Kampung Lalang, Tanah Mama dengan Akses Masuknya Bernasib Malang

Jembatan darurat di Sungai Wae Musur yang dibuat oleh warga (foto; via http://www.floresa.co)

Orang bilang pada tanah mana ari-ari ditanam maka sudah seharusnya engkau tak boleh melupakannya dalam waktu sekejap. Mau bentuknya seperti apa, keadaannya bagaimana, jalannya mulus atau bebatuan, orang-orang di dalamnya suka minum tuak, tetap itu kampung kelahiranmu. Begitu juga dengan status sosial yang sudah kamu sandang, entah engkau bupati, camat, provokator, intelektual hipokrit, ataupun penyanyi kamar mandi tetap engkau akan pulang ke tanah kelahiranmu. Pulang ke tanah mama.

Tanah kelahiran saya di Lalang, bukan alang-alang yang dapat dianyam untuk dijadikan atap rumah dari masyarakat Manggarai itu.  Kampung Lalang terdapat di desa Lalang kecamatan Rana Mese. Ibu saya lahir dan besar di sini. Ayah saya juga setelah lulus SPG St. Aloysius Ruteng ditempatkan di sini untuk mengabdi di SDK Lalang.  Lalang juga menjadi tempat bersemai benih-benih cinta dari ayah dan ibu saya.

Letaknya tepat di bawah kaki pegunungan Poco Ri’i. Kampungnya sejuk. Pepohonan tumbuh dengan hijau. Kabut akan mengguyur ketika sore hari telah tiba. Udaranya begitu dingin. Hanya sopi dan kopi yang dapat membunuh rasa dingin di Lalang.

Orang-orang di dalamnya ramah-ramah, mereka jarang marah-marah. Saking ramahnya  mereka akan suguhkan tamu dengan minuman terkeren yang terdapat di sana, apalagi kalau bukan kopi plus sopi. Apabila memiliki garis keturunan Kuleng, Ntaur seperti saya, maka engkau banyak-banyak bersyukur saat datang ke sini. Sopi dan moke putih selalu tersedia untuk engkau nikmati.

Tanaman perkebunan warga tumbuh dengan subur. Kopi, kakao, jambu mente dan kemiri jadi sandaran ekonomi warga.  Jangan ditanya mengenai buah-buahan. Di sini stok buah-buahan melimpah, ada avokad, pisang juga jeruk tumbuh dengan subur.

Lalang memiliki pesona alam yang elok dipandang mata. Kampungnya terdapat di lembah nan eksotis. Potensi ekonominya cukup besar. Banyak orang-orang hebat pula yang lahir di sini. Mereka telah berkarya dan tersebar di mana-mana. Saya pikir itu kabar baiknya ketika kepikiran untuk menarasikan tentang kampung Lalang.

Kendati demikian, rentetan eksotisme kampung Lalang justru berbanding terbalik dengan akses masuknya. Infrastruktur menuju kampung Lalang sejak zaman antah berantah hingga kini di era reformasi begitu sukar untuk dijajali. Jalan masuknya buruk pakai setengah mati. Teramat susah untuk dilalui.

Mengawali perjalanan dari kampung Golo Mongkok, pintu masuk menuju desa Satar Lahing dan desa Lalang sudah menemukan kendala yang tak mudah. Lewati Sungai Wae Musur yang sanggar saat banjir itu,  engkau akan berjibaku dengan menyeberangi aliran sungai yang cukup deras.

Pada awal milenium kedua, demi masuk dan keluar kampung Lalang hanya dapat dilalui dengan berjalan kaki. Pilihan ini diambil karena tak ada lagi pilihan lain. Dari Wae Musur kita akan memasuki tanjakan mahaberat menuju kampung Lepeng, peluh akan bercucuran melewati tanjakan ini. Ngos-ngosan. Tubuh yang berkeringat bersanding dengan rasa dahaga rasa-rasanya seperti seorang pemuda yang melakukan pedekate dengan seorang gadis begitu lama tetapi saat mau jadian ditikung oleh sahabat sendiri.  Saya yakin kekuatan cinta akan luluh lantak saat hubungan kalian lagi pedekate lalu tiba-tiba ditantang untuk mendaki tanjakan menuju kampung Lepeng. Hadeh.

Tiba di kampung Lepeng, perjalanan belum apa-apa. Jaraknya masih cukup jauh. Dari sini kita akan melewati jalan yang cukup datar. Perjalanan akan menyusuri ladang warga, sesekali dalam perjalanan akan bertegur sapa dengan para petani yang sedang mengolah ladangnya.

Apabila sedang tidak membawa barang bawaan yang berat, jarak tempuh ke kampung Lalang dapat ditempuh dalam waktu 2 jam. Namun hal itu tidak berarti jika kita membawa beban yang cukup banyak, bisa saja molor hingga 4 jam.

Masuk di pelataran kampung sebelum menginjakan kaki di kampung Uwu, pepohonan kemiri milik warga tumbuh dengan subur. Potensi perekonomian yang menjanjikan tampak terlihat. Dari sini kita memasuki kampung Uwu, salah satu anak kampung dari desa Lalang. Rumah-rumah warga berjejer sepanjang jalan. Rata-rata rumah warga sudah permanen, sebagian lagi masih mempertahankan bangunan lama. Rumah panggung.

Bergeser ke atas dari kampung Uwu, kita akan memasuki kampung Bea Kawu. Fasilitas publik dibangun dan terpusat di sini, ada sekolah dasar, Gereja dan Puskesmas.

Orang tua saya dulu tinggal di rumah dinas milik sekolah. Rumahnya berlantai tanah, berdinding papan dan ukurannya tidak terlalu besar.  Saya lahir di situ. Rumahnya sekarang sudah dibongkar. Termakan usia. Saya lahir tanpa bantuan dokter tentunya. Bisa ditebak bahwa  saya lahir dibantu oleh mama-mama tua di kampung yang sudah lihai membantu aman dan lancarnya persalinan.

Lalang merupakan induk kampung dari beberapa anak kampung yang telah berkembang di desa Lalang.  Di sini ada rumah gendang berdiri. Di tengah-tengahnya ada compang, tempat persembahan pada leluhur.

Sekarang desa Lalang perlahan-lahan berkembang. Puskesmas baru berdiri kokoh. Pasar rakyat telah dibangun. Jika dulu hanya dapat dilalui dengan berjalan kaki, sekarang bisa dilewati dengan kendaraan roda dua dan empat. Akan tetapi tetap tidak mudah untuk melewatinya, pengendara tetap ekstra hati-hati. Kondisi jalannya masih bebatuan. Belum diaspal sama sekali.

Kepala kampung yang lama maupun yang baru sering bertandang ke sana, namun setelah pulang ke sana janji tinggal janji. Foto-foto caleg juga terpampang di mana-mana. Di pohon-pohon, di rumah-rumah warga, di tikungan masuk kampung bahkan di puskesmas sekalipun foto caleg berjubel dengan seyum khasnya masing-masing.  Entah setelah itu mereka berbuat atau tidak, itu tidak penting sama sekali.

Pada akhirnya kampung Lalang tetap keren. Tanah mama yang telah lama bernasib malang itu akan selalu membuat saya rindu dengan berbagai cerita dan cinta di dalamnya. Bukan cerita tentang caleg-caleg yang mendadak mahapeduli itu, tetapi tentang cinta yang selalu hadir pada setiap sudutnya. 

Post a Comment

0 Comments