebuah perjumpaan yang luar biasa. Hal-hal kecil demikian justru semakin menambah kebanggaan akan identitas kedaerahan. Saya beberapa kali mengalaminya.

Selasa (13/11/2018) sore, kami mendampingi anak-anak untuk ikut turnamen Karang Taruna tingkat desa. Sembari menunggu hujan reda juga menunggu jemputan dari anak-anak untuk pulang ke rumah, kami berteduh di lapak yang berada di pinggir lapangan.

Sedang asyik ngobrol, kami dihampiri oleh salah satu anggota panitia yang sebelumnya sempat berkomunikasi dengan kami mengenai pertandingan yang akan kami ikuti.

“Orang mana Bang?” timpal Bang Waldi, salah satu panitia.

“Orang Flores, bang” jawabku singkat.

“Wah, kita sama-sama dari timur donk” katanya.

Menyebut kata Timur untuk orang-orang tertentu terdengar biasa-biasa saja. Akan tetapi bagi kami itu sebuah pengakuan identitas yang luar biasa.   

“Saya dari Sulawesi Selatan. Bapak saya dari Sulawesi sementara Mama saya dari Padang, Sumatera Barat” lanjutnya.

Jika menyebut Sulawesi tentu dekat dengan Labuan Bajo, Flores. Teramat dekat malah. Saya rada-rada tidak percaya.

“Makasar itu dekat dengan kampung kami. Hanya membutuhkan waktu semalam penyeberangan untuk sampai di Labuan Bajo, Flores” jawabku.

“Saya dulu SMP dan SMA di Sulawesi” katanya.

“Bapak saya dikuburkan di Sulawesi. Sekarang saya memilih menetap di sini setelah menyelesaikan pendidikan menengah atas di Sulawesi”

Bagi sebagian orang percakapan ini biasa saja. Akan tetapi bagi diaspora seperti kami, percakapan demikian begitu berarti. Sungguh sangat berarti.

“Di sekitar sini banyak orang Sulawesi. Rumah yang di depan itu orang Sulawesi. Begitu juga dengan yang di sana” tuturnya sambil menunjuk ke arah yang dimaksud.

Dari Bang Waldi juga kami mengetahui bahwa di sini juga banyak orang Sulawesi. Ia menuturkan bahwa dulu ada perusahaan kayu yang rata-rata mempekerjakan orang Sulawesi. Setelah perusahaan tidak lagi beroperasi, karyawan ada yang memilih menetap dan ada juga yang merantau ke tempat lain. Ayah bang Waldi memilih menetap dan membangun rumah tangga di sini.

Orang Sulawesi memang dikenal juga sebagai perantau ulung. Kita mengenal Suku Bugis dari Sulawesi yang rata-rata berhasil menjajali wilayah Nusantara. Peradaban mereka yang tidak jauh dari laut membuat mereka dikenal sebagai pelaut yang ulung.

Ada juga Suku Buton yang jago menyelam. Bahkan mereka bisa bertahan di dalam laut selama 13 menit tanpa alat bantu. Mereka juga lihai membuat kapal-kapal pinisi, perahu layar khas Suku Buton, Sulawesi Selatan.

Perkampungan pesisir pantai di Flores memiliki beberapa kampung yang bernama Bugis. Di Borong, misalnya, ada kampung yang bernama Bugis. Mereka berhasil melaut dan menetap pada tempat yang layak dijadikan sebagai rumah.  Mungkin mereka akan menetap saat ada sumber kehidupan untuk menyambung hidup.

Di dunia ini, kita semua adalah kembara yang tak berujung. Kita tidak tahu di mana ujung dari sebuah pengembaraan. Bisa di sini, bisa juga di tempat lain, yang pasti bukan di dunia lain. Kembara menginjakan kakinya untuk menjajal kehidupan yang sedang diarungi. Kembara diharuskan memiliki semangat yang membara. Tidak boleh tidak.    



Post a Comment

2 Comments

  1. Makax pulang sdah jan trllu lama Di daerahx org awas lpa jalan plg... �� but TrusLah berkarya ����

    ReplyDelete