Rindu Natal di Golo Mongkok

Hanya Natal di Golo Mongkok saja yang buat sa bahagia. Ada Mama yang dengan cintanya memasak menu yang maha lezat dengan kopi pagi yang citarasanya selalu saja benar.

Sesaat usai hujan di Golo Mongkok (foto; dok. pribadi)

Dalam tradisi Gereja Katolik sekarang kita memasuki masa Adven. Adven sebagai masa penantian akan kedatangan Sang Juru Selamat. Orang Katolik dianjurkan untuk membersihkan diri untuk menyambut kedatangan-Nya.

Kata Adven diambil dari bahasa Latin yaitu Adventus yang berarti kedatangan. Selama masa Adven umat Katolik menyiapkan diri untuk menyambut pesta Natal dan memperingati kedatangan Yesus untuk kedua kalinya pada akhir zaman. Kita percaya bahwa Yesus yang lahir akan membawa keselamatan. Natal pun mestinya disambut dengan kemeriahan.  

Natal diidentik dengan ragam tradisi yang unik nan-menarik. Pernak-pernik Natal mulai dibuat dan dipasang saat memasuki masa Adven. Pohon Natal, kandang Natal dan lampu Natal hiasi rumah-rumah umat juga jalan utama maupun gang-gang kecil di Flores, NTT.

Memasuki masa Adven, lagu-lagu Natal sudah sah untuk diputar. Lagu Natal di dusun yang kecil termasuk salah satu lagu yang melegenda. Seingat saya, lagu itu sudah terlampau beken sejak menggunakan tape recorder hingga menggunakan MP3, sejak kami kecil dan berdaki hingga sekarang ini masih menjadi salah satu lagu favorit dan tetap berkarisma. Tersirat di dalam liriknya pesan akan kenangan dalam balutan rindu. 

Jika rapper asal Ruteng, Lipooz, dalam salah satu single Natalnya menyebut bahwa “hanya Natal di Ruteng saja yang buat sa bahagia”, itu benar adanya dan tak dapat dibantah. Saya sepakat dengan Lipooz, pengagas grup hiphop Muka Rakat itu, yang baru-baru ini mengeluarkan single Kuda Hitam.

Sayangnya saya tidak lahir di Ruteng. Ruteng hanya sebagai rumah kelima dalam hidup saya. Rumah yang pertama di Lalang, tempat saya dilahirkan. Rumah kedua di Golo Mongkok, tempat kami dibesarkan oleh Bapa dan Mama dan menjadi tempat ternyaman dari pagi hingga sore, untung dan malang hingga sekarang ini. Rumah ketiga saya ketika meniti pendidikan di lembah Kisol selama setahun di Seminari Pius XII Kisol. Rumah keempat saya ketika meniti pendidikan di Borong, kota pesisir selatan tanah Nuca Lale selama 5 tahun. Rumah kelima saya ketika berada di Ruteng, kota dingin yang sering dijuluki dengan kota 1000 Gereja selama 4 tahun.

Lipooz menyebut bahwa Natal di Ruteng saja yang buat saya bahagia. Begitu juga dengan saya. Hanya Natal di Golo Mongkok saja yang membuat saya bahagia. Mengapa demikian? Apakah saya tidak nyaman ketika tidak Natal di Golo Mongkok? Apakah Natal yang selalu benar itu hanya di Golo Mongkok saja? Natal dalam defenisi setiap orang tentu berbeda-beda bentuk pemaknaannya. Begitu juga dengan saya di mana Natal yang indah itu hanya di Golo Mongkok. Ckckck

Beberapa hal berikut menjadi argumentasi yang membenarkan bahwa Natal di Golo Mongkok saja yang buat saya bahagia. Pertama, gemerlap lampu Natal pada setiap kandang Natal. Natal di Golo Mongkok kurang apik jika di depan rumah tidak ada kandang Natal. Rumah-rumah umat berlomba-lomba untuk memasang kandang Natal dan lampu natal. Jika tidak setiap rumah ada kandang Natal dan lampu Natal, minimal setiap Kelompok Basis Gereja (KBG) sebagai lapisan terbawah dalam Gereja memasangnya dengan bangga dan kepala yang tegak.

Kedua, Natal itu bulan kreatif. Jiwa seni anak muda biasanya ditularkan saat Natal. Mulai dari pembuatan kandang Natal yang besar, unik dan teramat mewah. Belum lagi ditambah dengan hiasan yang menggantung di dalam kandang Natal. Teramat indah untuk dipandang.  

Ketiga, toleransi dimulai dari kandang Natal. Golo Mongkok tidak seperti kampung-kampung lainnya di pedalaman Manggarai yang hanya terdapat umat Katolik saja penghuninya. Akan tetapi, di Golo Mongkok kami juga berbaur dengan saudara-saudari yang beragama Islam. Kami sudah terbiasa berkumpul dan bermain bersama sejak kecil. Jangan heran jikalau saya katakan bahwa di Golo Mongkok toleransi dimulai dari kandang Natal. Sebab setiap senja yang kembali ke peraduan, anak-anak muda berkumpul di kandang Natal dan mulai bersenda gurau bersama. Tak peduli apa agama yang dianut, tak memandang tempat ibadah yang berbeda. Kami berbaur dalam nuansa kebersamaan meski disekat oleh tembok perbedaan.

Keempat, kandang Natal yang full musik. Natal di Golo Mongkok khususnya dan Manggarai umumnya teramat meriah. Kandang Natal yang besar bisa dialihfungsikan juga untuk berbagai kegiatan ala anak muda, untuk tempat mangkal dari anak-anak hingga orang dewasa sambil mendengarkan lagu. Plus meminum sopi. Bukan hanya lagu Natal yang diputar, lagu dengan berbagai aliran musik juga warnai pergumulan di balik kandang Natal. 

Kelima, menikmati moke putih usai misa Natal. Selain menyalami sesama umat setelah selesai misa kemudian dilanjutkan untuk saling mengunjungi dari rumah ke rumah. Puncaknya, akan berkumpul pada salah satu rumah untuk menikmati moke putih. Kegiatan ini spontanitas dan mengalir begitu saja. Ramai dan mendamaikan. Persaudaraan memang lebih kental di kampung-kampung, meski jauh dari ingar-bingar metropolitan.  

Natal memang selalu ciptakan kedamaian, kenangan dan kerinduan. Kenangan Natal dalam derap langkah hidup kita selalu membekas pada tempat di mana kita berkarya. Kita sadari bahwa seluruh jejak yang usai kita lalui membekas dan sebagai sebuah pembelajaran untuk kehidupan yang lebih baik.

Yup, begitulah alasan yang menyebabkan bahwa Natal di Golo Mongkok yang buat saya bahagia. Semua kenangannya tetap akan membekas. Kenangannya akan selalu di hati. Sampai nanti. Sampai mati. Sampai kita kembali ke sana dan memulainya dari awal. Selamat menyambut Natal untuk diaspora Golo Mongkok di mana saja berada. Hormat! 

Post a Comment

0 Comments